Dalam Paris Agreement Indonesia telah berkomitmen dalam menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% (dengan usaha sendiri) atau 41% (dengan bantuan pihak eksternal) pada tahun 2030, dimana emisi gas rumah kaca ini meningkatkan temperatur bumi yang menyebabkan perubahan iklim serta meningkatnya muka air laut. Penyebab terbesar dari emisi gas rumah kaca ini adalah penggunaan energi konvensional seperti batu bara.
Penggunaan Energi di Indonesia Q3 2021
(Sumber: Indonesia Energy Transition Outlook 2022, IESR)
Adapun sumber utama energi Indonesia sampai pada tahun 2021, penggunaan sumber energi konvensional masih mendominasi dengan batu bara 37,6% , gas 31,6% serta minyak sebesar 31,6%. Sedangkan sumber energi terbarukan masih sebesar 11,2%. Untuk mengurangi sumber energi konvensional ini menjadi sumber energi terbarukan serta dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca maka diperlukannya pengembangan dalam sumber daya terbarukan salah satunya adalah memanfaatkan potensi laut Indonesia.
Potensi Laut Sebagai Energi Terbarukan
Berdasarkan Badan Informasi Geospasial (BIG) dan Pusat Hidrografi dan Oseanografi (Pushidros) TNI AL, Indonesia memiliki luas total perairan sebesar 6.400.000 km2 dari total wilayah Indonesia 8.300.000 km2 serta panjang garis pantai sebesar 108.000 km. Dengan total luas wilayah laut yang lebih besar dari daratan ini maka potensi kelautan Indonesia semestinya dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan yang bersifat sustainable demi mengganti sumber energi konvensional yang suatu saat akan habis.
Pasang Surut
Pasang surut merupakan fenomena fluktuasi (naik turunnya air laut) secara teratur dan berulang-ulang dari seluruh partikel massa air laut yang disebabkan gaya tarik antara bumi-bulan-matahari. Adapun energi pasang surut adalah bentuk energi yang memanfaatkan beda tinggi air laut (energi potensial), prinsip energi pasang surut adalah memanfaatkan energi potensial air laut yang dibendung untuk memutar turbin.