Komentarnya terus terang mewakili isi hati saya. Begini isi dari koar-koar Bang Saut itu, yang jujur, tidak munafik, tak basa-basi dan sedikit curhat mengenai dulu, ketika ia masih kuliah di luar negeri.
Bla blab la bla (agar tak panjang namun tak mengubah maksudnya) apakah "Bumi Manusia" Pram memang cumak soal cinta remaja kayak yang terus dikatakan Hanung Bramantyo dalam wawancaranya sebelum pembuatan film? Kalok memang benar, lantas kenapa novel Pram tersebut dianggap sebuah masterpiece dalam sejarah Sastra Indonesia dan bahkan sampek dilarang oleh rezim Orde Baru? Apa rezim Orde Baru anti cinta remaja?! Kok novel-novel pop macam "Cintaku Di Kamus Baru" dan seri Ali Topan tidak dilarang? Kok Pram bahkan sampek dinominasi berkali-kali untuk Hadiah Nobel Sastra kerna Tetralogi Pulau Buru-nya?! Di pertengahan tahun 1990an waktu aku ambil mata kuliah "Politics and Literature" untuk gelar Masterku di Universitas Auckland, Selandia Baru, novel "Bumi Manusia" merupakan salah satu textbook yang harus dibaca disamping "Uncle Tom's Cabin", "The Satanic Verses". Dan "Sketches from a Hunter's Album".
Postingan ini ia unggah pada tanggal 18 Agustus 2019.
Sah-sah saja membuat film sebagai bentuk mengembalikan modal dan tentunya mencari keuntungan sebesar-besarnya. Namun, yang sangat disayangkan dari film yang diambil dari novel Mbah Pram, sang sutradara mengenyampingkan makna tersirat dari sebuah karya sastra klasik---walaupun di setiap dialog di film juga banyak diselipkan kata-kata bijaksana yang kadang dijadikan quet notes orang yang mencoba sok bijaksana di media sosial----yang menjadi bacaan wajib para akademisi mahasiswa sastra, intelektual dan kritikus sastra.
Bumi Manusia tak hanya cinta-cintaan, Hanung. Ingat itu! Lebih tepatnya, Mbah Pram menulis "Tetralogi Buruh" agar pemuda Indonesia tak bodoh sejak dalam pikiran. Tak menjilat, melawan kaum imperialis dengan cara cerdas : menulis. Dapat berlaku adil, seadil-adilnya. Tidak feodalis. Mempunyai idealisme yang kuat. Menjadi Indonesia, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab. Jadi, jangan seenaknya memberikan kesimpulan bahwa "Bumi Manusia" itu kisah cinta dua insan manusia, seperti Romeo and Juliet, atau ala-ala si Dilan.
Dan juga, terlepas dari masalah politik, Â jika Hanung berpikir novel Bumi Manusia itu isinya cinta-cintaan, lantas, kenapa di tahun 1980-an ketika Orde Baru berkuasa, peredarannya dilarang dan ketika membacanya pun mesti sembunyi?
Jadi, atas nama "Bumi Manusia", saya menggugat Hanung dan Iqbal agar bisa merenungkan apa yang telah mereka lakukan.
Tapi. . . .Ah, sudahlah, mungkin ini hanya curhatan seorang jomblo yang jengkel atau iri dengan muka klimisnya Iqbal Ramadhan.
 "Aku memikirkan kamu setiap hari,Mas," kata Annelies, ketika sakit karena  kerinduannya memuncak  pada Minke.
Huffft!
Balikpapan, 19 Agustus 2019.