Toh, kakeknya sudah lama meninggal jauh sebelum dia lahir, pada saat bapaknya masih balita, dan setelah bapaknya beranjak dewasa, ia memutuskan untuk merantau jauh selatan, ke Nagari Puspa Kamandanu. Lagipula, menurut mandalika, garis keturunan tidak menjamin seseorang menjadi punggawa yang baik bagi Kerajaan Sembilan Khayangan dan Nagari Puspa Kamandanu. Mungkin, pikir Mandalika sambil tersenyum licik, sangat lebih baik dia menceritakan asal-usul dari bapaknya saja, biar punggawa-punggawa kerajaan lain yang priyayi-oriented itu mati kejang-kejang.
Mandalika masih ingat, dulu Prabu Yudha Rajasa, menetapkan kebijakan mengangkat punggawa kerajaan benar-benar murni dari hasil ujian, tidak peduli status kebangsawanan mereka, ningrat atau rakyat jelata, priyayi atau petani. Kebijakan yang disambut apatis oleh seluruh rakyat, bahkan Mandalika sendiri, yang sudah akrab dengan fakta bahwa sebagian besar punggawa kerajaan adalah mereka yang ber-darah biru. Tapi pada akhirnya mandalika dengan bodohnya tetap mendaftar mengikuti ujian itu, “kebodohan” yang justru membawanya menjadi punggawa kerajaan sampai saat ini, sekaligus menunjukkan keseriusan kebijakan Prabu Yudha Rajasa.
Prabu Yudha Rajasa berpendapat, sudah saatnya Negeri Sembilan Khayangan menerapkan prinsip demokrasi, dimana di dalamnya ada pemikiran tentang kesetaraan dan keadilan bagi seluruh rakyat, termasuk peluang untuk menjadi punggawa kerajaan. Dengan membuka peluang yang sama bagi seluruh rakyat untuk turut serta dalam aktivitas kerajaan sampai di daerah-daerah, besar kemungkinannya bagi Negeri Sembilan Khayangan untuk bersaing dengan negeri-negeri tetangga seperti negeri Zamrud Khatulistiwa (di negeri ini demokrasi sudah diterapkan, bahkan rajanya sering berganti-ganti dan tidak didasarkan atas keturunan, rakyatnya sudah terbiasa mengkritik rajanya, bahkan di media sosial, meskipun dampak negatifnya beberapa harus ditangkap aparat negeri karena kritik yang kelewatan tanpa berdasar fakta yang jelas, alias hoax).
Tapi keseriusan raja tampaknya masih belum menular ke pola pikir bawahannya. Trah, masih menjadi kebanggaan. Selain rentetan pertanyaan yang ditujukan ke Mandalika 12 tahun terakhir ini, pernah seorang teman Mandalika yang mendapat gelar Arya di usia yang masih muda dan masa pengabdian yang belum lama karena memang memiliki kecerdasan dan kinerja di atas rata-rata, dipergunjingkan punggawa-punggawa lainnya karena menganggap gelar itu diperoleh akibat pengaruh pamannya yang kebetulan seorang pembesar kerajaan Negeri Sembilan Khayangan.
Ya sudahlah, apa boleh buat...pikir Mandalika. Toh Kurt Lewin, begawan negeri seberang, yang ahli ilmu psikologi pernah bertitah, kalau selalu ada kekuatan yang menolak perubahan dan mendukung perubahan dalam setiap proses perubahan. Dan, perubahan baru akan terjadi saat kekuatan yang menolak perubahan atau pro status quo,diminimalkan dan kekuatan yang mendukung perubahan dioptimalkan atau diperkuat. Dan mungkin saat perubahan itu terjadi, saat itu dia sudah menepi dari hiruk pikuk kerajaan. Dan lagipula..pikir Mandalika lagi, ini kan kerajaan, namanya juga kerajaan, pastilah trah dan asal-usul dijadikan pertimbangan besar, kecuali negeri Sembilan Khayangan dan Nagari Puspa Kamandanu yang ada di dalamnya ini negara Republik yang ber-demokrasi.
Mandalika pun beranjak menuju sebuah ruangan di dalam rumahnya, mengambil daun lontar dan mulai menulis, “..Kesuksesan tidak melihat asal-usulmu, saat kamu sukses, sebenarnya kamu telah menciptakan asal-usulmu sendiri..”. Selesai menulis, segera digulungnya daun lontar itu. Lalu beranjaklah Mandalika ke tepian sungai di desa Waringin Sapta, dihanyutkannya gulungan daun lontar itu, sambil berucap dalam hati, “semoga engkau sampai ke muara..”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H