Mohon tunggu...
Alfiansyah Syah
Alfiansyah Syah Mohon Tunggu... Warga Negara Indonesia -

Penikmat Senja

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Padi, Teruslah Bernyanyi dan Berisi

10 April 2018   00:19 Diperbarui: 10 April 2018   00:49 1293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gamber: kompas.com/Reni Susanti

Mereka datang dengan energi yang sama seperti dulu, di tahun 1990-an. Mereka tetap bergairah. Dengar saja dentuman drum yang dipukul Yoyo, Piyu yang tetap cool dan parlente namun tak lupa akan tugas-tugasnya menyambung  dan menambahkan setiap irama lewat petikan gitarnya, vocal Fadly yang tinggi, harmoni suara gitar Ari, dan sebagai pemandu alat musik, lewat betotan bass, Rindra mampu mengiringi kekosongan ketutak setiap nada. Semakin tua semakin berenergi, namun tak lupa berfilosofi. Seperti ilmu padi. Ya, mungkin itu yang diterapkan bagi para punggawa Padi, di mana mereka tetap eksis bermain musik dengan hati dan tak lupa diri.

Minggu, (7/4/2018), mereka hadir kembali di Kota Balikpapan, di Ballroom Swiss-Bell Hotel. Dalam formasi yang masih lengkap, mereka berlima masih ingat, kapan terakhir kali konser di "Kota Minyak".

"Sobat Padi yang ada di sini, dulunya mungkin masih SMP, SMA, atau sudah kuliah. 2004 ada yang nonton Padi di Stadion Persiba Balikpapan (kompleks perumahan milik PT. Pertamina, Pen.). Mungkin kalian masih kecil dan sudah dewasa dan sudah ada bawa anak di sini. Generasi 90-an adalah generasi keren dan generasi Dilan," kata Piyu, di pertengahan acara.

Setelah itu, Piyu melanjutkan. "Kami minta,generasi 90-an bisa mengenalkan musik Padi ke anak-anaknya, adik-adiknya dan anak-anak milenial. Setiap generasi pasti akan berbeda-beda apalagi dalam bermusik."

Tak lama kemudian, Piyu  menggenjreng gitarnya dan datanglah Fadly, menyanyikan "Semua Tak Sama" dan disusul oleh rekan-rekan lainnya.

 Memang benar, setelah 7 tahun vakum, akhirnya mereka kembali lagi. Semua merindukan Padi. Pendengar  dan penikmat musik Indonesia menginginkan Padi kembali, meluruskan musik pop rock kepada hakikatnya. Melawan arus global dan komersil tak bermakna, band-band atau soloist yang mungkin hanya modal wajah yang rupawan, vokal biasa-biasa saja, permainan musik yang biasa, dan lirik yang tak bermakna.

Di mana pada masa itu, pemusik sebagai pencipta lagu tidak asal menciptakan lagu. Butuh hati, perasaan,intuisi dan metafora yang pas namun sederhana, agar perasaan pemusik itu tersalurkan dengan baik dan benar.

Malam itu, mereka hadir membawakan lagu-lagu hits andalan di album  Lain Dunia (1999), Sesuatu yang Tertunda (2001), Save My Soul (2003) dan Tak Hanya Diam (2007). Lagu pembuka "Sang Penghibur".

Pengakuan Rindra

Sedikit cerita, sekitar pertengahan Januari 2017, saya yang kala itu masih wartawan ditelepon Rindra meliput ujian DAN yang dilaksanakan oleh institut Karate-do Nasional (Inkanas) Regional Zona Kaltim di salah satu gedung di Asrama Haji, Balikpapan.

Sebelumnya, saya mengenal Rindra dari sahabat saya, Nanda Galih Husain, yang juga seorang basist. Saya meliput kegiatan komunitas Balikpapan Bass, perkumpulan musisi dan pencinta alat musik. Di Balikpapan Bass, Rindra pembina.

Rindra tinggal di Balikpapan. Ia sendiri ujian DAN (gelar sabuk), dari DAN II ke DAN III. Setelah selesai wawancara terkait rumitnya tes masuk ke jenjang DAN III, saya bertanya kepadanya mengapa Padi sampai saat ini lagu-lagunya tetap tidak 'mati' dan tak lekang "dimakan" zaman. Padahal, kala itu Padi vakum dari belantika musik Indonesia. Rindra hanya tertawa dan merendah, bahkan penjelasannya pun bijaksana. Ia menjelaskan, semua musisi sama saja, ingin setiap lagu-lagunya didengar  terus oleh pendengar. Karena, musik adalah bahasa universal, jadi semuanya dikembalikan ke pendengar.

Rindra juga bercerita, semua personel Padi kangen dengan Padi. Jadi, rencananya, ia dan kawan-kawan akan mengumpulkan Padi kembali. Dan itu tak hanya omong kosong. Toh, semua terkabulkan.

Meski begitu, tetap ada yang kurang dari Padi. Mungkin hal ini juga berlaku bagi para musisi di tahun 1990-an, pada masa itu mereka sudah terkenal, masih muda dan polos. Dari semangat muda dan perkenalan akan bumbu-bumbu asmara cinta, lahirlah lagu-lagu cinta yang mahadahsyat, di mana kepingan CD  dan type recorder pada masa-masa itu laris-manis.

"Kakak saya penggemar berat Padi. Sampai ia dulu koleksi poster, kaset type, hingga aksesori dan baju Padi ia punya," cerita saya, Rindra tertawa dan bahkan berterima kasih. Saya Lanjutkan. "Terus terang, saya dulu itu masih SD dan SMP saya masih tetap suka Padi. Apalagi, lagu 'Sang penghibur' itu terdaftar menjadi lagu wajib di acara festival musik antar sekolah."

Daripada panjang lebar, saya langsung ke intinya. "Tapi begini, Mas. Mohon maaf ya,

apa yang terjadi di era milenial ini? Kenapa lagu Padi hanya itu-itu saja dan tidak membuat lagu baru lagi, atau mungkin Mas RIndra sendiri yang ciptakan lagu. Apakah Padi atau Mas Rindra masih bisa mencipakan lagu cinta seperti yang ada di album-album sebelumnya?"

Rindra berpikir sejenak. Tak lama kemudian, ia menganggukkan kepala.

"Jadi begini, Mas. Benar apa yang dikatakan oleh Masnya tadi. Karena apa, ya, salah satu faktornya adalah kami ini tak muda lagi. Dulu kami melewati masa-masa di mana rasanya jatuh cinta, sakit hati, patah hati, persahabatan, dan perasaan-perasaan lainnya di mana kami tuangkan itu semua dalam lagu. Dulu kami rasakan masa-masa itu. Sekarang, untuk membuat lirik-lirik cinta itu susah sekali. Masa-masanya itu beda," terang pemetik bass tanpa fret ini.

Saya ingin beritahu ada band satu band angkatan Padi, yang sampai saat ini tetap eksis dengan lagu-lagu cinta dan tetap mempertahankan style-nya. Sebelum saya berbicra, Rindra beritahu duluan.

"Saya salut dengan Sheila On 7. Sampai sekarang masih dengan style-nya dan masih bisa membuat lagu-lagu cinta sesuai dengan anak muda banget," lugasnya.

Tidak buru--buru dan tidak tergesa-gesa. Tunggu hati dan moment yang pas dan semua diawali dan diakhrii dengan kehendak hati. Dari itu, musik yang indah akan tercipta dan dibarengi dengan lirik yang sederhana, namun penuh makna.

Pesan Ari

Benar adanya, musik adalah bahasa universal. Menciptakan musik dan lirik, harus dari hati dan perasaan. Jadi, setiap lagu ciptaan yang  mereka mainkan, mampu meluluhlantahkan hati pendengar. Membius pikiran.

Membayangkannya namun ingin memilikinya. Mengingatnya lewat lagu. Melupakannya lewat lagu. Mengenangnya lewat lagu.  Dengarkan saja "Kasih Tak Sampai", "Rapuh",  "Menanti Sebuah Jawaban" dan "Semua Tak Sama". Pendengar, apa yang Anda pikirkan?

Saya bersyukur, malam itu Padi menyanyikan keempat lagu itu, kecuali "Rapuh", yang dimainkan tak sampai dua menit, karena Piyu yang memetik gitar sangat menghayati sekali romansanya "Harmoni" dan "Kasih Tak Sampai".

Rata-rata yang menonton konser berumur 27-47 tahun. Ada yang membawa anak, istri, dan kerabatnya---atau bisa jadi mantan pacar atau selingkuhan. Mereka datang dari latar belakang yang berbeda, saya sempat berpikri hal-hal aneh, mungkin ada yang punya pekerjaan tetap, sudah mapan, menikahi orang kaya, atau sampai saat ini tetap menjomblo dan masih mencari  pasangan hidup.

Mereka pasti ingat, dulu waktu masih sekolah sering nitip-nitip salam di radio,  request lagu Padi dan ditujukan spesial untuk seseorang. Atau, berikan kaset type recorder Padi ke orang yang dicintai dan ditulis-tulis kata-kata cinta di kerts kaset, atau si doi tidak ingin pamer atau tak ingin mendapatkan perhatian lebih. Si doi hanya bisa mendengarkan lagu Padi dari radio, atau type yang diulang-ulang terus agar perasaanya bisa sedikit lega dan diam-diam mengingatnya dalam hati, lewat lagu Padi,

Generasi 90-an, pada masa itu tidak terlalu ingin mempublikasikan kegalauan mereka di depan umum. Cukup hanya aku dan dia saja yang merasakan, tanpa perlu ada yang tahu. Maklum, masa itu tidak ada media sosial. Jadi, tidak ada waktu buat  story snapgram lagi dengerkan lagu ini, atau sharinglagu sedih ke facebook, twitter, atau media sosial lainnya, agar si doi diiperhatikan oleh semuanya---padahal dalam hati modus dan dusta.

Malam itu, sejumlah kerinduan dan masa-masa  itu terjawab sudah.

"2004 kami datang di Balikpapan. Sudah lama sekali dan akhirnya kami datang kembali.  Melepas kerinduan dan menjawab kerinduan semua. Ada yang rindu?" tanya Fadly.

Serentak, "Saya!"

"Sama. Semua menginginkan, agar lagu-lagu Padi tetap diperdengarkan. Kami menginginkan hal itu. Malam ini adalah malam yang begitu indah," lanjut Faldy, disusul tepuk tangan.

Lanjut, "Begitu Indah" di nyanyikan. Energi mereka sama seperti dulu, tetap bergairah, mainnya bersih, kolektif, serta memamerkan skillsatu persatu. Namun sekali lagi  mereka sadar. Sesuai namanya, semakin padi berisi, semakin menunduk. Mereka tambah dewasa dan sangat bijaksana. Bijak dalam berteman dan bermusik.


"Dendam itu dengki, tidak baik untuk manusia. Tapi bersyukur, karena cintalah yang menyatukan kami," pesan Ari.  

Seperti biasa, konser ditutup dengan "Sobat". Padi, teruslah bernyanyi dan berisi.

Balikpapan,  9 April 2018'

*Alfiansyah, lahir dan besar di Balikpapan

dok-pribadi-3-jpg-5acba14ecf01b468c57fd682.jpg
dok-pribadi-3-jpg-5acba14ecf01b468c57fd682.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun