Mohon tunggu...
Alfian Zainal
Alfian Zainal Mohon Tunggu... Jurnalis - Membaca... Membaca... Membaca...

Siapa Saja!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Zarafah dan Si Kelingking

20 Januari 2010   10:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:22 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiga hari yang lalu, saya menemani anak saya yang masih kelas 2 SD belajar. Dia membuka Buku Sekolah Elektronik (BSE) Bahasa Indonesia yang diterbitkan Jepe Press Media, Surabaya. Buku itu baru dibelinya dari koperasi sekolah.

Tiba-tiba anak saya bertanya: Kok zarafah, bukan jerapah?”

Saya juga kaget karena saya tidak pernah mendengar kata zarafah. Lalu saya buka internet dan memang ketemu istilah zarafah di id.wiktionary.org dan www.bookoopedia.com. Masalah pun selesai ketika saya jelaskan, jerapah atau zarafah sama saja.

Hanya saja, anak saya tetap bertanya, “Kalau dalam ujian saya tulis jerapah, salah nggak?” Hal ini tentu saja sulit saya menjawabnya. Tapi, saya mendoakan kearifan seorang guru untuk tidak text book, dan bisa memahami bahwa untuk seorang anak kelas 2 SD, yang penting mereka itu paham dengan konteks, bukan menekan mereka untuk menulis seperti yang ada di buku. Apalagi, kata zarafah tidak sepopuler jerapah.

Persoalan ini memang pernah dialami oleh anak saya pada kelas I dalam mata pelajaran Bahasa Inggris. Kebetulan anak saya suka pelajaran itu karena ada tetangga –seorang guru Bahasa Inggris-- yang memberi les privat cuma-cuma untuk anak-anak di kompleks tinggal kami.

Anak saya mulai cas-cis-cus berbahasa Inggris sejak dia masih sekolah taman kanak-kanak. Bahkan, ketika ada “tes” masuk SD, seorang guru memperlihatkan warna-warna dan gambar binatang, meminta anak saya menjawabnya. Anak saya balik bertanya, “Bahasa Inggris atau Indonesia?”

Ketika belajar di SD lain ceritanya. Guru tidak peduli dengan percakapan Bahasa Inggris karena yang penting adalah menulis kata-kata dengan benar. Pelajaran yang seharusnya mengasikkan itu berubah menjadi hafalan yang menekan psikis anak saya karena ia harus menghafal vocabulary sekaligus harus bisa menuliskannya dengan benar. Dalam ujian, salah satu huruf tetap salah, meskipun anak saya paham dengan pertanyaan dalam ujian tersebut.

Masih soal buku BSE Bahasa Indonesia, masalah lain terjadi ketika ia membaca dongeng “Si Kelingking”. Dalam cerita itu, seorang anak cebol yang besarnya sebesar kelingking –sesuai namanya-- menjadi pahlawan ketika melawan seorang raksasa benama Nenek Gergasi pemakan manusia.

Dalam teks dongeng di halaman 3 itu tertulis begini:

... Nenek Gergasi datang.

Ia marah karena desa itu sudah sepi.

“Keluarlah, hai penduduk!

Aku sangat lapar!

Aku ingin memakan kalian!”

Tiba-tiba terdengar suara menggema.

“Hai Nenek Gergasi kemarilah!”

Suara itu suara si Kelingking.

Mendengar suara yang menggelegar itu.

Nenek Gergasi ketakutan.

Karena ketakutan,

Nenek Gergasiu tercebur ke jurang dan mati.

Anak saya kembali mengomel karena tidak menemukan kalimat yang menunjukkan, bagaimana cara si Kelingking bisa mengelahkan raksasa, “Apa hebatnya si Kelingking?”

Untung saja saya pernah mendengar dongeng tersebut. Saya menjelaskan bahwa si Kelingking masuk ke telinga Nenek Gergasi dan berteriak. Raksasa itu ketakutan, merasa ada raksasa yang yang lebih besar darinya.

Terus terang, saya merasa terganggu oleh buku tersebut. Bagaimana sebuah buku pelajaran bisa ditulis dengan teledor begitu? Apalagi, penyusunnya tidak satu orang, ada tim editor dan penyelaras akhir. Selain itu, tentunya setiap buku-buku pelajaran harus mendapat pengawasan dari Departemen Pendidikan Nasional karena buku itu dijual langsung melalui sekolah.

Saya pernah menelepon penerbit untuk memeriksa kembali kemungkinan berbagai kesalahan dalam buku yang mereka terbitkan dan menulis ralatnya untuk dibagikan ke sekolah-sekolah, minimal bagi guru. Sebab, bila hal ini dibiarkan, bakal mengganggu.

Tetapi, yang paling penting adalah, setiap buku yang akan diterbitkan, seharusnya diteliti dulu oleh Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah, sebelum diperbanyak dan dilempar ke pasaran. Sebab, kasus yang saya temukan baru pada satu buku dan terletak di halaman-halaman awal.

Apalagi, anak-anak sekarang, dalam keluarga, mulai diajar untuk kritis dan berani mengungkapkan apa yang mengganggu pikirannya. Kita khawatir, bila itu dilakukan anak-anak di sekolah, ia justru dianggap sebagai “tukang protes” oleh guru. Jelas, hal ini bukan cap yang bagus untuk anak-anak kita yang makin nyinyir... (*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun