Mohon tunggu...
Alfiano Yafisa
Alfiano Yafisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/Universitas Airlangga

Politik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Membatasi Hak Memilih? Mengkritisi Presidential Threshold dalam Pemilihan Presiden di Indonesia

18 Mei 2023   19:14 Diperbarui: 18 Mei 2023   19:21 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Presidential Threshold, atau ambang batas keterpilihan calon presiden dalam pemilihan presiden di Indonesia, merupakan persyaratan minimal yang harus dipenuhi oleh partai politik atau koalisi partai politik untuk dapat mencalonkan presiden dan wakil presiden. Persyaratan ini berupa presentase minimal 20% kursi DPR atau 25% suara nasional. Namun, apakah Presidential Threshold ini benar-benar memberikan manfaat yang sebanding dengan potensi kerugian dalam hal demokrasi dan partisipasi politik? 

Dalam argumen pendukungnya, para pendukung Presidential Threshold berpendapat bahwa persyaratan ini diperlukan untuk mencegah fragmentasi politik yang berlebihan dan memastikan stabilitas pemerintahan. Mereka berargumen bahwa dengan menetapkan ambang batas yang tinggi, partai politik diharapkan akan terdorong untuk membentuk koalisi yang lebih kuat dan kohesif. Selain itu, diklaim bahwa persyaratan ini mampu menyaring calon-calon yang tidak memiliki dukungan yang signifikan dari pemilih. Namun, pendekatan ini memunculkan berbagai pertanyaan kritis tentang demokrasi dan partisipasi politik yang inklusif. Pertama, persyaratan tersebut dapat menghambat kesetaraan akses terhadap hak memilih dan hak dipilih. Dalam konteks ini, partai-partai politik yang tidak memenuhi ambang batas akan kehilangan hak untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden, sehingga pemilih yang mendukung partai tersebut menjadi tidak diwakili. Ini merupakan bentuk diskriminasi terhadap pemilih yang   berpotensi mendukung partai-partai kecil atau baru. 

Selain itu, Presidential Threshold juga dapat memperkuat hegemoni partai politik yang sudah mapan dan menghalangi partai-partai baru atau independen untuk bersaing secara adil. Persyaratan ini memberikan keunggulan kepada partai-partai yang memiliki basis dukungan yang kuat, sementara partai-partai baru atau independen yang belum memiliki basis yang sama memiliki akses terbatas ke arena politik. Hal ini menghambat terbentuknya kompetisi politik yang sehat dan merugikan pluralitas dalam wacana politik. Tak hanya itu, penggunaan Presidential Threshold juga dapat mengurangi pilihan bagi pemilih. Dalam situasi di mana partai-  partai politik harus berkoalisi untuk memenuhi persyaratan ambang batas, pemilih mungkin harus memilih calon yang tidak sepenuhnya sesuai dengan preferensi mereka. Ini dapat mengurangi kebebasan pemilih untuk mengungkapkan preferensi politik mereka secara penuh dan berpotensi merugikan representasi politik yang akurat. 

Kritik lain terhadap Presidential Threshold adalah bahwa persyaratan ini tidak selaras dengan semangat demokrasi yang inklusif. Sebagai negara demokratis, Indonesia seharusnya mendorong partisipasi politik yang sebanyak mungkin. Dalam konteks ini, Presidential Threshold dapat menjadi hambatan bagi partisipasi politik yang lebih luas dan mengurangi tingkat keterlibatan pemilih. Persyaratan ambang batas yang tinggi dapat menyingkirkan partai-partai kecil atau baru yang mungkin memiliki dukungan yang signifikan dari pemilih, tetapi tidak mencapai persyaratan tersebut. Akibatnya, sebagian besar pemilih tidak memiliki pilihan alternatif yang mencerminkan kepentingan dan preferensi mereka secara akurat. 

Selain itu, argumen bahwa Presidential Threshold diperlukan untuk mencegah fragmentasi politik dan memastikan stabilitas pemerintahan juga dapat dipertanyakan. Stabilitas politik seharusnya bukanlah alasan tunggal untuk membatasi partisipasi politik dan hak memilih. Demokrasi sejati harus memberikan ruang bagi keragaman pandangan politik dan persaingan yang sehat antara berbagai kelompok politik. Lebih lanjut, ketidakcocokan antara Presidential Threshold dan semangat demokrasi juga terlihat dari pengalaman negara lain. Banyak negara demokratis yang tidak menerapkan persyaratan ambang batas serupa dalam pemilihan presiden mereka. Mereka lebih memilih untuk memberikan ruang yang lebih luas bagi partai politik dan calon independen untuk bersaing secara adil, tanpa batasan yang terlalu membatasi. 

Alternatif yang bisa dipertimbangkan adalah menggantikan Presidential Threshold dengan sistem yang lebih inklusif dan proporsional. Misalnya, penggunaan sistem pemilihan presiden proporsional yang memperhitungkan persentase suara yang diperoleh oleh masing-masing partai politik atau calon. Dengan pendekatan ini, partai-partai politik akan mendapatkan representasi yang   sebanding dengan dukungan yang mereka terima dari pemilih. Selain itu, penting untuk melibatkan pemilih dalam proses pengambilan keputusan tentang reformasi pemilihan presiden. Diskusi yang terbuka dan partisipatif dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan dapat menghasilkan sistem pemilihan presiden yang lebih adil dan mewakili kepentingan masyarakat secara keseluruhan. 

Dalam mengkritisi Presidential Threshold dalam pemilihan presiden di Indonesia, penting untuk menyoroti pentingnya demokrasi inklusif dan partisipasi politik yang luas. Batasan yang terlalu ketat dapat merugikan partai-partai kecil atau baru, mengurangi pilihan pemilih, dan menghalangi kompetisi politik yang sehat. Oleh karena itu, perlu ada pertimbangan yang cermat dalam merumuskan persyaratan keterpilihan calon presiden yang memadai dan sesuai dengan semangat demokrasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun