Mohon tunggu...
Loganue Saputra Jr
Loganue Saputra Jr Mohon Tunggu... pegawai negeri -

"Seri Langit Terbelah Dua merupakan efik cerita awal kehidupan manusia di dunia, berawal dari pengusiran dari Surga hingga kepada perang besar yang membawa dunia menuju kiamat"

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Mahakama] 05/ Langit dan Bumi

4 April 2014   13:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:06 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua hari setelah kedatangan orang-orang dari Kerajaan Qwitaire ke sini, mereka sudah menebang banyak pohon untuk membuat pagar kayu yang mereka gunakan untuk melindungi kemah mereka dari bahaya yang ada di seluruh penjuru, mereka juga menggunakan pohon yang mereka tebang sebagai bahan bangunan untuk membuat rumah sederhana. Dari apa yang mereka lakukan sepertinya orang-orang itu berencana akan membuat perkampungan kecil di tanah yang sebenarnya tidak mereka miliki. Bukan karena mereka tidak tahu tentang keberadaan suku asli yang jauh lebih berhak daripada mereka, mereka tahu tentang keberadaan suku yang sejak mereka datang terus mengawasi pergerakan mereka. Mereka tahu bahwa di balik hutan lebat itu terdapat sebuah pemukiman kecil yang berisikan orang-orang yang sudah terlatih hidup bersama alam. Dan karena pengetahuan mereka itulah akhirnya mereka datang ke pemukiman dengan aroma perdamaian.

Hari itu setelah berburu aku berbaring di dalam belay sendirian, aku berpikir tentang banyak hal yang sangat aku resahkan sejak kedatangan salah satu kapal Kerajaan itu. Aku mulai ingat dengan banyak kejadian yang aku alami sebelum aku berada di tempat ini. Aku ingat bahwa hidupku dulu bukanlah kehidupan yang mudah apa lagi bahagia. kehidupanku dulu penuh dengan ujian. Waktuku banyak terbuang di penjara hanya karena sebuah kesalahan yang tidak pernah aku lakukan.

Aku mulai menyusun memoriku seperti jalinan cerita yang bergerak di dalam ingatanku, aku menyusun ingatan sejak aku berada di dalam penjara hingga aku terdampar di tempat yang mungkin aku anggap sebagai swarga yang telah lama aku cari. Aku ingat rasa berat yang menjerat kedua kaki dan tanganku, mengurung aku dari kehidupan dunia luar yang jauh lebih terang dan nyaman. Aku juga selalu ingat suara rintihan di sepanjang lorong penjara serta suara nyanyian burung hantu yang bertengger di balik tembok penjara yang setiap malamnya menceritakan kegelisahan orang-orang yang ada di dalam sana.

Di dalam kepercayaanku ada yang namanya Karmaphala tattwa yang artinya setiap orang percaya bahwa setiap apa yang dilakukan oleh manusia di dalam hidupnya pastilah akan ada ganjarannya yang setimpal. Hukum sebab-akibat yang berlaku tidak mungkin bisa dihindari, karena kebaikan dan keburukan pasti akan terbalas, baik di kehidupan saat ini atau pun kehidupan lainnya setelah melakukan reinkarnasi. Dan apa yang aku terima saat di penjara itu mungkin saja sebuah balasan atas sebuah kesalahan yang pernah aku lakukan dulunya atau di waktu kehidupanku sebelumnya. Namun jika pun hal itu tidak benar tentang kesalahan dan pembalasan maka aku menyebut hal itu sebagai cobaan yang menguji hidupku agar aku lebih bisa bersyukur dan bersifat sabar.

Suara ramai diluar belay membuat lamunanku sirna, aku keluar untuk memastikan apa yang sedang terjadi. Rumbun dan Segah berdiri di depan belay, memandang ke arah iring-iringan orang yang berjalan melintasi mereka menuju ke belay panjang tempat Datok tinggal. Aku agak merunduk di belakang Rumbun dan Segah, memerhatikan beberapa wajah yang aku kenal, namun di antara wajah itu yang membuat aku meresah adalah wajah Ganendra yang keras dan penuh wibawa.

Aku kenal wajah itu sudah sejak lama, sejak sebelum aku menjadi seorang pertapa, atau bahkan sejak aku masih kecil dan beranjak dewasa. Aku mengenal sosok ambisius yang berada di balik wajah gagah dan keras itu. Bahkan jika aku bermaksud untuk melupakannya aku tak mungkin pernah bisa melakukannya. Karena jalan hidup kami dulunya saling bersebelahan hingga akhirnya berubah menjadi berseberangan.

Beberapa orang termasuk Ganendra masuk ke dalam belay Datok, sedangkan sisanya berjaga di depan belay. Aku mulai berprasangka pada apa yang terjadi di dalam belay Datok, mungkinkah Ganendra tahu tentang keberadaanku dan sedang melakukan negosiasi dengan Datok untuk membawaku pergi dari tanah nyaman ini?. “Semoga saja semua yang aku pikirkan itu salah”,ucapku dengan suara yang pelan pada diriku sendiri.

Aku pun memutuskan untuk mencari Jenta, aku hanya tak ingin jika pada akhirnya aku terpaksa pergi meninggalkannya tanpa pernah mengutarakan perasaanku padanya. Aku sangat mencintainya dan bahkan cinta itu sudah tumbuh begitu besar dalam dagingku, bahkan lebih besar dari lautan dan angkasa yang membentang di setiap penjuru dunia. Namun tak sempat aku menemukan Jenta, Saloh datang menjemputku, dia membawaku ke belay Datok atas perintah Datok sendiri. Aku semakin resah namun saat itu tak terbesit sedikit pun dipikiranku untuk lari menghindari itu semua. Aku malah mengikuti langkah Saloh dan masuk ke dalam belay Datok yang remang dengan aroma maskulin merasuki indra penciuman.

Saat aku berdiri di depan pintu yang kembali ditutup oleh Saloh, beberapa pasang mata yang ada di dalam sana memandangku dengan banyak kemungkinan yang tidak bisa aku tebak. Kecuali tatapan Ganendra yang sangat menusuk dengan raut penuh amarah, seakan terlihat dari bola matanya ada api yang berkobar semakin menjadi. Tatapan tajam itu membawa aku berputar ke dalam ingatan yang pernah terjadi di penjara di waktu-waktu terakhir penghukumanku.

Saat itu aku duduk di balik kerangkeng yang beraroma busuk, jari-jariku mencengkram besi kerangkeng dengan kuat dan di dalam mataku tertutup nuansa gelap akibat rasa sakit yang lama aku rasakan. Mungkin lebih tepatnya saat itu aku seperti kegelapan yang sebentar lagi akan menemukan kematian. Namun aku tak pernah takut dengan kematian, karena aku yakin kematian hanyalah jembatan yang diberikan Yang-Maha-Esa untuk mencapai reinkarnasi. Saat itulah tatapan tajam penuh amarah Ganendra menusukku hingga ke dalam jiwaku. Amarah dan rasa sakit hati yang merong-rong di dalam hatinya telah menumbuhkan perasaan benci yang begitu besar, mungkin rasa benci itu sebanding dengan perasaan benci yang dimiliki Korawa terhadap Pandawa atau juga mungkin lebih dari itu.

Ganendra datang ke penjara untuk melihat ketakutanku atas waktu kematianku yang semkain dekat, dia berbicara tentang ganjaran dosa, dia menyumpahku dengan kata-kata kasar yang tak pantas diucapkannya. Dia mencoba terlihat puas dengan itu semua, walau aku tahu ketika semua itu berakhir maka dia akan menangisi semuanya, karena dia akan menyesal telah menyudahi hidup seseorang yang setiap hari ingin dilihatnya dengan tatapan kebencian, mungkin dengan kata lain dia akan kehilangan ruang baginya untuk melakukan balas dendam, dia akan tersiksa karena pelampiasan rasa sakit hatinya sudah tidak lagi ada.

Kehendak Sang Pencipta siapa yang tahu, demikian juga dengan nasif manusia. Di malam yang aku yakini sebagai malam terakhir hidupku itu malah menjadi malam yang tidak pernah direncanakan, seseorang telah menyelamatkanku dari penjara, aku tak bisa mengenalinya malam itu karena keadaan lorong begitu gelap, dia adalah seorang lelaki bertubuh tinggi, berambut hitam pendek dengan wajah tertutup kain dan menyisakan sepasang mata tajam bagaikan elang.

Tak sempat aku menanyakan siapa dirinya, dia sudah melepaskan ikatan perahu yang ada di dermaga, dia mendorong perahu yang aku tumpangi ke tengah sungai, lalu pergi menyatu dengan gelapnya malam. Saat aku berada di tengah sungai, aku bisa melihat orang-orang berlari membawa lentera dan obor mencari keberadeaanku di sekitar dermaga. Aku mulai mengayuh tanpa tujuan, mengikuti sungai hingga akhirnya terdampar di tempat yang jauh.

Datok menambahkan serpihan kayu ke dalam tungku kecil yang menciptakan asap berbau maskulin, kemudian memandangku dengan tatapan tajam. “Kembali ketempat asal kau bermula. Orang-orang ini menjemputmu.”

Aku hanya mengangguk tanpa bertanya, sedangkan Ganendra tersenyum puas dengan keputusan itu. Lalu Datok mendekat kearahku dan memegang pergelangan tanganku, dia ingin menarik gelang yang diberikan Jenta padaku. Namun aku menahannya. “Bisakah Datok juga tidak mengambilnya dariku?,” pertanyaan itu lebih tepatnya disebut sebagai permohonan terakhirku. Dan kemudian Datok membiarkan gelang itu tetap melingkar di pergelangan tanganku.

Saloh membuka pintu, itu artinya sudah waktunya aku untuk pergi bersama rombongan Kerajaan. Mereka tidak merantaiku atau menyeretku seperti layaknya seorang tahanan, mereka hanya berjalan di antaraku menuntunku pergi meninggalkan pemukiman. Mungkin seperti itulah perjanjian yang telah mereka lakukan dengan Datok, dan saat aku pergi bersama rombongan tadi, Datok berdiri di depan belaynya menatapku dengan tatapan yang tidak biasa, demikian juga yang dilakukan orang-orang yang ada di pemukiman.

Jenta mengiringi pergerakan kami dari kejauhan, dia melintas dari pepohonan, bergerak di atas dedaunan kering yang lembab, aku bisa melihat kesedihan yang terpancar di wajahnya, kesedihan yang sama seperti yang aku rasakan. Ketika kami sudah cukup jauh dari pemukiman Jenta pun akhirnya berhenti, dia berdiri di antara ilalang melepaskan kepergianku, namun aku tak sanggup jika harus meninggalkannya begitu saja, aku berhenti melangkah demikian juga dengan orang-orang yang menuntunku.

Ganendra berpaling dengan wajah angkuhnya kearahku. “Kau harus bergerak….jika tidak kami akan menyeretmu,” ancamnya tegas.

“Aku akan ikut, tapi aku ingin mengucapkan sesuatu padanya untuk yang terakhir kalinya,” pintaku.

Semua mata tertuju pada Ganendra seakan menunggu keputusan pemimpin mereka. Tak ada kata yang terucap dari mulut Ganendra, dia membisu seolah sedang berpikir sangat dalam, namun tak sampai dia mengucapkan ijinnya, aku sudah bergerak perlahan menuju ke belakang. Tak ada yang menghalangiku demikian juga dengan Ganendra.

Jenta yang melihat aku bergerak kearahnya, berlari mendekatiku, ketika kami berdiri dalam jarak yang sangat dekat, dia memelukku begitu dalam, bisa kurasakan air matanya mengalir menyentuh pundakku, demikian juga dengan detak jantungnya yang menguat sama dengan detak jantungku, aku melepaskan pelukan kami, kemudian aku mencium keningnya penuh kasih sayang.

“Aku tak bisa berjanji akan kembali, namun aku bersumpah bahwa aku mencintaimu,” setelah aku mengucapkan kata-kata itu, aku pun mundur secara perlahan dan berpaling darinya tanpa mau kembali menoleh kearahnya yang berdiri menatap jiwaku yang semakin menjauh dari pandangnya.

Jika benar langit dan bumi adalah sepasang kekasih yang terpisah akibat sebuah tragedi dan mereka tak akan pernah lagi bisa saling bersentuhan satu sama lainnya maka aku tak pernah berharap cinta kami akan berubah menjadi seperti itu. Aku tak ingin perasaan kami di hantui oleh kerinduan, dikuasai oleh kemarahan pada takdir. Seperti langit dan bumi yang selalu berpandangan walau malam menggelapi mata mereka, walau siang menyilaukan tatap mereka. Hingga akhirnya hujan menjadi air mata kerinduan dan petir berupa rintihan kepiluan.

Sebelumnya bisa dibaca di sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun