Mohon tunggu...
Meirri Alfianto
Meirri Alfianto Mohon Tunggu... Insinyur - Seorang Ayah yang memaknai hidup adalah kesempatan untuk berbagi

Ajining diri dumunung aneng lathi (kualitas diri seseorang tercermin melalui ucapannya). Saya orang teknik yang cinta dengan dunia literasi

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Minol Dilarang, Bagaimana Nasib Sentra Pembuatan Alkohol?

17 November 2020   08:07 Diperbarui: 17 November 2020   08:15 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu tempat pembuatan alkohol di desa Bekonang, Sukoharjo, Jawa Tengah. Foto: kompas.com/wahyu Adityo prodjo

Desa Bekonang terletak di Kabupaten Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah. Kira-kira 15 kilometer dari rumah saya di kampung. Kawasan ini sangat "Masyur" sebagai sentra penghasil minuman beralkohol yang terkenal dengan nama Ciu. Karena berasal dari Bekonang maka lebih dikenal ciu Bekonang. 

Rasanya tidak ada orang disekitaran karesidenan Surakarta yang tidak mengenal ciu Bekonang. Surakarta adalah nama lain dari Kota Solo. Daerah-daerah seputarannya dikenal dengan istilah SUBOSUKAWONOSRATEN (Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen dan Klaten). 

Sewaktu kecil saya sering sekali melewati daerah Bekonang lantaran Bapak saya suka sekali mengajak motoran ke arah Solo Baru. Dari tempat tinggal saya di Karanganyar ke Solo Baru paling dekat lewat kawasan ini. Disana terpampang papan-papan bertuliskan  "Sentra Industri Alkohol".

Papan bertuliskan sentra industri alkohol di desa Bekonang, Kabupaten Sukoharjo. Foto: cnnindonesia/ Hesti Rika
Papan bertuliskan sentra industri alkohol di desa Bekonang, Kabupaten Sukoharjo. Foto: cnnindonesia/ Hesti Rika

Bekonang memang sudah sejak lama dijadikan sentra penghasil minuman beralkohol (ciu). Bahkan diyakini sudah sejak jaman Belanda pada tahun 1940. Ada puluhan "pengrajin" turun-temurun disana. Pengrajin-pengrajin tersebut bernaung dalam sebuah paguyuban yang dinamakan Paguyuban Pengrajin Alkohol Bekonang. Dulu setiap lewat, saya sering melihat drum-drum yang dipakai untuk memproduksi ciu.

Ciu merupakan minuman beralkohol yang merupakan hasil fermentasi dan distilasi tetes tebu. Nah, tebu ini diyakini berasal dari pabrik gula PG Tasikmadu yang lokasinya dekat dengan rumah saya. Hanya sekitar 500 meter. Karena ada pabrik gula, daerah tempat saya tinggal banyak lahan ditanami tebu. 

Tebu-tebu ini ketika masa giling akan diangkut ke pabrik gula untuk diolah. Makanya ada sepur tebu (kereta untuk mengangkut tebu). Tapi itu dulu, sekarang lahan tebu sudah banyak yang beralih menjadi perumahan. Pabrik gula Tasikmadu juga sudah dibuka sebagai tempat wisata walaupun tetap berproduksi. Ssstt...jangan dicontoh ya, dulu anak-anak kecil termasuk saya suka mengambil tebu (baca: nyolong). Kejahilan itu seperti sebuah kebanggaan tersendiri bagi anak-anak pada masa itu.

Kembali ke masalah ciu, seperti yang sudah saya sebutkan diawal bahwa minuman ini begitu populer. Pemuda-pemuda desa kalau sudah mabuk, pasti ciu. Biasanya dalam menenggak ciu itu dioplos dengan minuman bersoda yang banyak dijual ditoko. Menurut info yang beredar, kadar alkohol dalam ciu berada diangka 20-25 persen. Itu berarti didalam Undang-undang minuman beralkohol, minuman ini tergolong dalam golongan C dengan kadar etanol tertinggi (20-55 persen). Saya sendiri sebenarnya tidak merasakan kenikmatan ciu. Rasanya tidak enak, keras dan baunya sangat menyengat. Saya tahu karena pernah mencoba, hehe.. Beda misalnya dengan arak Bali atau tuak Medan. Rasanya lebih bisa "dinikmati".

Lalu perlukah larangan minol dituangkan dalam Undang-undang?

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa kalangan legislatif dalam hal ini DPR telah memasukkan RUU larangan minuman beralkohol kedalam Prolegnas 2020. Artinya bila tidak ada hambatan berarti RUU ini tinggal menunggu waktu untuk disahkan menjadi undang-undang (UU). Secara ringkas RUU ini melarang setiap warga negara untuk memproduksi dan menjual minuman beralkohol. Tidak cukup larangan memproduksi, tetapi juga larangan mengkonsumsi. 

Sekadar intermezo, RUU ini sempat menjadi bahan becandaan saya dan istri dirumah. Ceritanya istri saya itu dari kecil belum pernah mencicipi minuman beralkohol. Paling banter ya minum cola. Bir dan anggur (wine) belum pernah ia rasakan. Ketika kami menikah, kami berencana untuk sesekali menenggak bir atau wine karena istri begitu penasaran dengan minuman beralkohol. 

Gara-garanya ia sering nonton drama Korea. Eh, tapi apa daya, ia kemudian hamil. Tertundalah keinginan itu. Setelah anak kami lahir, istri memberikan ASI eksklusif. Akhirnya tertunda lagi selama 2 tahun sampai anak kami selesai ASI. Weladalah, baru kemarin anak selesai ASI, keluar kabar minuman beralkohol dilarang. Hahaha.. Berarti dia belum berjodoh. Seolah-olah memang istri saya itu tidak boleh minum minuman beralkohol sepertinya.

Untuk masalah RUU minol ini sebenarnya saya setuju dengan pernyataan Bupati Kuningan yang mengatakan bahwa larangan minol sebaiknya diatur melalui Peraturan Daerah (Perda). Larangan minuman beralkohol tidak bisa disama ratakan seluruh Indonesia. Apalagi didaerah-daerah dimana minol begitu lekat dengan kebudayaan daerah. Atau daerah wisata seperti di Bali. 

Lebih lanjut Bupati Kuningan Acep Purnama mengatakan bahwa di Kuningan sendiri sudah ada Perda yang mengatur minuman beralkohol yakni Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol. Perda itu mengatur di mana minuman alkohol itu dijual. ketiga golongan minuman alkohol itu hanya boleh dijual di hotel berbintang tiga ke atas setelah mendapat izin dari Bupati Kuningan. Dalam Perda itu, siapapun yang melanggar terancam pidana kurungan paling lama enam bulan atau denda paling banyak Rp 50 juta.

Apabila larangan minol diatur dalam undang-undang, saya kuatir akan marak penjualan "dibawah tangan". Akan muncul minol ilegal yang sulit dikontrol. Maaf saja, ketika dulu minol dilarang dijual secara umum masih gampang kok nyari anggur merah. 

Pada dasarnya saya setuju bahwa produksi serta penjualan minol harus dikontrol. Konsumsinya pun juga wajib dikontrol. Tapi pengontrolan harus dilakukan dengan bijaksana dan pertimbangan yang matang. Saya percaya diseantero Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke, bukan hanya Bekonang sebagai daerah penghasil minol. Didaerah-daerah dimana minol menjadi kebiasaan hidup masyarakat juga pasti ada. Di kawasan Indonesia timur misalnya. Jangan sampai RUU minol ini menjadi polemik baru bagi masyarakat di kawasan-kawasan tertentu.

Sekian.

Sumber:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun