Selama ini, upaya untuk mewujudkan kemandirian dan kedaulatan pangan di Indonesia selalu berhadapan dengan para pecandu impor. Negara, dalam hal ini pemerintah, yang memiliki kewenangan mengurusi masalah pangan seringkali dibuat tak berdaya ditangan para pecandu impor.
Penulis menyebut ini sebagai candu, karena sifatnya yang menyebabkan ketagihan. Setiap kali upaya untuk membangun kedaulatan pangan muncul, para pecandu ini seakan berada dalam ancaman. Mereka kemudian menyusun rekayasa yang terstruktur dan massif, mendistorsi pasokan, serta menciptakan situasi yang seolah-olah semakin kritis. Hingga kemudian upaya membangun kemandirian tersebut kandas dan pemerintah kembali mengambil jalan pintas, impor lagi.
Para pecandu ini mengetahui dimana celah dan boroknya semua rantai bisnis pangan. Kapan mereka harus masuk, dengan siapa harus bermain dan bagaimana pola permainannya. Permainan para pecandu impor ini kian sulit terendus manakala ia berkolaborasi apik dengan kepentingan elite yang memperkaya diri melalui perburuan rente pada beragam komoditas impor tersebut.
Dalam kasus daging sapi misalnya, pada kuartal III-2015 pemerintah hanya memberikan izin impor 50.000 sapi bakalan. Jumlah itu jauh dari yang diajukan importir sebesar 250.000 ekor, yang merupakan jumlah yang sama dengan kuota kuartal II/2015. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa produksi daging sapi dari peternak lokal cukup untuk memenuhi kebutuhan daging sapi di dalam negeri.
Jelas, penurunan kuota impor yang mencapai 80% tersebut akan menimbulkan ancaman tersendiri dikalangan importir. Terlebih ditengah ketiadaan data dan informasi yang akurat dari pemerintah terkait ketersediaan stok daging sapi dari peternak lokal. Alhasil, terjadilah apa yang kita rasakan saat ini. Para pedagang mogok massal dan harga daging sapi pun meroket tajam. Instabilitas harga ini tentunya akan berdampak buruk bagi rakyat kecil yang tidak memiliki kemampuan untuk mengakses pangan dengan harga yang tinggi.
Gejolak harga ini memunculkan desakan agar pemerintah kembali membuka keran impor sesuai kuota yang diminta importir, jalan pintas yang paling radikal dan berdimensi sempit jangka pendek. Padahal jika pemerintah memiliki data yang akurat terkait produksi daging sapi dari peternak lokal, argument ini bisa terbantahkan dan pemerintah bisa konsisten dengan kebijakan yang telah ditetapkannya. Tidak ada lagi istilah, Negara bertekuk lutut pada mafia!
Karena seharusnya, permainan para pecandu impor yang motifnya selalu berulang ini sudah bisa diantisipasi jauh-jauh hari sebelum kebijakan pembatasan impor itu ditetapkan. Negara harus punya peta jalan (road map) yang jelas, kebijakan yang konsisten dan manajemen krisis yang pas saat berhadapan dengan para importir tersebut dalam menghadapi gejolak harga di pasar. Sehingga jika permainan para pecandu ini muncul ke permukaan, pemerintah sudah siap dengan amunisi-amunisinya, punya data yang akurat dan manajemen krisis yang tepat. Pemerintah tidak ragu lagi dengan kebijakan yang telah ditetapkannya sendiri.
Tidak mudah memang untuk menjadi bangsa yang berdaulat, khususnya dalam hal pangan. Dengan tingkat ketergantungan yang sangat tinggi pada produk-produk pangan impor, negeri ini tentunya akan sangat rentan terhadap perubahan pola-pola produksi-distribusi-konsumsi secara internasional. Impor, meskipun dari aspek pemenuhan kebutuhan masyarakat tidak terlalu bermasalah, akan tetapi dalam jangka panjang tentu akan sangat mebahayakan kelangsungan hidup ratusan juta rakyat Indonesia. Saat terjadi perubahan pola-pola produksi-distribusi-konsumsi di tingkat internasional, maka secara otomatis kita pun langsung terkena dampaknya.
Pemerintah dan rakyat harus bersatu, gotong royong melawan para pecandu impor yang sudah menguasai rantai bisnis pangan dari hulu sampai hilir. Lawan! Jika tidak, negeri ini tidak bisa lepas dari jebakan ketergantungan pada produk-produk pangan impor yang keuntungannya hanya dinikmati segelintir orang dan mengalir ke petani/peternak di luar negeri. ***
Salam,
Alfian Helmi