-Sujiwo Tejo Kongko Soal Jodoh (Bagian Pertama)
Jogja masih musim hujan. Di sebuah Kafe Basabasi, telah berkumpul, desak-desakan. Kebanyakan kawula muda dan mungkin saja mahasiswa. Begitu padat. Pantas saja, hari itu, Senin (29/1/2018), seniman Sujiwo Tejo dan sastrawan Agus Noor hadir di acara "Edan-edanan Bareng Presiden Jancuker" dengan tema, "Ngobrol Seru tentang Zaman Edan".
Sudah lama saya ingin bertatap muka dengan keduanya. Saya hanya sering melihat Mbah Sujiwo tampil di televisi, sedangkan Agus Noor, saya tahunya lewat cerpen-cerpennya. Memang, Tuhan punya cara lain dalam setiap pertemuan tak terduga.
Acaranya seperti acara seminar-seminar di kampus, di mana Sujiwo sebagai narasumber dan Agus Noor merangkap menjadi MC. Tapi ini lebih ceplas-ceplos, plong, dan tidak terikat oleh segala macam bentuk seminar yang ada di kampus-kampus. Toh, Sujiwo dan Agus Noor dengan nyamannya ngisap rokok, kongko sembarang, dan kerap kali ngomong jorok menggunakan bahasa Jawa.
Sebagai narasumber, segala macam pertanyaan harus dijawab. Terlihat agak bosan karena yang tanya itu-itu saja, Agus Noor menginginkan agar perempuan bertanya. "Biar pikiran Mbah Sujiwo ngaceng," katanya, semua tertawa. "Biar Mbah Jiwo makin cerdas."
Kaum hawa langsung angkat tangan. Agus Noor memberikan mic ke salah satu perempuan. Kalau tak salah, perempuan itu asalnya dari Padang Pariaman, berjilbab, dan raut wajahnya terlihat ceria.
Ia bercerita kalau ia aktif mengikuti perkembangan Mbah Sujiwo, entah itu di you tube, instagram dan kutipan kata-kata bijaksana lainnya, dari hasil copy paste yang selalu dibuat status, oleh orang awam, dewasa ini.
"...Orang yang menghina Tuhan adalah orang yang bingung jika besok mau makan apa. Itu sudah menghina Tuhan," ujarnya. Kemudian, ia menambahkan. "Pertanyaan saya adalah, saya sebagai anak muda dan teman-teman di sini juga banyak anak muda, barangkali saya terus terang saja mungkin mereka masih pada jomblo. Saya yakin itu, dan mereka sudah siap menikah tetapi terkendala itu tadi (belum bekerja). Jadi, pertanyaanya belum bekerja dan mau menikah, mau kasih makan apa anak-istri saya nanti. Toh, itu kan sudah menghina Tuhan."
Ia langsung menginginkan agar Mbah Sujiwo menjawab dengan bijaksana dan anggap saja bahwa anak-anak muda yang ada di kafe adalah anaknya Mbah Sujiwo. "Apa sarannya ke anak-anak semua jika hal ini terjadi, jika besok ini terjadi dengan kita semua?"
Mbah Sujiwo menjelaskan dengan bahasa Indonesia dicampur bahasa Jawa, di mana saya tak sedikit paham mengenai apa yang dibicarakan.
Katanya, ini adalah soal keputusan. Di dunia ini tak ada yang perlu ditakuti kecuali Tuhan.
Seperti yang Sujiwo bilang, menghina agama tidak usah dengan cara menginjak-nginjak kitab suci. Itu adalah menghina paling cemen dan tak bermanfaat. Menghina yang paling mencolok itu, yakni ketika ia takut dan cemas bahwa besok tidak makan. Itulah jihad batiniah yang mesti diperangi, agar pikiran tak salah kaprah.
Kemudian, ia bercerita mengenai pengalamannya ketika menikah. Sujiwo kala itu yang masih "darah muda", bujangan, selengean, ingin menikahi pacarnya. Dulu, ia menikah tak punya kendaraan. Waktu itu tahun 1980-an, ia kerja menjadi penyiar radio.
"Gaji saya Rp. 2.500 sebulan. Minimal dulu, hidup sebulan itu gaji Rp.12.000. Ketika ditanya oleh orang tua pacar aku terkait pekerjaan, aku bingung mau jawab apa. Aku jujur-juruan saja bahwa aku adalah seorang buruh karyawan," kasihan sekali. Lebih kasihan lagi, ia bercerita tak dikasihani, malah ditertawai.
Cinta itu memang  membutakan semua. Orang tua pacarnya tak setuju, akhirnya ia nekat kawin lari. Ia menunggu si doi di dekat rumahnya. Ia yakin pacarnya yang setia itu akan menemuinya sehabis subuh, keluar rumah, dan langsung loncat pagar. Minggat.
"Kami pergi, kawin lari," katanya, dengan bangga. Dalam hati, saya katakan kalau hal itu sangatlah perbuatan yang tak patut ditiru. "Kawin lari akhrinya, belum sampai seminggu orang tuanya bilang oke. Orang tuanya oke," lanjutnya.
Siapa yang ingin anaknya nikah dengan seorang seniman? Yang katanya orang awam dan calon mertua pekerjaanya atau penghasilannya tidak jelas. Namun Sujiwo percaya satu hal, kalau semua ini nantinya akan baik-baik saja dan jangan pernah takut jika hari ini tidak 'makan'. Masih banyak cara untuk cari 'makan'. Asal keringatnya itu, adalah keringat yang dihasilkannya keluar dari kerja yang halal.
"Sampai saya dipinjami garasi oleh teman saya dan saya kasih dindingi triplek untuk tinggal di situ bersama istri saya. Ngencuk ya disitu," lugasnya. Semua tertawa lepas.
Kemudian, Sujiwo menyarankan ke anak-anak muda agar tak terlalu banyak pikir terkait soal nikah. Di mana tak usah terlalu memikirkan soal kerjaan dan takut tidak makan. Rezeki akan mengalir ketika sudah menikah. Menikah sebenarnya gampang. Mas kawin bisa apa saja, asalkan tidak riba dan harus berupa benda. Tanggungjawabnya yang besar, di mana ia harus bisa bersikap dewasa, matang, bijaksana, serta menafkahi pasangannya secara bataniah.
"Yang lalu biarlah berlalu, sekarang adalah masa depan sudah siap. Anak nantinya akan membawa rezeki itu nantinya pasti akan muncul. Dan ini bukan mitos," katanya.
Saya masih janggal terhadap jalan hidup seorang seniman seperti Mbah Sujiwo. Di mana tak usah banyak mikir soal menikah. Pokoknya nekat-nekatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H