Mohon tunggu...
Alfian Ilham F.
Alfian Ilham F. Mohon Tunggu... Lainnya - Assalamu'alaikum Warahmatullah Wabaraktuh.

"Akhirnya hanya satu yang ku tahu, yaitu bahwa aku tidak tahu apa-apa". - Socrates

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Siasat Menangkis UU Cipta Kerja - Omnibus Law (2)

13 Oktober 2020   23:07 Diperbarui: 5 November 2020   19:49 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source : JawaPos.com

Lagi dan lagi, nampaknya pembahasan Omnibus Law - UU Cipta Kerja (CIPTAKER) takkan pernah habis, malah semakin hari - semakin seru dan menarik. Bahkan belum lama ini, Omnibus Law - UU Ciptaker direvisi lagi isinya, mungkin disederhanakan kali (wong namanya juga omnibus law "Penyederhanaan UU") wkwk. 

Dari yang pasal-pasalnya ada seribu, eh malah menciut jadi ratusan pasal. Tentu ini mengundang tanda tanya besar, kenapa suatu undang-undang yang baru disahkan dan paripurna, masih bisa diotak-atik lagi, entah ada keraguan atau gimana, penulis pun nggak tahu wkwk (mungkin aja ini permainan media). 

Sampai-sampai nih, obrolan bapak-bapak di pos ronda, yang dulu sering banget ngegibahin konspirasi covid dan polemik kata "anjay", eh sekarang malah curhat soal karir pekerjaan mereka. Nestapa memang....

Belum lagi gosipnya ibu-ibu soal sinetron "Ku Menangis.... Membayangkan", mungkin karna ada isu ini, judul sinetronnya bakal sedikit direvisi. Jadi "Ku Menangis... Membayangkan Gimana Nasib Komporku Yang Nggak Ngebul-Ngebul". Hahaha, ya begitulah warna-warni dan serba-serbi obrolan warga +62 sekarang wkwk.

Btw sudah kesekian kalinya, para penguasa membuat masyarakatnya kalang kabut - pusing tujuh keliling memikirkan gimana caranya kompor mereka tetap ngebul, mulai dari banyaknya PHK akibat covid sampai sekarang urusan polemik UU Ciptaker. Kebijakan demi kebijakan pun sudah dikeluarkan, mulai dari perpu corona hingga perda-perda soal PSBB. Kendati dengan segudang polemik dan kontrovesialnya, masyarakat kini tinggal menilai dan memilih bahwa kebijakan tersebut, syarat akan keberpihakan pada kepentingan ego sektoral atau tidak.

Dimasa pandemi seperti ini, para penguasa justru pintar memainkan operanya. Opera yang alur ceritanya itu sebenarnya sudah ketahuan, bahkan dari tahun kemarin. Sehingga pada intinya, semua itu untuk oligarki. 

Mari kita mulai dari direvisinya UU KPK dan UU MK (yang minim pemberitaan), Perpu Corona (yang implikasinya cuma keliatan bagi-bagi uang tanpa takut nanti apakah masuk ke oknum-oknum atau tidak), lanjut UU Minerba, dan sekarang UU Ciptaker. 

Dan satu lagi, tak boleh lupa juga soal pilkada, yang ternyata banyak juga calon kepala daerah yang berasal dari kalangan penguasa. Toh bukannya mereka tidak boleh dan nggak punya hak untuk berpolitk, namun saat ini, khawatir bakal digunain untuk praktik-praktik nakal dan tentunya ini patut menjadi perhatian masyarakat.

Sebenarnya patut disadari bersama, apakah riuhnya kondisi negara saat ini akan berlanjut seperti aksi kamisan di depan istana, yang masih lantang menyuarakan hak-hak warga negara. 

Atau hanya seperti tahun lalu, yang ributnya #ReformasiDiKorupsi saja sekarang tinggal riaknya saja, atau mungkin saja sudah nggak ada. Dan sekarang ganti jadi #MosiTidakPercaya, tapi untuk substansi isu keterkaitan antara masalah tahun lalu dengan sekarang nyaris tak ada bahasannya. Padahal kalau diruntut, alur ceritanya sudah tertebak.

Ironi memang, dan menjadi sebuah catatan bersama atas kedegradasian gerakan moral, mulai dari mahasiswa, pekerja, hingga masyarakat biasa. Strategi analisis aksi-aksinya mudah terbaca oleh para penguasa, bahkan yang lebih konyolnya lagi, banyak juga dari masyarakat yang manut-manut aja menelan kebijakan penguasa tanpa dikunyah dulu. 

Entah memang ini sudah krisis gerakan moral atau bagaimana, penulis pun nggak tahu. Entah semuanya pada cari aman atau gimana, penulis pun juga nggak tahu. Padahal nasibnya belum sepenuhnya aman, kok malah bisa-bisanya begitu. Sungguh terlalu...

Timbang-Timbang Strategi Menangkis Omnibus Law - UU Ciptaker

Sedikit mengulas soal Omnibus Law - UU Ciptaker ada beberapa poin yang harus diperhatikan, bahwa :

Pertama
Undang-undang tersebut merupakan buah dari inisiasi pemerintah mengajukan RUU ke parlemen. Jadi murni ini bukan produk parlemen (DPR). Sehingga apabila masyarakat menekan pemerintah untuk mengeluarkan perpu, ya bisa saja. Cuma konyol, hasil pun udah ketahuan, akan sia-sia. Wong Omnibus Law - UU Ciptaker ini adalah produk dari pemerintah.

Kedua
Karna UU Ciptaker ini sudah disahkan, maka opsi yang bisa ditempuh adalah lewat mekanisme hukum. Dengan mengajukan uji materi atau judicial review (JR) ke mahkamah konstitusi, sebab banyak pasal yang kontardiksi dengan UUD 1945 dan prosedur pembuatan Omnibus Law - UU Ciptaker pun dinilai cacat hukum formil. 

Akan tetapi nih, jika melihat UU MK terbaru yakni pada Pasal 59 ayat (2) UU No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ternyata sudah dihapus soal perintah kepada pemerintah dan parlemen untuk segera menindaklanjuti putusan MK.

Bahkan bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa enam (6) dari sembilan (9) hakim MK merupakan pilihan dari DPR dan Presiden, sehingga akan muncul kekhawatiran publik kalau putusan MK ini dirasa akan kental unsur-unsur politis. 

Kendati demikian, harapan untuk terus berjuang di MK masih ada, sebab sesuai dengan Pasal 1 UU No. 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi bahwa MK adalah lembaga/institusi yang merdeka. 

Mungkin bisa dilihat, lembaga KPK yang pimpinan saja merupakan pilihan parlemen dan presiden, namun karna lembaga tersebut adalah lembaga merdeka dan independen, maka wewenang KPK untuk menindak pelaku korupsi harus dilaksanakan, sekalipun itu adalah seorang elite politik.

Ketiga
adalah lewat peradilan internasional. Sebab mungkin bisa jadi ini sebagai upaya hukum terakhir. Pun jika dilihat dari isi UU Ciptaker itu nyatanya terdapat sejumlah pasal di UU Ciptaker klaster ketenagakerjaan tentang sistem pengupahan yang dinilai melanggar konvensi ILO (International Labour Organization) No. 131. Sebab di UU Ciptaker, ketentuan untuk menentukan upah minimum ditentukan oleh gubernur. 

Padahal dalam konvensi ILO, upah minimum ditetapkan melalui mekanisme tripartit, melibatkan pemerintah daerah setempat, pengusaha, dan serikat pekerja. Belum lagi, masalah-masalah lainnya yang menyangkut hak pekerja seperti perlindungan hak perempuan, aturan mengenai cuti dan durasi bekerja, dan lain sebagainya. 

Namun, pertanyaannya sekarang adalah apakah pemerintah sudah meratifikasi konvensi tersebut atau belum, sebab sampai saat ini penulis belum menemukan ratifikasi tersebut di UU Ciptaker dan UU sebelumnya yakni UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Alih-alih lebih baik, faktanya malah hak-hak pekerja banyak yang dikurangi. Oleh karenanya, tentu ini menjadi sesuatu hal yang merepotkan untuk diperjuangkan. Tapi tak salah juga untuk dicoba.

Ya, dengan segala pertimbangannya. Lagi-lagi penguasa pintar mensiasati upaya-upaya hukum yang konon nanti akan ditempuh oleh masyarakat, ya sekedar meralat UU Ciptaker - Omnibus Law agar win-win solution. Biarpun begitu, Omnibus Law - UU Ciptaker ini adalah produk hukum yang sebenarnya patut diapresiasi karna merupakan produk yang revolusioner, tapi pada akhirnya malah cacat hukum formil. 

Jika payung hukum untuk membuat suatu UU adalah UU No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan, maka UU Ciptaker tersebut bisa batal demi hukum dan tidak berhak untuk diberlakukan, tapi ya apa kata penguasa soal ini. Pasti mereka mencari alasan-alasan pembenar demi memuluskan Omnibus Law - UU Ciptaker ini.

Terakhir, karna tadi sudah banyak sekali menyinggung, mengkritik, dan menganalisis langkah-langkah penguasa, mohon dimaafkan, sebab ini bagian dari hak untuk bersuara dan mengungkapkan aspirasi (Pasal 28 UUD 1945, tentunya sebagai check and balance juga demi terwujudnya iklim demokrasi yang sehat. 

Adapun cacatan dari dan untuk penulis serta semua, bahwa untuk selalu peka dan peduli dengan kebijakan-kebijakan penguasa baik daerah maupun pusat, sehingga apabila nanti ada kesalahan dan kekhilafan dari penguasa, bisa segera diselesaikan dan pastinya lewat mekanisme hukum atau musyawarah. 

Toh bukannya ini untuk kebaikkan bersama juga. Sudah sepatutnya apabila negara maupun masyarakat salah, ya dihukum sesuai dengan mekanmismenya, bukan malah menghardik personalnya dan diamuk bersama. Demi kemaslahatan bersama, mari junjung supremasi hukum walau langit akan runtuh. Jika itu tak terjadi, maka bersiaplah untuk revolusi.

Terima kasih.
#MosiTidakPercaya
#CumaPenulisAmatir

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun