Setelah selesai mengikuti ibadah minggu di GKI Pengadilan Bogor, saya, Jovan, Nadya, Dian, Arnold dan Jerry bercanda gurau sembari menyusun rencana untuk kegiatan libur nanti di sela-sela kesibukan kami masing-masing. Banyak objek wisata yang ingin kita jelajahi, mulai dari curug, bukit sampai gunung Gede Pangrango masuk dalam waiting list kami.
Selang beberapa minggu, saya di hubungi Nadya, mengajak dalam pendakian tektok gunung Pangrango 16 September 2024 saat libur Maulid Nabi, tanpa ragu saya pun menyanggupi ajakan tersebut. Satu minggu sebelum pendakian saya berada di Karanganyar Jawa Tengah sejak 9-14 September 2024 guna melaksanakan kegiatan Live In SMA Nasional Plus BPK PENABUR Bogor.Â
Selama berkegiatan disana saya selalu terpikirkan mengenai pendakian tanggal 16 nanti, terlebih khusus kondisi fisik saya, mengingat perjalanan bus dari Jawa Tengah ke Bogo kurang lebih 8 jam, dan ternyata saat perjalanan pulang kami memerlukan waktu kurang lebih 12 jam dari jam 13.00-23.30 kami baru sampai di sekolah, dan besok jam 5 sore sudah menuju pendakian.
Sejujurnya saya masih merasakan kelelahan apalagi waktu tidur yang kurang, ditambah lagi selama hari jumat-minggu info di media sosial selalu mengabari tentang info kemacetan yang panjang di puncak, kami pun sempat membahas itu di grup WA, namun karena rencana pendakian sudah jauh-jauh hari disiapkan, kami pun dengan semangat 45 mempersiapkan diri dan fisik sebaik mungkin apalagi saya sebagai ketua tim pendakian hihi.Â
Minggu 15 September 2014, tepat jam 17.00 start dari kosan saya di Babakan Madang menuju Kecamatan Megamendung dimana lokasi janjian pertemuan kita. Pendakian kali ini berjumlah 11 orang dan saya bertugas sebagai Ketua tim, Nadya, Andersen, Vionica, Dorothy, Jerry, Jhere, Enda, Stefanus, Chika dan Vhristian. Pendakian ini pun dibagi menjadi dua kelompok, Andersen, Vionica, Christian, dan Chika menggunakan mobil dan sisanya kami menggunakan motor.
Sesampainya saya di titik pertemuan kurang lebih 10 menit beristirahat rombongan motor Jerry dkk pun sampai, dan kami langsung tancap gas menuju kawasan puncak. Baru mengaspal kurang lebih 10 menit dari kawasan Megamendung menuju Gunung Mas Puncak, kami sudah dipertemukan dengan kemacetan yang paraah, baik jalur naik maupun turun macet total. Kamipun tetap optimis bisa menembus lautan manusia dan kendaraanya yang berada sepanjang jalur puncak.Â
Kemacetan yang parah, ditambah lagi hawa dingin jalur puncak menjadi sensasi yang sudah biasa bagi warga lokal, namun malam itu 15 september kemacetan yang kami alami sangatlah berbeda apalagi ditambah dengan hujan yang turun begitu derasnya. Kurang lebih 2 jam kami terperangkap ditengah-tengah lautan kendaraan di jalur puncak, maju sulit mundur dan putar balik apalagi. Kami hanya bisa pasrah sembari menunggu cela-cela kecil untuk tetap maju perlahan.
Kemacetan yang parah membuat saya terpisah dengan rombongan, Jerry bersama Dorothy entah kemana, Nadya dan Stefanus pun demikian, yang bersama saya hanyalah Enda dan Jhere. Tak lama kemudian kami bertemu Jerry dan Dorothy yang sedang menepi di jalan dan tentunya ditengah lebatnya hujan, saya pun mengikuti mereka untuk bertepi. Rupanya motor Jerry bermasalah, motornya mengeluarkan asap putih sepertinya kampas koplingnya terbakar, hal ini biasa terjadi pada motor matic, terutama saat menanjak, kopling otomatis (CVT) bekerja lebih keras untuk mengatasi beban tambahan. Jika kampas kopling atau belt CVT terlalu panas atau sudah aus, hal itu dapat menghasilkan bau terbakar. Dorothy pun akhirnya berjalan mencari tempat berteduh, saya dan Jerry perlahan naik mengikutinya.
Kurang lebih 30 menit kami berteduh dan hujan pun mulai redah, saya dan Jerry mengecek kembali motornya dan sepertinya belum maksimal, alhasil keputusannya Dorothy pindah motor bersama saya dan Jerry dibiarkan sendirian agar beban motor tidak terlalu berat.Â
Kamipun melanjutkan perjalanan kali ini beriringan 3 motor, saya dan Dorothy, Enda dan Jhere serta Jerry sendirian, dan seperti biasa Nadya dan Stefanus entah kemana. Baru saja hujan redah kini kembali lagi turun dengan derasnya, kami pun kembali terperangkap, kali ini lebih sial lagi karena kami benar-benar berada ditengah jalan dan "ditutupi' lautan kendaran kiri dan kanan kami, tidak ada jalan lain selain menunggu, menunggu dan menunguuuuu jalan terbuka.
Kurang lebih 1 jam kami terperangkap ditengah jalan, dan kemudian saya melihat ada cela di jalur kanan untuk menyalip kendaraan didepan, saya pun langsung tancap gas bukan bermaksud hati ingin mengambil jalur kanan (turun) tetapi saya ingin berhenti di komplek pertokoan yang ada di jalur kanan, sembari beristirahat karena kurang lebih dari jam 19.00-21.00 kami terperangkap kemacetan ditambah hujan yang lebat.
Malam itu puncak lumpuh total baik kendaraan naik maupun turun tidak bisa bergerak, semuanya basah, semuanya kelelahan, saya pun ajak teman-teman berdiskusi. Lokasi kami beristirahat ke basecamp pangrango via cibodas dilihat dari maps masih 1 jam 30 menit lagi, namun dengan kondisi seperti ini saya pikir akan lebih lama lagi.
Dengan mempertimbangkan kondisi jalan yang macet, fisik yang sudah lelah, dan kepastian sampai di basecamp sekitar jam 12 malam serta pendakian tektok jam 04.00 subuh, kami rasa fisik tidak akan sanggup, dan kami putuskan untuk membatalkan pendakian malam itu dan menunggu kesempatan untuk dapat putar balik mengikuti jalan turun.
Sebenarnya keputusan membatalkan ini sangat berat untuk diambil karena persiapan teman-teman lainya sudah sangat baik, namun daripada fisik kami yang jadi korban, lebih baik cancel saja. Bahkan kelompok yang menggunakan mobil pun belum bergerak sama sekali dari lokasi terakhir mereka melakukan sherlock ya mereka terjebak macet juga.
Untungnya pagi tadi kami sempat mengikuti kebaktian ibadah pemuda di GKI Pengadilan Bogor bersama-sama, Pak Pdt Tri menyampaikan tentang perbedaan pandangan anak muda dan orang tua mengenai makna kehidupan. Pdt Tri menyampaikan orang tua haruslah bijak dalam mengambil setiap keputusan, dan disisi lain berkaca dari kejadian kami di jalur puncak saya rasa anak muda pun juga harus bijak dalam mengambil keputusan.Â
Kami pun turun setelah kurang lebih 30 menit menunggu jalur turun dibuka, sembari makan kami bersepakat besok paginya melakukan pendakian di kawasan Sentul City, Bogor yang menyajikan wisata 7 puncak Sentul.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H