Mohon tunggu...
Alfiansyah_senja
Alfiansyah_senja Mohon Tunggu... Buruh - Penulis artikel, foto, dan traveling

Lahir dan besar di kota Balikpapan. "Setiap Malam adalah Sepi" adalah novel perdana yang berhasil dicetak lewat proyek indiependent. Novel ini bercerita tentang kehidupan urban seorang pekerja yang bekerja di malam hari di Kota Balikpapan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nafas Syair Islam Parrawana Towaine

23 Juni 2021   22:09 Diperbarui: 23 Juni 2021   22:30 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menurut ingatan mereka, tahun 1985 adalah tahun  parrawana towaine di Dusun Rawang dibentuk. Grup ini sudah lama mati suri karena para pemainnya sibuk dengan urusan rumah tangga masing-masing. Maklum, para pemainnya adalah para ibu rumah tangga yang tidak hanya mengurus persoalan dapur dan rumah tangga. Hampir di setiap kampung di Mandar, para ibu-ibu juga mengerjakan pekerjaan laki-laki seperti memanjat pohon mengambil dedaunan sebagai makanan kambing, berkebun, berladang, dan berdagang hasil dari perkebunan sang suami, yang dikerjakan bersama-sama. Konsep ini dinamakan siwaliparriq, dalam bahasa Indonesia diartikan saling berbagi susah, kebersamaan, gotong royong sekaligus kesetaraan.

Kala itu, lanjut Hasbi, hanya beberapa saja yang berlatih, dan itu pun sewaktu-waktu demi mengisi beberapa acara hajatan di kampung, dan tidak terlalu aktif latihan. Pada akhir September 2018 lalu, mereka mulai serius naik kepermukaan ketika tampil di acara Pagelaran Budaya Adat Adolang di lapangan Desa Adolang. Mereka latihan intens dan meregenarasi pemudi. Karena lama vakum, rebananya pun hanya tinggal beberapa. Beruntung masyarakat berswadaya demi membeli dan membuat rebana.

"Untung ketika ada pagelaran budaya di Desa ini di tahun 2018. Parrawana towaine di Dusun Rawang bisa berkumpul, berlatih dan tampil kembali ke permukaan. Karena saya selalu berpikir, suatu saat nanti, kami akan selalu siap tampil jika diundang di luar (luarkampung). Karena sangat jarang di Mandarada penabuh rebana perempuan. Bisa didengar dari syairnya, kami ini umumnya berdakwah. Selain itu, kami sangat senang jika kami tampil di acara keagamaan seperti pembukaan lomba baca Al Quran, dan undangan yang bersifat keagamaan dan kebudayaan," ujarHasbi.

Berguru di Pallarangan

Awal mula terbentuknya grup tersebut, tidak terlepas dari jasa dan peran Indo' Maniar (Indo' dalam bahasa Mandar Ibu). Indo' Maniar adalah orang dari Dusun Pallarangan, Desa Simbang, Kecamatan Pamboang, yang bersuami orang Rawang. Suaminya mengajak Indo' Maniar tinggal dan menetap di Rawang. Dari situ, Indo' Maniar mengenalkan rebana ke anak-anak gadis di Rawang pada sekitar tahun 1982/1983.

"Indo' Maniar bicara ke saya, 'tidak maukah belajar begini?'," Indo' Maniar ketika itu membawa rebana dan menunjuk rebana itu. "Digebuk-gebuk rebana itu. Langsung saja saya jawab iya, mau. Dan dari itu, kami ajak teman-teman sebaya kami yang ada di Rawang untuk belajar," kenang Juhaera.

Namun, ungkap Juhaera dan Nurbaeti yang dibantu rekan-rekannya mengingat masa-masa gadis dulu ketika pertama kali berlatih menabuh rebana, yang mengajarkan mereka secara utuh dan konsisten, bukanlah Indo' Maniar. Indo' Maniar seorang pioner yang memperkenalkan rebana di dusunnya dan yang mengajarkan rebana adalah cucu-cucunya yang perempuan, bernama I Sabang, I Cici, dan I Saudah.


Dari ketiga cucunya itu, yang banyak memberikan ilmu menabuh rebana adalah I Sabang dan I Cici, karena I Saudah lebih dulu meninggal. Kemurahan hati Indo' Maniar tiada duanya, selain peralatan rebana dia pinjamkan untuk berlatih secara cuma-cuma, cucu-cucunya tersebut yang langsung didatangkan dari Pallarangan ke Rawang, yang jaraknya kurang lebih 13 km, di mana pada tahun itu belum ada kendaraan roda dua atau roda empat yang bisa masuk ke dua dusun tersebut.

"Indo' Maniar dengar-dengar dia hijrah ke Palu. Indo' Maniar ini sebenarnya tidak tahu marrawana (main rebana), namun tempatnya yang ditempati latihan dan tiga cucunya itu yang melatih. Kadang di Rawang dan kadang kita turun (pergi) ke Pallarangan. Indo' Maniar baik sekali itu orangnya, dan tanpa dia, kita-kita gadis di sini (Dusun Rawang) tidak akan pernah tahu memainkan rebana. Karena, di kampung ini, pada umumnya, parrawana itu adalah laki-laki," kata Nurbaeti.

Ketika itu, lanjut Nurbaeti, di tahun dia berlatih, dirinya yang masih gadis sangat antusias belajar rebana. Semangatnya menggebu-gebu. Jiwa-jiwa pemudi yang ingin banyak tahu. Sehabis pulang sekolah, sekitar jam satu siang, sehabis makan siang di rumah masing-masing, dan membawa bekal seadanya, dia dan teman-temannya yang ada di Rawang jalan kaki ke Dusun Pallarangan. Karena dulu belum ada kendaraan yang bisa masuk, rute jalan kaki yang diambil adalah lewat Dusun Ratte, lalu lewat Desa Betteng, dan tembus sampai di Kecamatan Pamboang. Perjalanan diteruskan dari Pamboang ke Pallarangan. Perjalanan yang sangat menguras tenaga. Jalannya masih setapak, belum lagi menyusuri, menaiki, dan menuruni jalanan berbukit nan berbatu.

"Dulu, seingat saya masih gadis, di Pamboang itu hanya ada dua parrawana towaine. Di Dusun Pallarangan atau Desa Simbang dan Dusun Rawang. Kami yang belajar ke orang Pallarangan. Awal-awal latihan, sering kami ke sana. Sampai di Pallarangan paling cepat jam delapan malam atau biasa sampai tengah malam. Bahkan, kami ke sana itu kadang gelap-gelapan jalan kaki. Dulu bahkan tidak ada pakai senter. Tapi karena ramai-ramai, kita tidak takut dan perjalanan tidak capek juga," katanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun