Mohon tunggu...
Alfiansyah Syah
Alfiansyah Syah Mohon Tunggu... Warga Negara Indonesia -

Penikmat Senja

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Menggaji Pesepak Bola dari Tiket Pertandingan

2 April 2018   22:28 Diperbarui: 3 April 2018   18:18 2887
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Profesionalisme, loyalitas, serta cinta terhadap tim dalam tubuh sepak bola, tak hanya dimiliki oleh para pemain, pelatih, manajemen, dan pemilik klub. Semua elemen penting dalam tubuh sepak bola harus bersatu, sehingga menjadikannya entitas yang tak bisa dipisahkan: demi presatsi. 

Semua itu tak akan terwujud tanpa kehadiran suporter, yang selalu ada dan berada. Dengan tabuhan perkusi, yel-yel pembangkit semangat, serta panji-panji yang terus dikibarkan di dalam atau di luar stadion. Suara semangat kolektif, tepuk tangan dan tabuhannya, mampu  memompa semangat juang para pemain, mengingatkan pemain agar bermain dengan hati, tidak loyo dan melempem.

Pada hakikatnya, suporter adalah suporter. Ia selalu ada di stadion. Pemain boleh saja pergi, namun lambang tim di dada, selamanya di hati.

Loyalitas memang tak dapat diintervensi oleh siapapun. Mungkin loyalitas juga semacam idealisme, di mana ia yakin, percaya dan  berpegang teguh pada prinsip dan cita-cita. Namun, sebagai suporter bijak, ada baiknya berpikir obyektif demi membangun klub sepak bola bersama, di mana ia terlibat langsung menghargai keringat pesepak bola, bukti yang paling nyata adalah membeli tiket pertandingan.

****

Ketika mayoritas klub sepak bola masih berbentuk perserikatan di tahun 1980-1990-an, mayoritas tim-tim perserikatan tersebut disokong oleh pemerintah daerah. Setiap kepala daerah, baik itu bupati, wali kota, atau bahkan gubernur mempunyai peran andil sebagai pengurus dan bisa jadi---mayoritas---menjabat sebagai "ketua umum". Ambil contoh, mantan Wali Kota Balikpapan, yang menjabat pada tahun 1981-1989, Syarifuddin Yoes, di masa kepemimpinannya, ia adalah ketua umum Persiba Balikpapan, di mana bapak "penggila bola" ini mempunyai dedikasi, loyalitas, dan cinta yang besar terhadap klub yang dulunya berjuluk "Selicin Minyak".

Dalam sepak bola modern, apalagi ketika tim-tim perserikatan di tahun 2009 dipaksa berbentuk perseroan, menyusul peraturan Menteri Dalam Negeri yang melarang APBD dipakai untuk mendanai klub, dari sinilah masa transisi pengelolaan sepak bola di Indonesia dari "perserikatan" menjadi "profesional". Lepas dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), semua operasional biaya klub, ditanggung oleh Presiden Klub---walau sering ditemui keberpihakan pemerintah, gubernur, kota atau kabupaten mendukung tim tersebut, bagi dari segi operasional-finansial.

Mengelola klub sepak bola Indonesia secara profesional tidak gampang. Pemilik klub mesti memikirkan hal itu secara matang-matang dan berani mengeluarkan dana yang tidak main-main bagi klubnya, baik klub yang berkompetisi di Liga 1, Liga 2 dan Liga 3. 

Tak heran, jika kita sering mendengar bahwa orang yang mengurus sepak bola itu "sudah gila". "Sudah gila" dalam arti, tidak gila. Pikirannya sehat, jernih  dan sangat waras, namun dari kewarasan itu ia berani mengambil resiko bahwa mengurus sepak bola tidak ada untungnya---kecuali ingin dikenal untuk mengumpulkan masa sebagai alat politik atau menjadi mafia sepak bola.

Toh, banyak ditemui berbagai macam masalah klasik lainnya yang membuat klub itu gulung tikar dan bahkan pelatih dan pemain di klub yang ia bela menuntut ke "meja hijau", memperkarakan haknya sebagai pesepakbola tidak terpenuhi: tidak digaji.

Kendati demikian, memang benar bahwa setiap klub sepak bola mendapatkan dana dari pihak operator penyelenggara kompetisi. Namun, dana tersebut lagi-lagi tidak mampu menutupi gaji pemain dan biaya finansial lainnya.

Ambil contoh, ada sebuah klub sepak bola yang berkompetisi di kasta kedua liga Indonesia, dengan materi pemain dari Liga 2 dan eks pemain yang pernah merasakan Liga 1. Ia telah mengontrak 25 pemain dengan durasi satu atau dua musim yang setiap bulannya, satu pemain di gaji sekitar 7-25 juta. Belum gaji tim pelatih dan ofisial, yang  jika ditotalkan bisa sampai ratusan  juta rupiah per bulan. 

Di samping itu, belum lagi biaya operasional tim selama per musim, mulai dari ongkos laga tandang, sewa lapangan, bis, katering, penginapan, bonus apresiasi kemenangan, serta biaya-biaya tak terhingga lainnya?

Perlu digarisbawahi, memang benar, secara kualitas memanajemen tim sepak bola Indonesia dengan Eropa sungguh sangat berbanding jauh. Sepak bola Eropa yang unggul dalam segi permainan, mampu menghidupkan sebuah klubnya dengan cara menarik para sponsor, investasi pengusaha kaya, hak siar, serta pertandingan di stadion yang selalu penuh oleh penonton.  Dengan cara itu, mereka mendatangkan pemain bintang yang nilai kontraknya membuat kita geleng-geleng kepala serta manajemennya pun bekerja secara profesinal.

Akan tetapi, lagi-lagi sepak bola liga Eropa diuntungkan ongkos laga away.  Tak usah terlalu jauh, mungkin bisa ambil contoh di Liga Thailand. Jarak tempuh antar kandang dan tandang tempat Tim A dan tim B bertanding tidak terlalu jauh, sehingga cukup memakai kereta api atau bis pribadi tim. Sedangkan Indonesia adalah negara kepulauan. 

Bagaimana jika klub Aceh United FC (Aceh) naik ke Liga 1 dan melakoni laga tandang melawan kontestan dari Papua, Persipura Jayapura? Berapa kali pesawat harus transit dan berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh manajemen?

Memang benar, persoalan finansial klub sepak bola bukanlah ranah suporter untuk ikut campur tangan. Itu semua, adalah ranah manajemen tim sepak bola.

Ada klub yang sederhana, namun dapat membuat pemain, pelatih dan ofisialnya sejahtera. Tak timbul dari kepura-puraan bagaimana klub tersebut terlihat perfectionist, namun didalamnya banyak permasalahan finansial yang terjadi, dewasa ini. Mulai dari gaji pemain pelatih dan ofisial yang tidak dibayar, atau permasalahan-permasalahan klasik lainnya.

Datang secara langsung dan membeli tiket pertandingan adalah suatu langkah yang bijaksana, demi menghidupi klub, atau minimal menggaji beberapa persen keringat para pesepakbola. Bukankah itu langkah yang sangat bijak dan mulia, wahai para suporter?

Sebagai pemain kedua belas di dalam klub, wajar saja jika suporter protes keras terhadap pemain, pelatih dan kebijakan-kebijakan manajemen tim. Ada baiknya, manajemen juga mendengar saran dan kritik suporter agar seyogianya semua dapat berjalan lancar dan sinergis, sesuai dengan keinginan dan target bersama. Karena, untuk mencapai target yang prestise, semua elemen harus bersatu.

Jika ingin menyampaikan aspirasi atau sekedar curhat terkait beberapa hal dan kebijakan klub sepak bola, sebaiknya bisa disikapi secara "matang" dan dewasa.

Semacam menggratiskan tiket, seharusnya hal-hal tersebut patut dicurigai, dari mana tim sepak bola menggaji para pemain, pelatih dan ofisial? Dari sponsor, pemilik klub, atau ada orang-orang kaya atau orang politik yang berbaik hati? Atau APBD? Bukannya klub-klub sepak bola Indonesia sudah lepas dari perserikatan...

Balikpapan, 25 Maret 2018

*Alfiansyah, lahir dan besar di Balikpapan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun