Mohon tunggu...
Alfiansyah Syah
Alfiansyah Syah Mohon Tunggu... Warga Negara Indonesia -

Penikmat Senja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sepenggal Cerita Nyata dari Kebakaran di Klandasan Ulu, Balikpapan

7 Januari 2018   12:04 Diperbarui: 7 Januari 2018   14:42 1625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa kata-kata terakhir yang diucapkan olehnya ketika menghadapi sakratul maut yang ada di depan mata, bersama anak-anaknya? Apakah kata yang diucapkan oleh anaknya, apakah tangisan beserta jeritan yang sangat nyaring sambil berteriak ibu? Dan ibu Aminah pun selalu menenangkan anaknya bahwa semua akan baik-baik saja.

Di alam sana, semoga Ibu Siti Aminah dan kedua putranya ditempatkan di tempat yang damai dan tenang. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan dan kesabaran. Amin ya robal alamin.

Saya pun menyusuri tenda pengungsi. Masih padat manusia mondar-mandi ke sana-sini. Lampu besar dipasang di tengah-tengah tenda, di sampingnya ada mobil yang sedang menyalakan televisi besar. 

Film anak-anak, Teletubbies untuk menghibur warga sekitar. Ada beberapa anak-anak yang belum tidur. Ia menonton teletubbies, ada yang berdiri dan duduk, bahkan ada orang tua paruh baya yang menontonnya, tapi dengan pandangan yang kosong. Nonton hanya sekedar menonton.

Saya lihat disetiap tenda yang satu tenda terdiri dari 3 atau 4 kepala keluarga. Barang-barang mereka ditaruh di kresek dan kardus, ditaruh di pinggir. Ada yang baring-baring, memejamkan mata, duduk melamun, main hape, makan, ngobrol-ngobrol.

Terus terang, ketika melewati tenda itu satu persatu, tak tahu raut muka seperti apa yang saya pasang. Tersenyum tak mungkin, karena terus terang mereka tak butuh basa-basi sekedar senyum---menunjukkan wajah sedih apalagi. 

Dan lebih baik wajah datar tanpa ekspresi. Karena, terus terang ketika saya lewat di salah satu tenda yang diisi oleh seorang laki-laki paruh baya, di mana semua keluarganya tertidur, ia masih duduk sambil ngerokok, sembari menatap mata manusia yang lalu-lalang, dan mata saya juga ditatap dengan pandangan yang datar tapi penuh arti. Saya hanya bisa menundukkan  kepala. Ia pun hanya menunduk dengan wajah yang datar.

Tak mungkin mereka terlelap tidur, karena suara manusia yang lalu-lalang serta banyaknya manusia di tenda pengungsian. Sebenarnya bukan masalah padatnya manusia yang ada di tenda. Tetapi, memikirkan bagaimana dapat hidup dan tinggal di rumah yang layak.

Karena semua rumah tangga pasti membutuhkan rumah. Karena rumah adalah tempat yang paling dirindukan oleh setiap keluarga, di mana segala rutinitas manusia di luar, setelah seselai semuanya mesti kembali ke rumah. 

Berkumpul bersama keluarga. Bahkan perantau pun sangat merindukan rumah. Rumah sudah sejiwa dengan penghuninya. Tapi, apa yang dipikirkan ketika rumah itu sudah habis terbakar? Atau rata dengan tanah karena penggusuran yang dilakukan secara terpaksa.

Saya ke posko penyaluran sembako. Bertanya-tanya apakah pakaian dan sembako sudah cukup untuk para korban. Bapak yang saya ajak cerita itu banyak bercerita. Pertama, soal baju bekas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun