Mohon tunggu...
ALFIAN NURYANA FEBRIANSYAH
ALFIAN NURYANA FEBRIANSYAH Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

-

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ali Sadikin: Petisi 50 dalam Melawan Soeharto

30 Juni 2024   00:10 Diperbarui: 30 Juni 2024   00:17 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Keadaan negara yang semakin carut-marut, setelah terjadi peristiwa G30S/PKI. Dimana keadaan ibukota negara tidak kondusif, juga gubernur yang sedang menjabat menghadapi beberapa masalah. Oleh karena itu, Presiden Soekarno, menerima beberapa masukan nama yang disodorkan, namun tidak satupun yang cocok pada saat itu. Akan tetapi pada akhirnya, dr. J. Leimina, menyerahkan nama Jenderal KKO itu kepada Presiden Soekarno. Dan tanpa berpikir panjang Soekarno yang mengenal Sadikin muda memilih dan mengangkatnya menjadi gubernur DKI saat itu. Pada 28 April 1966, Ali Sadikin muda dilantik sebagai Gubernur Jakarta di Istana Negara. Memang masih muda saat dilantik menjabat sebagai Gubernur Jakarta, namun Bung Karno sangat mengenalinya. Bahkan Bung Karno dalam sambutannya, menyatakan Jakarta memerlukan seorang yang keras kepala seperti Sadikin muda untuk menertibkan para pejabat yang rakus akan dirinya sendiri. Lebih lanjut Soekarno mempercayakan pada Sadikin muda untuk membawa perubahan bagi Jakarta saat itu.

 Jika dilihat ibu kota Indonesia pada waktu itu sangatlah memprihatinkan, banyak permasalahan yang terjadi. Pengangguran, tata letak kota, lapak pedagang, transportasi, dan banyak masalah lainnya, selalu menghiasi Jakarta yang menjadi pusat pemerintahan. Inilah realita situasi dan permasalahan kota yang dihadapi oleh Ali ketika menjabat sebagai Gubernur Jakarta. Jabatan gubernur ini sangatlah memberi tantangan bagi Ali, namun perlahan tapi pasti bisa diselesaikan. Masalah besar pun menghadang ketika APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) Jakarta hanya 66 juta rupiah pertahunnya. Ia mengeluh tak bisa memberi pelayanan kepada penduduk walau APBN sepertiga dari pemasukan daerah, dan duapertiganya subsidi pemerintah pusat. Tapi bukan Sadikin muda namanya, ketika dihadapakan masalah itu, ia pun melihat situasi di pojok-pojok Jakarta banyak judi liar dan bertebaran. Dengan peluang yang sangat besar dan berpedoman pada UU No. 11 Tahun 1957, maka pada tahun 1967 judi dilegalkan di DKI Jakarta. Walau banyak pertentangan yang muncul, tetapi Sadikin melihat ini bermanfaat bagi perputaran perekonomian Jakarta.

 Pertama kali dan belum pernah diterapkan, hanya Bang Ali (sapaan akrab warga bagi gubernur muda itu) yang berani melegalkan perjudian. Karena untuk menggenjot perekonomian ibu kota pada waktu itu. Jakarta pun berubah menjadi ladang kasino terbesar se-Asia setelah Makau. Banyak yang mengatakan bahwa kebijakan tersebut tidak lazim, tapi mau bagaimana lagi, tidak Bang Ali namanya jika tidak keras. Legalisasi perjudian tersebut sangat membuahkan hasil yang memuaskan. Hasil dana dari perjudian sangat besar sekitar 20 miliar per tahun. Nilai ini sangat memuaskan sehingga menggenjot perekonomian ibu kota negara saat itu. Ini adalah pencapaian yang sangat memuaskan, karena juga tujuan Bang Ali untuk mengemBangkan Jakarta sebagai ibu kota negara pada waktu itu. Bahkan dalam pernyataannya, ia akan menanggung semua apa yang akan dipertanggungjawabkan nanti di akhirat, karena ini sangat membuat ekonomi melonjak yang juga hasilnya dirasakan oleh masyarakat Jakarta. Dari perekonomian tersebut, diBangunlah beberapa fasilitas untuk menunjang kebutuhan masyarakat, seperti sekolah, pasar, puskesmas, proyek kampung MH Thamrin, gelanggang olahraga, pusat kesenian, jalan raya, dan lain sebagainya. Salah satu karya yang paling bersejarah adalah kerjasama juga dengan Ibu Tien Soeharto, adalah ketika memBangun Taman Mini Indonesia Indah (TMII), itupun menjadi keBanggaan terhadap Bang Ali ketika menjabat sengai gubernur. Walau perjudian banyak yang tidak setuju terkhusus para ulama’, Bang Ali pasang badan kalau tidak begitu Jakarta diBangun pakai uang darimana padahal APBD kurang sekali untuk memBangun Jakarta.

 Bang Ali sangatlah tegas dan berani, temperamennya yang berwatak keras membuat masyarakat Jakarta tertata dan disiplin. Sebagai orang nomor satu di Jakarta, Bang Ali telah memberikan sumBangsih yang besar bagi negara khusunya Jakarta sebagai Ibu Kota Indonesia pada waktu itu. Dia pemimpin yang melakukan apa yang dia katakan, dan tak segan turun ke jalan untuk membimbing masyarakat. Dari berbagai peristiwa yang dialami dalam kehidupan Bang Ali, sangatlah tepat juga bila dikatakan salah seorang sosok pemimpin yang mendedikasikan dirinya bagi Bangsa. Walau banyak mengucilkan dan mengkritik, yang terpenting Jakarta berkembang, masyarakatnya bisa sejahtera, dan Indonesia mampu bersaing dengan negara lain. Banyak setelah itu ide-ide untuk mengembangkan kota Jakarta, termasuk membenahi ruang tata kota yang pada waktu itu banyaknya urbanisasi yang terjadi di Jakarta.

 Sesudah 11 tahun menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta yang berhasil membawa kota dalam kancah internasional, Bang Ali kembali ke masyarakat walau banyak ditawarkan jabatan lainnya. Hatinya gundah gulana melihat kehidupan demokrasi yang turun, penyalahgunaan kekuasaan/KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), pelanggaran HAM, dan lainnya. Bang Ali bertekad bersama rakyat untuk melawan ketidakadilan tersebut. Pada masa rezim Orde Baru, Sadikin sangat berani membuat kebijakan yang dinilai sudah tidak sejalan dengan pemerintahan saat itu. Bahkan ada suatu peristiwa ketika pemerintah Soeharto, mengharuskan Golongan Karya (Golkar) pada waktu itu harus menang dalam pemilu. Bang Ali tidak serta merta menerima aturan tersebut. Namun Bang Ali menyerahkan kepada masyarakat, bahwa pemilu itu yang melaksanakan adalah rakyat, bukan juga karena keterpaksaan. Dan akhirnyapun terjadi pada pemilu tahun 1971 dan 1977, di Jakarta suara Golkar kalah. Peristiwa ini pun membuat rezim Orde Baru gusar. Tapi Bang Ali dengan santainya menyatakan bahwa, “saya gubernur bagi rakyat Jakarta, bukan gubernur Golkar”. Bang Ali, sangat memahami retorika pemerintahan pada waktu itu, dengan sangat sukses juga membangun Jakarta tidaklah sulit dipromosikan pada jabatan lainnya, namun apalah ia menuruti kata hatinya untuk kembali pada masyarakat.

Tercetusnya Petisi 50

 Sebelum tercetuskan, pada tahun 1978 LKB (Lembaga Kesadaran Berkonstitusi) dibentuk oleh Jenderal A.H. Nasution. Dengan tujuan membentuk masyarakat yang sadar dengan konstitusi dan memantau pemerintah sebagai penyelenggara negara. Tak hanya itu, LKB didirikan agar masyarakat mengerti akan hukum yang berlaku sehingga rakyat tahu dan tidak mudah dipermainkan pemerintah saat itu. Bang Ali pun bergabung dan terlibat dalam lembaga ini, tidak hanya ia yang bergabung namun ada juga Jenderal Hoegeng, Marsilam Simanjutak, Yudilherry, dan lainnya. Para tokoh nasional sudah memperhitungkan secara matang mengenai apa yang dilakukan, karena pemerintah juga yang saat itu sangat seakan-akan paling benar sendiri. Maka dari itu, para tokoh yang sadar melawan atas apa yang dilakukan pemerintah melalui lembaga ini. LKB inilah yang menjadi cikal bakal tercetusnya Petisi 50 yang ditujukan pada Soeharto saat itu. Memang Bang Ali sangat tahu dan sadar mengenai apa yang telah terjadi oleh rezim saat itu. Maka Bang Ali sangat memihak kepada rakyat, walaupun ia sangat mengerti akan dampak yang terjadi padanya.

 Ditengarai juga pemerintah yang sangat diktatoris, sehingga masyarakat hanya diam dan bungkam tidak berani melawan atas apa yang terjadi. Bagi pemerintah sendiri mengejawantahkan bahwa Soeharto seorang yang Pancasilais, maka siapa yang berani melawan pemerintah adalah anti-Pancasila, komunis, pengkhianat negara, dan lain sebagainya. Ini terjadi atas pemrakarsaan Soeharto, terhadap masyarakat melalui indoktrinasi P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang juga menyatakan bahwa rezim Soeharto adalah Demokrasi Pancasila itu sendiri. Tak bisa dipungkiri juga bahwa ini dilakukan pemerintah Orde Baru dampak ancaman ideologi kiri (komunis) yang dulu muncul di Indonesia dan ideologi kanan (politik Islam). Ditambah pula pernyataan Presiden Soeharto pada rapat umum pimpinan ABRI di Balai Dang Merdu, Pekanbaru pada tanggal 27 Maret 1980, bahwa ABRI berjanji menjaga dan melindungi Pancasila dan UUD 1945 dari segala ancaman dan perubahan. Disampaikan juga bahwa ABRI yang menjadi kekuatan sosial politik pada waktu itu harus memilih mitra-mitra politik yang bisa dipertanggungjawabkan dalam menjaga dan mempertahankan ideologi Pancasila dan UUD 1945. Pernyataan ini pun juga diulang kembali pada sebuah pidato pada peringatan hari ulang tahun Kopassandha (Komando Pasukan Sandhi Yudha, sekarang Kopassus).

 Dari beberapa hal tersebut dan juga pernyataan Soeharto sendiri, menjadi perbincangan dan mengundang tanggapan-tanggapan dari tokoh politik maupun militer. Keadaan inilah yang menjadikan dorongan hingga tercetusnya Petisi 50, dimana Ali Sadikin berperan sebagai ketua petisi tersebut. Bersamaan juga petisi ini ditanggapi oleh para tokoh nasional yang setuju, seperti Jenderal A.H. Nasution, Jenderal Hoegeng, A.M. Fatwa, dan lainnya hingga berjumlah 50 orang. Setelah itu, Petisi 50 diterbitkan pada 5 Mei 1980 di Jakarta, yang awalnya sebagai “Ungkapan Keprihatinan”, dan dibubuhkan tanda tangan oleh para tokoh yang merespon positif petisi tersebut. Sesudahnya disusun, Petisi 50 disuarakan di depan seluruh anggota DPR pada 13 Mei 1980, dengan maksud meyakinkan para wakil rakyat untuk meminta kejelasan Presiden Soeharto, atas apa yang telah dinyatakan dirinya. Petisi 50 sendiri, berisi pengungkapan menentang dan meminta kejelasan atas pernyataan yang disampaikan Soeharto mengenai Pancasila dan ABRI yang disiratkan untuk menentang lawan-lawan politik dan mengejawantahkan atas Pacasila itu sendiri. Hal tersebut itu ternyata direspon baik oleh ketua DPR, yang kelanjutannya akan disampaikan dan dibahas oleh Presiden sendiri.

  Akhirnya respon datang dari Soeharto, dimana pada 1 Agustus 1980 ia menghaturkan jawabannya kepada ketua DPR Daryatmo. Jawaban Soeharto menyatakan bahwa para wakil rakyat itu sudah mengerti dan berpengalaman dalam memahami makna pidatonya tersebut. Namun, apabila masih belum puas akan jawaban tersebut, ia mengusulkan agar para nggota DPR menanyakan kepada para anggota dari komisi DPR terkait. Dalam perjalanannya pun, akhirnya Soeharto marah, Pak Harto tidak menyukai apa yang menamakan diri dari Petisi 50 tersebut. Agar tidak menimbulkan ketidakstabilan pemerintahan khususnya perpolitikan yang tidak di inginkan, maka Soeharto dengan kekuasaannya memerintahkan agar para tokoh yang terlibat dicekal dan juga dicabut hak politiknya. Bahkan beberapa tokoh ada yang ditangkap karena, dianggap telah melakukan penghinaan terhadap presiden. Banyak yang dilakukan pemerintah, sekalipun teman dalam militernya untuk membungkam mereka terlebih pers saat itu dilarang mengulik lebih jauh apa yang terjadi mengenai dari Petisi 50 tersebut. Di kucilkan dari kehidupan ekonomi, politik, dicekal, tidak diperkenankan pergi keluar negeri, tapi apalah daya mereka Bang Ali dan kawan-kawan merasa memang ini harus tetap dijalankan pantang menyerah, walaupun pada akhirnya perkembangan Petisi 50 ini menurun. Kekuatan rezim Soeharto yang sangatlah kuat, Petisi 50 ini tidak pernah berhasil mencapai tujuannya.

 Selama belasan tahun kiprahnya tidak berhenti begitu saja, Bang Ali tetap aktif dan eksis dalam turut menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat. Ia hanya bisa memendam rasa kecewa, baginya ia hanya berpesan kepada para wakil rakyat harus bisa meningkatkan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Walaupun menjalani kehidupan secara biasa setelah dikucilkan pada rezim Orde Baru, Bang Ali menjalani secara sederhana dan konsisten ia tak mengeluh sekalipun. Pupus dalam harapan tidak, tapi Bang Ali tetap berharap negara ini makmur, berkeadilan, rakyat bahagia, muncul pemimpin yang adil dan tegas, hingga Indonesia bisa bersaing dalam kancah Internasional. Banyak perjalanan kehidupan yang dilaluinya manis pahit Bang Ali rasakan, hingga akhirnya Ali Sadikin wafat pada 20 Mei 2008.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun