Teman saya menikah pada 2015, hingga kami menikah pada 2017, istrinya belum juga hamil. Mereka sudah berusaha dengan keras sampai berkunjung ke dokter terbaik di kota kami.
Akhirnya setelah menunggu 2,5 tahun dan dengan usaha tak kenal lelah, momen yang ditunggu-tunggu itupun tiba. Istrinya dinyatakan hamil.Â
Tidak sedikit biaya yang sudah mereka keluarkan dalam upaya mereka untuk bisa memiliki anak, "Sudah seharga motor" katanya. Tapi begitulah, apapun akan dilakukan demi hadirnya buah hati.
Kerabat kami yang lain menikah di tahun 2016 hingga kini keluarganya belum dikaruniai kehadiran anak. Usahanya tak kurang. Mereka pun telah mengikuti berbagai program kehamilan yang tak sedikit menghabiskan biaya.Â
Melihat dua kerabat kami itu, saya dan istri pun amat bersyukur. Kami tak perlu menghabiskan uang untuk istri bisa hamil. Oleh karena itu benarlah ungkapan yang mengatakan bahwa anak adalah karunia Tuhan.
Dalam budaya ketimuran, ketiadaan anak dapat menjadi isu sensitif dalam rumah tangga
Pembahasan seputar anak sebelum menikah itu sangat penting. Karena siapa sih orang menikah yang tidak ingin dikaruniai anak, apalagi kita hidup dalam budaya ketimuran. Lain halnya di negara-negara barat di mana kehadiran anak tidak selalu menjadi hal utama. Banyak perempuan menikah yang tidak ingin memiliki anak.Â
Dalam masyarakat ketimuran berbeda, anak bisa menjadi isu yang sensitif bagi pasangan suami istri. Ketiadaan anak bisa memicu pertengkaran bahkan perceraian.Â
Tidak hanya faktor internal dalam keluarga, tetapi juga faktor eksernal seperti tuntutan dari keluarga besar. Orangtua atau mertua yang ingin segera menggendong cucu. Itu akan menjadi beban psikologis tersendiri khususnya bagi istri.
Apalagi kemudian bila diperparah dengan isu-isu yang belum terbukti seperti kemandulan. Beban psikologis bisa mengakibatkan stres yang mengganggu wanita untuk bisa hamil.
Bagaimana bila tak kunjung hamil?