Mohon tunggu...
Alfiansyah Syah
Alfiansyah Syah Mohon Tunggu... Warga Negara Indonesia -

Penikmat Senja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nikah Muda dan Nekat, Apakah Keputusan yang Tepat?

13 Februari 2018   07:54 Diperbarui: 13 Februari 2018   08:33 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sujiwo Tejo hadir di acara "Edan-edanan Bareng Presiden Jancukers", di Kafe Basabasi, Jogja, Senin (29/1/2018). DOK. PRIBADI

-Sujiwo Tejo Kongko Soal Jodoh (Bagian Terakhir)

ALFIANSYAH

Kenapa sekelas Mbah Sujiwo lebih memilih kawin lari dan nekat sekali membawa anaknya orang. Walau saya tak ingin memikirkan 'dapurnya' orang---apalagi sekelas Mbah Sujiwo---bagaimana, tapi saya yakin Mbah Sujiwo adalah orang yang bertanggung jawab, apalagi dengan persoalan pribadi dan menyangkut keluarga.

Saya pun bertanya kepada seseorang yang sudah berumur, plos, serta tak ingin basabasi mengenai hidup. Saya cerita mengenai apa yang dikatakan Sujiwo.

"Apakah jalan yang diambilnya itu benar atau salah?" kata saya.

"Itu pemikiran dulu. Itulah jalan hidupnya seorang seniman. Ia nekat. Harus siap menerima konsekuensinya. Ia membawa anaknya orang itu kan tidak boleh. Mau jadi ksatria, harus siap menerima semuanya, dan berani mempertanggungjawablannya. Harusnya dia bisa lebih baik lagi. Karena apa, menelantarkan anak-istri itu dosa," jawabnya. Jawaban yang logis.

Tak sampai disitu, ia pun melanjutkan bahwa apa yang dikatakan Sujiwo adalah kata-kata filsafat dan memang sering orang ngomong seperti itu.

"Jika suami tak ada usahanya untuk cari kerja dan sudah termakan dengan yang namanya nasib yang itu-itu saja, sementara semuanya telah digerogoti oleh tuntutan ekonomi yang menggunung, maka, nantinya yang sering terjadi adalah jual cincin atau utang sana-sini. Jadi nikah itu tak sembarangan juga. Tanggung jawabnya besar karena menafkahi tak hanya satu kepala. Harus siap. Berani dan harus kerja. Kerja keras untuk makan," katanya.

Saya masih ganjil menggabungkan dua jawaban itu. Menikah dulu sebelum kerja atau kerja dulu sebelum menikah. Artinya begini, jika menikah dulu sebelum kerja, rezeki nanti pasti akan mengalir, karena suaminya tak hanya menghidupi dirinya sendiri. Dan kata orang tua, semua itu sudah terbukti. Usaha keras dan bangun dari nol. Jika keduanya dilanda musibah yang besar, pasti keduanya dapat melaluinya dengan baik, karena semuanya dimulai dari nol besar.

Yang kedua, kerja dulu baru menikah. Tunggu laki-lakinya benar-benar dapat kerjaan 'jelas', jadi 'orang', penghasilan mapan. Tapi, jika tunggu seperti itu, kebanyakan tuntutan rincian ekonomi yang menumpuk, dimana laki-laki mesti menyediakan uang yang besar untuk biaya resepsi pernikahan atau tuntutan dari keluarga perempuan, dimana laki-laki mesti menyerahkan ini-itu. Jika keduanya belum melalui 'gubuk derita' terlebih dahulu, apa jadinya ketika keduanya dilanda musibah yang begitu berat?

Mungkin inilah yang sering menghantui kawula muda, terutama bagi laki-laki yang sudah berumur 25 tahun ke atas, dimana ia belum bekerja tapi si doi menuntut ingin dinikahi. Katanya minta dihalalkan, daripada begini-gini terus, dosa semakin menumpuk.

Filsuf Erich Fromm,dalam buku "Seni Mencintai" mengungkapkan, kebudayaan kita seluruhnya berdasar pada hasrat membeli, pada gagasan tentang pertukaran saling menguntungkan. Manusia modern bahagia ketika melihat etalase toko, dan ketika membeli segala yang dia sanggup, baik lunas maupun mencicil. Laki-laki dan perempuan memandang orang lain dalam cara yang sama. Bagi lelaki, perempuan yang menarik---dan bagi perempuan, lelaki yang menarik---adalah hadiah yang mereka cari.

Makna "menarik" biasanya suatu paket kualitas yang disukai dan dicari dalam pasar kepribadian. Mengikuti perkembangan zaman dimana semua itu diukur dari hal fisik, mental dan material. Maka dari itu, pernikahan diikat oleh persetujuan---baik oleh keluarga masing-masing, atau makelar pernikahan, atau bantuan perantara semacam itu. Pernikahan diputuskan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sosial, dan cinta diharapkan tumbuh setelah menikah.

Harusnya, laki-laki itu harus bisa mengambil keputusan bijak, sebijak-bijaknya. Berani bertanggungjawab, tak berdasarkan nafsu semata, atau keterpaksaan---dimana si doi hamil duluan, jadi sebagai bukti pertanggungjawaban, ia mesti menikahi doi. Akibatnya, pernikahan dipandang sebagai sesuatu yang main-main dan hanya formalitas belaka. Tak heran jika ada persoalan perselingkuhan, ketidakharmonisan sampai pada persoalan klasik, yakni tuntutan ekonomi menjadi alasan klise hancurnya rumah tangga.

 "Tapi tergantung lagi dari keduanya. Niatnya menikah untuk apa? Jika hanya mengejar nafsu semata, maka bersiaplah untuk babak belur. Tanyakan baik-baik kepada pasanganmu, apakah dia mencintai Allah, mencintai keluargamu, mencintai semesta, mencintaimu apa adanya, tanpa menuntut ini dan itu. Kalau ia menuntut demi kebaikan, maka kamu akan siap ke jalan yang lebih benar. Jika tuntutannya itu berupa material yang mengalahkan logika, maka apa arti dari pernikahan? Apakah acara resepsi yang mewah, atau uang mahar yang nominalnya kelewat batas itu? Lantas apa yang dicari ketika pernikahan sudah seperti itu? " tegas orang tua tersebut.

Jadi, apakah nikah muda dan nekat adalah keputusan yang tepat?

Jogja, 30 Januari 2018

CAPTION-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun