BERBAGAI HAL TENTANG MONAS, JAKARTA DAN BALIKPAPAN Â
Kami duduk di luar Monas. Benar kata katanya bahwa Monas telah ditutup, tetapi di luar Monas masih ramai. Dari luar saya perhatikan ujung Monas. Melamun sedikit, setelah itu berbicara sedikit dengan teman saya. Masih banyak orang kongko-kongko atau sekedar duduk-duduk, main hape, makan cemilan, rokoan atau sekedar berbicara sedikit sambil melamun, tertawa atau diam-diam mendengarkan pengamen menyanyi. Â
Kami berbicara tentang Kota Balikpapan dan perkembangannya, dewasa ini. Balikpapan itu menurut saya pribadi adalah kota yang tidak statis atau dinamis. Balikpapan itu normal, dalam segi pola pikir masyarakatnya, perekonomian, pembangunan dan hal-hal lainnya---kecuali pembangunan mal yang tak penting itu.
Jika kota terlalu dinamis akan ada desentralisasi. Serta jika kota statis, maka siap-siap saja akan tertinggal oleh perkembangan zaman. Namun kita tak tahu itu berjalan sampai kapan.Â
Selama ini yang saya tahu dan bahkan merasakannya, Balikpapan itu selalu menerapkan dua hal sebagai kontrol sosial agar masyarakatnya tak banyak menuntut ini-itu atau mencoba hal-hal yang sedikit demi sedikit ada perubahan yang dilakukan oleh warga sipil. Taruhlah seperti demo-demo turun ke jalan, seperti yang dilakukan di Jakarta.Â
"Zona aman dan zona nyaman. Tak ingin mengusik dan diusik. Selama itu tak merugikan saya dan Anda. Ya, selama ini baik-baik saja. Baik-baik saja belum tentu semuanya lancar dan orang Balikpapan tak bergerak jika ada hal yang tak beres. Contohnya, bisa dillihat kemarin ketika Teluk Balikpapan tercemar.Â
Masih ada jiwa sosialnya untuk melakukan aksi-aksi sosial. Atau menuntut Pertamina agar bertanggung jawab. Pokoknya yang seperti itu. Aksinya pun dilakukan dengan aksi nyata. Kerja kolektif membersihkan pesisir Teluk Balikpapan. Tak melulu hari libur itu dihabiskan nonton teve, baring-baring main hape, jalan ke mal, atau kongko-kongko sama teman. Masih ada orang-orang yang seperti itu di Balikpapan," kata saya.
Tapi kami tak banyak bicara lagi. Begitu pun dengan saya yang lebih banyak bertanya, menjadi diam sambil melihat suasana malam di luar Monas. Â
Dalam lamumannya, tiba-tiba ia membuka percakapan lagi.
"Jakarta itu angkuh!"
"Tapi tak ada yang mengalahkan keangkuhan hati perempuan," canda saya. Kami pun tertawa.