Empat tahun lalu saya bergabung dengan rumah seribu blogger ini. Eh kok seribu, 600 ribu katanya. Kembali menulis setelah belasan purnama serta jutaan peristiwa. Aduh, lebay..Â
Ya, saya memang sudah hobi menulis sejak SMA. Menulis puisi dan cerpen. Beberapa sudah pernah saya kirimkan ke harian lokal. Maklum saat itu belum secanggih sekarang. Handphone masih monophonic, kantor pos masih ramai nggak kayak sekarang sepi. Tulisan-tulisan itu saya simpan dalam folder komputer dirumah.Â
Tak dinyana tak diduga, komputer di rumah tiba-tiba error dimakan virus. Hilanglah seluruh file yang ada. Hilang pula semua karya yang pernah saya torehkan. Lenyaplah sudah semangat literasi. Jari terkulai lemas. Tak lagi sanggup menulis. Halah.. bilang saja malas! Tapi memang selain malas, kehilangan karya itu sungguh membuat drop. Seperti petani kehilangan pupuk dimusim tanam.
Gimana pembukaannya sudah oke? Baik, lanjut. Singkat cerita saya diputusin mantan. Sedih... Galau. Tahulah ya rasanya orang putus cinta. Makan tak enak, tidurpun tak nyenyak. Berbagi cerita dengan malam, tapi malam tak menyambut. Mau bercengkerama dengan bulan eh mendung seperti suasana hati yang sedang ambyar dirundung pilu. Tapi putus cinta nyatanya ada faedahnya.Â
Keresahan membawa saya untuk kembali menulis. Sesuatu yang sudah saya tinggalkan bertahun-tahun. Tapi saya lupa bagaimana ceritanya saya bisa menulis di Kompasiana. Sudahlah itu tidak penting. Intinya saya kembali menulis dan hasil karya tulisan tersebut saya posting melalui Kompasiana. Makanya artikel-artikel awal saya yang tak dapat label itu adalah tulisan yang berbau galau. Hehehe..
Setelah beberapa artikel galau akhirnya saya kembali berbunga-bunga. Masa berkabung telah usai ditandai dengan sebuah artikel yang terbit. Artikel tersebut bercerita tentang ungkapan bahagia dan rasa syukur oleh karena hadirnya cinta yang baru. Artikel tersebut berisi sebuah ungkapan teruntuk seorang wanita yang saat ini sudah menjadi mama bagi putri kecil saya.
Beberapa bulan yang lalu ketika anak kami tumbuh semakin cantik dan lucu, saya mengungkapkannya lewat sebuah puisi. Puisi sebagai tanda cinta dari seorang ayah kepada putri kecilnya.Â
Saya menuliskannya di Kompasiana. Itu saking saya semangatnya nulis di Kompasiana. Berharap ketika sudah besar nanti ia akan membaca dan mengetahui betapa bahagia ayahnya ketika ia lahir. Supaya ia tahu betapa besarnya cinta ayah pada dirinya. Semua itu sudah tersimpan dalam memori Kompasiana. Inilah yang membuat saya kemudian dengan mudah mengatakan cintaku bersemi kembali di Kompasiana.
Bertemu dan berbagi kasih dengan para sahabat
Kompasiana sungguh memang tempatnya cinta. Perasaan asing ketika awal-awal masuk, tidak kenal dengan siapapun berubah dengan cepat. Tiba-tiba banyak kawan yang bagaikan saudara. Walau belum pernah ketemu rasanya sudah akrab. Saling berkunjung, memberikan vote dan komentar membuat suasana terasa seperti sedang mengobrol di warung kopi sambil menikmati pisang goreng dan tentu saja ngopi! Sembari intens berkawan, banyak ilmu dan pengalaman yang didapat.Â