"Le, sasi ngarep yen wis ono duite Bapak arep tuku Honda.."
(Nak, bulan depan kalau sudah ada uangnya Bapak mau beli Honda)
Itu kata Bapak mungkin sekitar 25 tahun yang lalu. Keluarga kecil kami saat itu memang bukan orang berada. Butuh tekad dan usaha keras untuk sekadar memiliki satu-satunya tunggangan yang dipakai sebagai tulang punggung transportasi dalam keluarga.
Sepertinya sudah menjadi rahasia umum bahwa bagi masyarakat Jawa, Honda itu adalah "kata". Bukan sekadar merek. Sama halnya dengan 'makan', 'minum', 'mandi', dan sebagainya. Begitulah adanya, jika Anda pergi ke suatu desa di Jawa, sampai sekarang Anda akan menemui orang menyebut "Honda" itu sebagai kata ganti untuk motor. Misalnya begini, jikalau seseorang berkata, "Aku arep menyang Solo numpak Honda" (aku akan pergi ke Solo naik Honda). Itu artinya dia pergi ke Solo naik motor yang sebenarnya belum tentu motornya Honda. Bisa pula yang lainnya. Tapi nampak seolah sudah mengakar dalam diri masyarakat setempat. Se-familiar itulah Honda. Barangkali kalau ada kamus bahasa tidak baku, saya yakin kata 'Honda' bisa masuk di dalamnya.
Tetapi keluarga kami bukan hanya menyebut Honda sebagai kata ganti motor. Pasalnya Bapak memang pencinta Honda sejak dulu. Di rumah kami sampai sekarang tidak pernah ada motor brand lain terparkir selain Honda. Bapak memang sefanatik itu. Bahkan saat sudah punya rezeki lebih untuk membeli kendaraan roda empat pun yang dibeli ya Honda. Dan itu menurun ke saya hingga sekarang.
Masih segar dalam ingatan, ketika masih SMA tahun 2004 saya mengandalkan Honda Supra X dengan pelek masih menggunakan jari-jari. Saat harga bensin masih Rp4.500 per liter. Motor itu yang mengantarkan saya pulang pergi 34 kilometer setiap hari untuk menuntut ilmu. Berarti sekitar 900-an kilometer setiap bulannya. Tetapi motor itu begitu andalnya hingga tak perlu perawatan yang sulit. Cukup servis rutin saja. Barangkali itu alasan bapak memilih Honda. Sudah diperhitungkan. Kasihan lah kalau anaknya yang masih sekolah harus diribetkan dengan urusan perawatan kendaraan.
Senada dengan Bapak, teman-teman di kantor sudah paham betul bahwa saya adalah pencinta Honda. Untuk tunggangan roda dua saya mengandalkan Honda Vario 125 CBS. Motornya memang sudah lama. Tapi untuk performa sama sekali tidak kalah dengan motor baru. Motor ini adalah keluaran tahun 2012. Walaupun motor lama, desainnya enggak jadul-jadul banget. Masih okelah buat dipakai aktivitas harian. Bahkan beberapa kali menerjang banjir pun mesinnya masih waras. Maka ketika suatu waktu istri saya bertanya, "Nanti kalau mau ganti motor, mau ganti motor apa?". Saya dengan enteng tanpa pikir dua kali menjawab, "Ya Vario lagi, hehehe...".
Cerita tentang Honda memang tidak pernah habis. Pak Mukti, seorang rekan kerja di kantor masih setia menggunakan Supra X 125D. Motor itu produksi tahun 2006. Sampai dengan hari ini, motor itu sudah menemaninya selama 17 tahun. Tetapi meski sudah lama, kesannya tentang motor itu masih sangat positif. Suspensi menurutnya masih sangat nyaman. Sudah berulang kali menerjang banjir, mesinnya tetap bandel. Tidak ringkih. Sama dengan saya, ia adalah seorang fanatik Honda.
Dengan demikian maka pantaslah bila Honda seakan memiliki tempat tersendiri di ruang sanubari para konsumennya. Honda rasanya sudah menjadi bagian hidup masyarakat Indonesia. Tidak heran apabila kemudian Honda memiliki penggemar setia di seluruh penjuru nasional. Para penggemar itu yang kemudian bersatu dalam wadah Honda Bikers yang setiap tahunnya menggelar Honda Bikers Day (HBD). Antusiasme yang tinggi dari para penggemar itulah yang kemudian disambut baik oleh PT Astra Honda Motor (AHM) menjadi agenda rutin nasional. Bahkan dalam beberapa penyelenggaraan terakhir juga digelar secara regional melalui event HBD Regional.