Setiap hilir selalu dipenuhi sampah. Tidak heran, sampah itu hasil dari kiriman dari hulu, sebagai bukti otentik bahwa masyarakat Balikpapan belum bisa membuang sampah pada tempat yang telah disediakan.
Di samping itu, saya juga tidak ingin menyalahkan masyarakat, karena mungkin saja tempat penampungan sampah (TPS) Â jumlahnya sedikit. Seperti nasib yang ada di rumah saya, di pesisir Sungai Manggar, tepatnya di Desa Trans, RT. 32, Kelurahan Manggar Baru, Balikpapan Timur. TPS yang disediakan di tempat saya hanya ada satu, yaitu di samping rumah susun.
TPS-nya memang besar, namun jaraknya terlalu jauh. Sedangkan, di tempat saya ada 5 lebih rukun tetangga (RT) yang jaraknya 3 sampai 4 km ke TPS itu. Alhasil, masyarakat berpikir instan, membuang sampah di Sungai Manggar. Kata orang-orang pintar, itu sudah menjadi budaya kita, masyarakat Indonesia. Budaya yang menurut saya budaya pembodohan, yang diberitahu dari generasi ke generasi.
Saat ini Sungai Manggar kurang bersahabat. Ketika air surut, banyak ditemui sampah dan bekas jaring yang membuat pemancing kadang kesal karena mata pancing tersangkut di jaring itu. Saya ingat, dulu, sekitar tahun 2008 ke bawah, sungai yang ada di dekat rumah saya ini berpasir. Pasirnya begitu halus. Sekarang sudah menjadi lumpur. Lumpurnya pun bau. Perubahannya jauh sekali.
Banyak cerita indah didapat di sungai. Bahkan mitos yang diceritakan turun-temurun, setiap sungai telah dihuni oleh dewa atau makhluk gaib, yang suatu saat akan murka ketika tempatnya diganggu.
Orang tak percaya lagi dengan mitos-mitos itu. Lebih tepatnya mereka mengatakannya takhayul. katanya, semua sudah bisa dibuktikan dengan ilmu pasti dan kesadaran berpikir logika. Kepekaan ini yang semakin menunjukkan insting alamiah yang diwarisi para leluhur akan luntur. Leluhur kita sangat mencintai alam, maka dari itu, mereka mampu membaca atau menyimpulkan setiap gejala alam.
Saking besarnya, ikan kerapu itu tak bisa kemana-mana dan untuk makan pun ia hanya membuka mulut, menunggu mangsa lewat tepat di depan mulutnya. Tidak heran, jika jembatan Manggar biasa goyang, itu berarti kerapu lagi banyak bergerak. Begitulah cerita yang saya dengar dari orang-orang dewasa, dulu, ketika saya masih kecil.
Mitos dan takhayul adalah warisan dari nenek moyang. Selain itu, demi menyelamatkaan bumi, nenek moyang kita berhasil memelihara nilai-nilai yang terkandung dalam 5 K. 5 K itu, yakni keselarasan, keseimbangan, kelestarian, kemanusiaan, kesetiakawanan atau solidaritas.
Bagaimana manusia tidak menguasai alam sepenuhnya, bagaimana semua unsur bergerak, saling melindungi dan melengkapi, mengambil secukupnya, memeliharanya, dan merawatnya.