Mohon tunggu...
Alfian Rosiadi
Alfian Rosiadi Mohon Tunggu... Administrasi - Sang Pembaca

employees of local government

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Legenda Nagari Puspa Kamandanu: Namanya Juga Kerajaan

9 September 2017   14:12 Diperbarui: 9 September 2017   14:38 953
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alkisah di Negeri Sembilan Khayangan, yang baru saja berduka akibat prahara gelombang tinggi tsunami yang meluluhlantakkan daerah ujung barat laut, sedang dihebohkan dengan diumumkannya sebuah woro-woro yang isinya berupa hasil ujian penerimaan punggawa kerajaan di berbagai penjuru negeri. Para punggawa itu rencananya ditempatkan di beberapa unit-unit kerajaan, mulai pusat kerajaan, Nagara (propinsi kalau di Indonesia), maupun Watek (setara kabupaten di NKRI).

Pengangkatan punggawa kerajaan di Negeri Sembilan Khayangan sebetulnya hal biasa, tetapi tahun ini jadi sesuatu yang luar biasa. Kalau biasanya yang diangkat menjadi punggawa kerajaan adalah mereka yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga bangsawan atau kaum priyayi (minimal punya darah biru, walaupun cuma setitik..), kali ini justru rakyat Negeri Sembilan Khayangan malah tak tahu sama sekali trah atau asal usul para calon punggawa kerajaan ini.

Ya... walaupun tiap kali pengangkatan punggawa kerajaan selalu didahului semacam ujian, biasanya yang lolos juga mereka yang orang tuanya punya gelar bangsawan, atau masih saudaranya (dalam istilah di NKRI yang demokratis disebut KKN). La kok kali ini, jangankan gelar bangsawan, macam Lord, Sir, Rakryan atau Tumenggung, banyak yang cuma anak pengangguran atau anak yatim diterima juga menjadi punggawa kerajaan. Sebagian rakyat dan punggawa senior kerajaan sampai berfikir, apakah Prabu Yudha Rajasa, Raja Negeri Sembilan Khayangan sudah merubah sistem kerajaan ini dari monarki ke bentuk republik?

Di sebuah watek di selatan Negeri Sembilan Khayangan, yang terkenal dengan sumber airnya, yang bahkan pernah meluber tidak surut selama bertahun-tahun, yang bernama Nagari Puspa Kamandanu (apa ada hubungannya dengan pedang Naga Puspa milik Arya Kamandanu?? entahlah...), seorang anak usia belasan, Mandalika namanya, sedang merasa bingung, gembira, aneh, tidak percaya, bersyukur (campur aduk kayak es campur) saat ia melihat woro-woro yang ditempel di tembok-tembok kota.

Namanya ada di dalam woro-woro itu sebagai calon punggawa kerajaan yang telah lulus ujian dan akan segara memulai pengabdiannya. Tak menunggu waktu lama, Mandalika pun berlari pulang, mengabarkan kepada bapaknya yang sedang tiduran sebuah tempat tidur kayu di belakang rumah, sambil pikirannya menerawang tak menentu.

Sama seperti Mandalika, sang bapak pun langsung melonjak kaget, tak percaya dengan yang dibilang si Mandalika. Dan, seketika itu pula sang bapak lari keliling kampung berteriak-teriak ke semua tetangga, bilang kalau anaknya, si Mandalika yang baru setahun yang lalu ditinggal mati ibunya, kini menjadi punggawa Kerajaan, tepatnya di watek Nagari Puspa Kamandanu

Esoknya, dengan masih menyisakan tanda tanya dan kebingungan di hati bapak dan saudara-saudaranya, para tetangga dan bahkan di hati Mandalika sendiri, dia datang memenuhi undangan salah satu Rakryan Nagari Puspa Kamandanu. Berdasar perintah Tumenggung, pimpinan watek Nagari Puspa Kamandanu, sang Rakryan menyampaikan kalau Mandalika dan ratusan orang yang hadir di bangsal Tumenggungan telah diterima menjadi punggawa kerajaan dan akan segera memulai pengabdian mereka untuk Nagari Puspa Kamandanu, dan tentu saja Negeri Sembilan Khayangan. Pupus sudah keraguan di hati Mandalika. Kini dia benar-benar yakin bahwa dia telah berhasil dan sukses melewati ujian masuk Punggawa Kerajaan yang terkenal sulit itu (sulit karena, konon menurut mitos yang sulit dipercaya atau tidak dipercaya, hanya yang ber-trah bangsawan atau kaum kaya yang akan berhasil lolos).

Dari ratusan orang yang berkumpun di bangsal Tumenggungan itu, tak hanya Mandalika yang asal-usul dan jluntrungnya tidak jelas. Dari hasil perbincangannya dengan sesama calon punggawa kerajaan, semuanya juga senasib dengan mandalika. Ada yang sebelumnya cuma jadi buruh di proyek pemerintah, merawat buah semangka di Kebun milik orang tuanya, ternak ayam tapi cuma dua pasang, atau yang lebih buruk dari Mandalika, lontang-lantung jadi pengangguran karena lamaran kerjanya ditolak melulu. Kini mereka semua akan mendapatkan "kamulyan", kemuliaan sebagai punggawa kerajaan. Dan mungkin saja di masa depan, anak-anak dari golongan marginal itu akan memperoleh gelar Arya, Rakryan atau sebagainya yang menunjukkan kekuasaan dan kewenangan besar mereka di dalam kerajaan.

Hari ini, 12 tahun lebih Mandalika telah mengabdikan dirinya di Nagari Puspa Kamandanu. Perubahan status secara sosial ekonomi pun dialami Mandalika. Kini boleh dibilang dia telah menyandang status "priyayi" sebagaimana punggawa kerajaan lain. Secara ekonomi, kemajuan Negeri Sembilan Khayangan pun berdampak pada kesejahteraan seluruh punggawa kerajaan, termasuk di Nagari Puspa Kamandanu. Kondisi serupa pun dialami oleh teman-teman seperjuangan Mandalika dahulu. Kisah-kisah penderitaan dan kesengsaraan tidak lagi dialami oleh mereka, bahkan beberapa teman-temannya sudah ada yang menyandang gelar Arya, sebagai bukti sahih kualitas pengabdian mereka kepada Negeri Sembilan Khayangan dan Nagari Puspa Kamandanu.

Tapi tetap saja ada yang membuat Mandalika sebal dengan tingkah polah punggawa kerajaan lain. Dia masih ingat betul ketika masih bisa dibilang anak "bau kencur" di lingkungan kerajaan. Setiap kali dia memperkenalkan diri, selalu saja diikuti dengan pertanyaan,"bapakmu siapa?", jawaban Mandalika tentu saja membuat si penanya jadi mengernyitkan dahi, hidung dan pipi seraya melanjutkan pertanyaan, "bapakmu kerja dimana?", sambil mungkin mengharapkan jawaban yang keluar dari mulut Mandalika adalah nama suatu lembaga kerajaan di tingkat pusat kerajaan, Nagara maupun Watek, ataupun setidaknya mungkin Kuwu (setingkat kecamatan di Indonesia), Wanua (desa di Indonesia) atau Padukuhan (Dusun, RT atau RW). Dan lagi-lagi dahi, hidung dan pipi mereka yag bertanya mengernyit semakin kerut, sampai-sampai mungkin terlihat menunjukkan penuaan dini yang mendadak, karena Mandalika selalu menjawab, "Bapak saya pekerja swasta", kalaupun Mandalika mau jujur dengan mengatakan bahwa bapaknya cuma seorang pengangguran bertahun-tahun sejak krisis keuangan melanda seluruh kerajaan dan negara di wilayah Negeri Sembilan Khayangan, bisa jadi si penanya akan langsung terkena Strokeatau mati bunuh diri.

Sekarang, setelah satu dasawarsa lebih Mandalika mengabdi sebagai punggawa kerajaan dan Nagari Puspa Kamandanu, pertanyaan-pertanyaan seperti itu belumlah hilang (kondisi yang sama juga menimpa teman-teman seperjuangan Mandalika yang dulu berasal dari golongan marjinal). Terkadang dengan perasaan yang sangat sebal, ingin rasanya mandalika menyahut pertanyaan mereka dengan kalimat, “Kakekku dulu seorang demang di sebuah daerah di utara Kerajaan!!”, tapi seketika itu diurungkan niatnya. 

Toh, kakeknya sudah lama meninggal jauh sebelum dia lahir, pada saat bapaknya masih balita, dan setelah bapaknya beranjak dewasa, ia memutuskan untuk merantau jauh selatan, ke Nagari Puspa Kamandanu. Lagipula, menurut mandalika, garis keturunan tidak menjamin seseorang menjadi punggawa yang baik bagi Kerajaan Sembilan Khayangan dan Nagari Puspa Kamandanu. Mungkin, pikir Mandalika sambil tersenyum licik, sangat lebih baik dia menceritakan asal-usul dari bapaknya saja, biar punggawa-punggawa kerajaan lain yang priyayi-oriented ­itu mati kejang-kejang.

Mandalika masih ingat, dulu Prabu Yudha Rajasa, menetapkan kebijakan mengangkat punggawa kerajaan benar-benar murni dari hasil ujian, tidak peduli status kebangsawanan mereka, ningrat atau rakyat jelata, priyayi atau petani. Kebijakan yang disambut apatis oleh seluruh rakyat, bahkan Mandalika sendiri, yang sudah akrab dengan fakta bahwa sebagian besar punggawa kerajaan adalah mereka yang ber-darah biru. Tapi pada akhirnya mandalika dengan bodohnya tetap mendaftar mengikuti ujian itu, “kebodohan” yang justru membawanya menjadi punggawa kerajaan sampai saat ini, sekaligus menunjukkan keseriusan kebijakan Prabu Yudha Rajasa.

Prabu Yudha Rajasa berpendapat, sudah saatnya Negeri Sembilan Khayangan menerapkan prinsip demokrasi, dimana di dalamnya ada pemikiran tentang kesetaraan dan keadilan bagi seluruh rakyat, termasuk peluang untuk menjadi punggawa kerajaan. Dengan membuka peluang yang sama bagi seluruh rakyat untuk turut serta dalam aktivitas kerajaan sampai di daerah-daerah, besar kemungkinannya bagi Negeri Sembilan Khayangan untuk bersaing dengan negeri-negeri tetangga seperti negeri Zamrud Khatulistiwa (di negeri ini demokrasi sudah diterapkan, bahkan rajanya sering berganti-ganti dan tidak didasarkan atas keturunan, rakyatnya sudah terbiasa mengkritik rajanya, bahkan di media sosial, meskipun dampak negatifnya beberapa harus ditangkap aparat negeri karena kritik yang kelewatan tanpa berdasar fakta yang jelas, alias hoax).

Tapi keseriusan raja tampaknya masih belum menular ke pola pikir bawahannya. Trah, masih menjadi kebanggaan. Selain rentetan pertanyaan yang ditujukan ke Mandalika 12 tahun terakhir ini, pernah seorang teman Mandalika yang mendapat gelar Arya di usia yang masih muda dan masa pengabdian yang belum lama karena memang memiliki kecerdasan dan kinerja di atas rata-rata, dipergunjingkan punggawa-punggawa lainnya karena menganggap gelar itu diperoleh akibat pengaruh pamannya yang kebetulan seorang pembesar kerajaan Negeri Sembilan Khayangan.

Ya sudahlah, apa boleh buat...pikir Mandalika. Toh Kurt Lewin, begawan negeri seberang, yang ahli ilmu psikologi pernah bertitah, kalau selalu ada kekuatan yang menolak perubahan dan mendukung perubahan dalam setiap proses perubahan. Dan, perubahan baru  akan terjadi saat kekuatan yang menolak perubahan atau pro status quo,diminimalkan dan kekuatan yang mendukung perubahan dioptimalkan atau diperkuat. Dan mungkin saat perubahan itu terjadi, saat itu dia sudah menepi dari hiruk pikuk kerajaan. Dan lagipula..pikir Mandalika lagi, ini kan kerajaan, namanya juga kerajaan, pastilah trah dan asal-usul dijadikan pertimbangan besar, kecuali negeri Sembilan Khayangan dan Nagari Puspa Kamandanu yang ada di dalamnya ini negara Republik yang ber-demokrasi.

Mandalika pun beranjak menuju sebuah ruangan di dalam rumahnya, mengambil daun lontar dan mulai menulis, “..Kesuksesan tidak melihat asal-usulmu, saat kamu sukses, sebenarnya kamu telah menciptakan asal-usulmu sendiri..”. Selesai menulis, segera digulungnya daun lontar itu. Lalu beranjaklah Mandalika ke tepian sungai di desa Waringin Sapta, dihanyutkannya gulungan daun lontar itu, sambil berucap dalam hati, “semoga engkau sampai ke muara..”.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun