Pertama, di Balikpapan, ada istilah mahasiswa pekerja, di mana mahasiswa pekerja ini adalah mahasiswa yang bekerja disebuah instansi perusahaan swasta atau negeri. Atau ada juga yang bekerja semata-mata untuk "batu loncatan" agar kesannya bukan seorang pengangguran.
Fokus mereka adalah bekerja, sedangkan kuliah, adalah tempat di mana si doski mendapatkan titel sarjana sebagai penunjang kenaikan pangkat atau karir dan kenaikan gaji---hal ini juga berlaku bagi seluruh mahasiswa.
Maka dari itu, kampus memberikan toleransi kepada siapa saja yang ingin kuliah, walaupun statusnya pekerja. Saya sepakat dengan hal ini, di mana semua warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang tinggi.
Jam kuliah mereka ada yang masuk pagi, sore dan kelas khusus. Kelas khusus adalah kelas Sabtu dan Minggu. Mayoritas, mahasiswa pekerja mengambil kelas sore dan kelas khusus.
Perlu digaris bawahi, fokus mereka adalah : "bekerja" dan kuliah : "demi selembar ijazah". Tak ada dinamika
dalam kuliah. Kerja dan kuliah. Tugas kuliah dikerjakan, dekat sama dosen--sebagai langkah diplomasi agar diperlancar--selesaikan skripsi, lulus. Tak ada kata pejuang-pemikir ; pemikir-pejuang.
Kedua, mahasiswa----dengan berat hati saya menyebutnya---kongko. Mahasiswa kongko adalah mahasiswa yang tak perduli dengan sekitarnya dan basic pergerakannya adalah di kantin. Mereka berpegang teguh pada prinsip semangat individualis santai. "Selama saya tidak diusik dan mengusik".Â
Alhasil, dosen jarang masuk tak diprotes, tugas-tugas kuliah semua tinggal copy paste di internet, tak mau tahu perkembangan kampus---apalagi negara, main hape di kantin dari pagi tembus siang atau sore tembus malam, uang kuliah naik tak dipermasalahkan. Dan lebih anehnya, mereka merasa pesimis dengan apa yang dilakukan oleh perjuangan mahasiswa.
"Ngapain demo. Bikin capek saja dan mending kerja, menghasilkan duit," celetuk mereka.
Ketiga, mahasiswa kekinian atau mahasiswa kids zaman now. Generasi ini muncul akibat pengaruh global media sosial yang menciptakan budaya dan bahasa tersendiri. Menyerang semua kalangan dan tak kenal umur dan usia. Budaya yang minim makna serta penggunaan bahasa slang.
Generasi ini sudah ada di kampus. Menjadi kegalauan aktivis, dewasa ini, di mana segala macam acara-acara yang melibatkan almamater mahasiswa dibuat main-main dengan bahasa kekinian yang minim makna namun tak bersifat kaku, santai, mudah dicerna dan global. Lebih menjengkelkan lagi, mahasiswa semacam ini dipelihara dan dibina oleh kampus lantaran mampu menarik massa dan dapat disetir kesana-kemari.
Lihat saja ketika ada acara seremonial kampus, mahasiswa seperti ini akan sibuk mengurus ini dan itu. Benar-benar manut ketika menjalankan tugas dari atasan agar menyiapkan keperluan ini dan itu. Jadi saya tak bisa membedakan, yang mana mahasiswa intelektual, atau hanya sebatas kids zaman now yang dipermak menjadi event organizer.