Kuda putih dengan pelindung kepala yang terbuat dari besi tidak lagi di tunggangi oleh pemiliknya. Akan tetapi kuda itu masih berada di barisan paling depan, barisan yang mengarahkan semua langkah untuk menuju kembali ke tempat yang mereka sebuat sebagai rumah mereka. Jubah agak gelap berlapis warna merah melambai seirama dengan hentakan kaki kuda yang menapak tanah, wajah tenang bermata elang itu terlihat percaya diri dengan wibawanya yang tidak pernah surut meski usianya tidak lagi bisa dikatakan muda.
Meski sudah sangat lama tidak menapaki jalan itu, meski sudah 82 kali bulan purnama berlalu, akan tetapi ingatan itu masih sangatlah kuat, ingatan itu seakan mengheja setiap detil dari langkah yang dulu dilakukannya dalam arah yang berlawanan. Akhir dari hutan goblin sudah terlihat, dedaunan yang saling menyentuh antara beberapa pohon yang bersebrangan seolah membentuk ujung rongga, memaparkan wilayah luas yang lapang. Reruntuhan batu sudah terlihat, itu pertanda tujuan mereka sudah sangat dekat.
Puncak dari dua menara terlihat melambaikan bendera berlambang elang kemerahan. Dan dari jarak yang cukup jauh itu terlihat sebuah pergerakan di atas menara yang memberikan tanda kepada orang-orang bahwa apa yang mereka tunggu sudah datang, lonceng pun berbunyi, menggema hingga menghilang di ketinggian.
Raja Robert menghentikan kuda putih yang ditunggangnya, menoleh kebelakang kearah pasukan yang bergerak maju dibelakangnya, kemudian Raja Robert memberikan isyarat untuk berhenti. Gemuruh langkah sekejab menjadi sepi. Raja Robert memutar kudanya, bergerak melewati barisan menuju kereta kuda yang berada di tengah-tengah barisan. Ketika langkah kuda itu berhenti tepat di samping kereta, pintu kereta kuda yang tadinya tertutup kini dibuka dari dalam.
Paries turun dari kereta sambil memandang kearah Raja Robert yang berbicara padanya. “Kau ikut bersamaku, kereta akan mengantar Wabster kerumahnya bersama beberapa tentara.” Raja Robert mengulurkan tangannya kearah Paries.
Jantung Paries berdetak lebih kencang daripada biasanya, rasa gugup itu muncul karena kenyataan yang akan dihadapainya tak bisa dihindari olehnya, kenyataan bahwa kedatangannya ke Thron bukanlah kabar baik bagi beberapa orang yang hidup di Istana, entah dia bisa diterima atau malah diabaikan begitu saja.
“Kau tak perlu takut, aku sudah berjanji akan menjagamu,” ucap Raja Robert seakan bisa membaca pikiran bahwa anaknya itu sedang berada di dalam kegelisahan.
Paries yang duduk di depan Raja Robert di atas kuda putih yang bergerak maju melewati pasukan menatap tajam ke depan, benteng besar membentang kokoh dan di tengahnya terdapat pintu besar yang sudah terbuka, pintu yang menunggu kedatangan mereka semua. Seakan pintu itu menuju dunia baru bagi Paries.
Teriakan penyambutan menggema di pintu gerbang, barisan orang-orang yang menyambut kedatangan Raja terlihat menyingkir kesamping jalan, berdiri dan memberikan ruang agar pasukan Raja bisa melewati jalan tanpa hambatan.
Kuda putih melangkah paling depan, memperlihatkan wajah Raja Robert yang tegas penuh wibawa. Paries yang duduk di depannya memperhatikan setiap wajah dan wilayah yang ada di sekitar jalan. Kebanyakan dari orang menatap kearah Paries, menimbulkan banyak pertanyaan yang hanya berupa bisik-bisik pelan tak terdengar oleh indra pendengaran dengan jelas.
Siapa bocah laki-laki yang bersama Raja?.
Dari mana asalnya?.
Mengapa bisa berada di kuda yang ditunggangi oleh Raja?.
Semua pertanyaan itu menimbulkan rasa penasaran bagi semua orang yang melihat bocah berambut pirang itu. Akan tetapi tak satu pun dari mereka berani mempertanyaakan hal itu, biarlah waktu yang akhirnya akan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Langkah kuda berserta jejak para tentara menuju pintu gerbang istana yang berada di sebelah Timur, halaman depan istana sudah diisi dengan sosok-sosok penting istana, mulai dari parapanglima, penasihat kerajaan serta keluarga Raja yang berdiri di barisan paling depan.
Pangeran David, anak laki-laki tertua Raja Robert terlihat berdiri menunggu kedatangan sang Ayah, adik perempuan Pangeran David yang terpaut hanya beberapa tahun darinya, Putri Isabela juga menunggu sosok Ayah yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Ratu Erja yang berada di antara dua anaknya tadi menatap lurus kearah kuda putih yang baru saja melewati pintu istana.
Dan pertanyaan yang sama seperti orang-orang di sepanjang jalan menuju istana juga muncul di benak Ratu Erja. Siapa bocah laki-laki yang dibawa oleh Raja Robert?.
Pasukan yang bergerak dibelakang Raja Robert membelok ke samping kanan, berbaris dengan sangat rapi, sedangkan Raja Robert dan Paries bergerak dengan kuda putih ke tengah lapangan istana. Raja Robert turun dari kuda kemudian menurunkan Paries. Kuda diterima oleh penjaga kuda istana, dibawa ke sisi kanan yang akan membawa kuda itu kekandang kuda. Raja Robert memegang tangan Paries, kemudian memandang ke semua penjuru yang memperhatikan sosoknya yang diagungkang. Dengan lantang dia berucap.
“Ini adalah Paries,” suara Raja Robert menggema di dalam kesunyian.” Paries Arthur, Pangeran Paries Arthur, berasal dari desa Hoar Kerajaan Draconis. Dia akan tinggal di Thron dan menjadi bagian dari Thron, memiliki darah Thron. Sama seperti kita semua orang-orang Thron. Anak Raja Thron yang berasal dari barat”
Tak ada kata yang terucap dari mulut orang-orang yang hadir di lapangan istana, semua membisu dalam keterkejutan yang disembunyikan. Ratu Erja menatap tajam kearah Raja Robert kemudian berpaling dan bergerak meninggalkan lapangan istana. Langkah itu menuju ke dalam istana yang megah dengan keadaan hati yang bergejolak.
~
Kereta kuda berhenti di depan sebuah rumah, lima orang tentara yang mengikuti pergerakan kereta kuda tadi bergerak kearah pintu kereta, membukanya dan mengeluarkan sosok lelaki yang terbaring lemah dengan luka parah terbalut kain di bahu hingga tangan kanannya.
Pintu rumah dibuka oleh seorang perempuan dari dalam, wajah khawatir sudah tergambar ketika melihat sosok lelaki yang sudah lama tidak dilihatnya itu terbaring di atas tandu yang diangkat oleh empat orang tentara. Sedangkan satu tentara mengikuti di belakang tandu sambil membawa sebuah pedang penuh sejarah yang masih tersimpan di dalam sarungnya yang terbuat dari kulit rusa lembut.
Perempuan yang menyambut kedatangan seseorang yang ditunggunya itu mengarahkan para tentara untuk meletakkan sosok lelaki di atas tandu tadi kesebuah kamar yang sudah terbuka sejak tadi. Sosok lelaki itu diturunkan dan dibaringkan di atas sebuah kasur yang nyaman.
Dan saat para tentara sudah pergi Perempua tadi duduk di samping lelaki yang sedang terluka parah itu sambil memandangi wajah yang terlihat senyum dipaksakan. “Aku sudah menerima suratmu yang kau kirimkan lewat merpati yang ada di istana. Semua itu sudah terjadi, semua kehendak para Dewa yang agung.—.”
Tangan kiri yang lemah bergerak memegang jemari halus perempuan tadi. “ Maafkan aku Luna—,” suara itu lirih bernada penuh sesal.
“Sudahlah, tak ada yang salah atas semua ini. Garisan Dewa tak akan mungkin bisa di ingkar, walau terkadang manusia memiliki banyak rencana atas banyak hal yang menyenangkan—tak ada yang ingin dia pergi, bahkan kau pun. Aku tahu itu.” Luna menggenggam tangan lawan bicaranya dengan sangat erat.
“Kau bisa ambilkan pedang itu,” tunjuknya kearah pedang yang ada di atas meja kayu.
Luna melepaskan jabatan tangannya, bergerak mengambil pedang yang terasa berat. Meletakkannya di samping sosok yang masih terbaring lemah.
“Ini adalah pedang Peter. Aku sudah berjanji padanya akan memberikan ini kepadamu sebagai tanda bahwa dia sudah kembali dan aku juga sudah bersumpah padanya untuk selalu menjaga keselamatanmu.”
Luna meraik tangan kiri yang lemah tadi, menyentuhkannya pada pedang yang dulunya dimiliki oleh lelaki yang merupakan pasangan hidupnya. “Kau tak perlu mengembalikannya Andi. Aku tak mungkin bisa menggunakan benda ini. Akan sangat bermanfaat jika pedang ini dimiliki olehmu—.”
Andi memandang sorot mata Luna.
“Kau tak perlu menolak ini,” ucap Luna menebak. “Jika kau berjanji padanya akan melindungiku maka kau memerlukan sesuatu yang kuat yang bisa melindungi dirimu dan juga aku.”
Andi tersenyum, sudah lama dia tidak tersenyum seperti hari itu, senyum yang keluar karena sebuah rasa yang berbeda bergejolak di dalam hatinya, rasa yang memiliki makna yang sulit untuk digambarkan.
“Aku akan mengambilkan air hangat untuk membersihkan lukamu,” ucap Luna sambil bangkit perlahan.
“Luna—,” Andi menghentikan langkah Luna. “Aku minta maaf jika kedatanganku merepotkanmu.”
Luna tersenyum. “Kau adalah bagian dari keluarga dan selamanya akan tetap seperti itu.” Lalu langkah itu berlanjut meninggalkan
Andi yang terdiam menatap kearah Luna yang menghilang dibalik pintu. Pandangan Andi beralih ke langit-langit, melihat kekosongan dalam pikirannya yang tidak pernah kosong, dengan sangat pelan dia berucap. “Akan tetap menjadi bagian dari keluarga—tidak lebih. Tidak lebih dari sekedar itu.” Senyum mengembang untuk yang kedua kalinya sejak kedatangannya tadi. Dan perlahan mata lelah itu menutup, tertidur begitu saja.
Jemari lembut yang perlahan memegang bahu sebelah kanan Andi membuat rasa nyeri merambat cepat dan mengejutkan Andi yang sejak tadi tertidur lelap. Ketika tubuh Andi merespon rasa sakit yang menyebar begitu cepat, pergerakan lembut tadi berhenti sejenak.
Andi membuka matanya perlahan, mencoba menyembunyikan rasa sakitnya, memperlihatkan senyuman sekilas pada dua bola mata indah kecoklatan yang memandang lekat pada luka yang sudah mulai mengering.
“Maafkan aku jika membuat kau terbangun. Kau bisa menahan sakitnya sejenak, aku ingin melepaskan perban lukamu dan membersihkannya dengan air hangat,” tangan Luna yang terampil mulai bergerak melepaskan perban putih yang sudah berubah merah tua karena darah yang mengering.
Kain basah berasap yang berasal dari bak kecil berisi air hangat diperah oleh Luna kemudian disapukan pada noda darah yang mengering pada bahu Andi. Panas yang menyentuh luka terasa membakar hingga keseluruh tubuh, walau sudah dicoba untuk menahan rasa sakit yang luar biasa itu, rintihan pelan masih terdengar walau suara itu sangatlah pelan dan ditahan-tahan.
Setelah dibersihkan luka tadi kembali dibalut dengan kain baru yang bersih, Andi perlahan duduk sambil meminum jamu yang diberikan oleh Luna agar lukanya cepat kering dan sembuh. “Terima kasih,” ucap Andi pelan pada Luna yang berdiri di sampingnya.
“Sudah ku bilang kau tak usah berterima kasih. Apa yang aku lakukan memanglah sebuah keharusan, andai Peter masih hidup mungkin dia juga akan menyuruhku melakukan hal yang aku lakukan saat ini.”
Andi tunduk sejenak berpikir. “Saat orang tua kami dibunuh aku sangatlah sedih, aku seakan putus asa dengan keadaan itu, rasa dendamku membara walau pun aku tak tahu harus kemana kulampiaskan rasa dendam itu. Aku tahu Peter juga merasakan apa yang aku rasakan, tapi dia bisa bersikap lebih tenang daripada diriku, dia selalu mengingatkanku, dialah yang menjadi kesabaran dalam hidupku.”
“Peter pernah bercerita tentang kemarahanmu itu, dia menyuruhmu membuat perahu dari batang pohon kayu akasia untuk melampiaskan kemarahanmu itu bukan.” Luna menyapu tangannya pada celemek yang terikat dipinggangnya. “Aku merasa dia masih berada di sini bersama kita—,” kata-kata terakhir itu bernada lirih.
“Saat itu aku masih terlalu muda untuk mengerti keadaan, aku termakan oleh kemarahanku sendiri, tidak mudah jika harus menerima orang yang kita sayangi harus pergi lebih dulu daripada kita—dan aku juga mengerti apa yang sedang kau rasakan saat ini.”
Luna tidak lagi berkata apa-apa, dia bergerak menuju keluar kamar sambil mengangkat bak kecil berisi air yang tidak lagi hangat. Dia menyembunyikan kesedihannya dengan memalingkan wajahnya dari Andi.
“Luna—,” lagi-lagi Andi menghentikan langkah Luna. “Kau masih ingat kisah 3 anak serigala?. Setiap serigala selalu memiliki insting yang kuat dalam menentukan pilihan, dan setiap serigala juga tahu bagaimana menentukan serigala betina mana yang akan menjadi pasangan hidupnya, mereka seakan bisa mencium takdir lewat insting mereka yang sangat kuat. Dalam kisah ini dua serigala pejantang Gie dan Rema yang merupakan saudara sedarah malah memiliki insting itu pada serigala betina yang sama yang bernama Jeea. Tapi pada akhirnya Rema pun mengalah pada Gie karena Gie adalah saudara tertuanya,” Andi berhenti sejenak menciptakan kesepian di antara mereka berdua. Kemudian dia melanjutkan lagi dengan suara yang agak rendah. “Aku merasa diriku adalah Rema, sosok yang hanya mampu memedam rasa cintanya pada seorang betina yang akhirnya menjadi pasangan saudaranya.”
Luna tak berpaling dan sembari kembali melangkah dia memberikan sebuah jawaban.”Tapi dalam kisah itu Jeea lebih beruntung sebab dia tidak pernah merasakan kesedihan karena kehilangan pasangannya.”
Andi terdiam mendengar jawaban yang keluar dari mulut Luna, perlahan Andi kembali berbaring sambil mengawasi pergerakan Luna yang akhirnya hilang di dalam kesunyian.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H