Namanya Abraham. Ia adalah kakak sepupu saya. Mas Abram, demikian saya memanggilnya adalah bungsu dari tiga bersaudara. Ketika SMA dulu, ia masuk disekolah terfavorit di kota kami. Itu adalah SMA unggulan. Dulu belum ada sistem zonasi seperti sekarang. Seperti biasanya ketika menginjak kelas 3 SMA, akan ada penjurusan siswa. (Dulu penjurusan dikelas 3 SMA. Istilahnya juga masih kelas 1,2,3. Tidak seperti sekarang kelas X, XI, XII). Nah, masa penjurusan ini yang menarik.
Di SMA favorit tersebut, dari total 9 kelas dalam satu angkatan, hanya ada satu kelas IPS. 8 kelas lainnya merupakan kelas IPA. Anda yang bersekolah di SMA pasti tahu bahwa ada semacam stigma kalau anak IPA itu berarti anak pandai.Â
Sedangkan anak IPS berarti medioker, biasa-biasa saja sampai yang cenderung kurang pandai. Mau jadi dokter? Masuk IPA. Mau jadi insinyur? Masuk IPA. Tidak heran bila kemudian banyak siswa berbondong-bondong ingin masuk IPA.
 Apa jangan-jangan karena banyak anak-anak yang sejak kecil ketika ditanya cita-cita selalu jawab ingin jadi dokter ya, hmmm... IPS otomatis sepi peminat. Tetapi mas Abram berbeda, tidak seperti anak-anak lain.
Secara nilai akademik seharusnya ia mampu masuk IPA. Dua kakaknya adalah orang eksak semuanya. Namun mas Abram lebih memilih masuk IPS. Keputusan ini sempat mendapatkan pertentangan dari orang tuanya yang kaget mendengar pilihan mas Abram. Namun mas Abram tetap teguh pada pendiriannya, masuk kelas IPS.
Selepas lulus SMA, Mas Abram melanjutkan kuliah dengan mengambil jurusan ilmu komunikasi. Kemudian ia melanjutkan S2 di jurusan yang sama. Saat ini ia menjadi seorang Kepala program studi (Kaprodi) disebuah universitas swasta terkemuka. Ia kerap diundang menjadi narasumber diseminar-seminar dalam bidang yang ia tekuni.Â
Selain mas Abram, ada juga cerita dari kakak kandung saya. Sejak kuliah memang ilmu eksakta kurang menonjol. Nilai Matematika, Fisika, Biologi tidak memuaskan. Ia juga masuk kelas IPS ketika menginjak kelas 3 SMA. Saat ini ia menjadi dosen PNS di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Dan masih banyak cerita sukses dari anak-anak IPS lainnya.
Baca juga: Polemik IPA-IPS dan Jurusan Kuliah
Kelas IPA tidak terlepas dari pelajaran Matematika. Meskipun ada beberapa mata pelajaran lainnya seperti Fisika, Biologi, dan Kimia. Pelajaran Matematika identik dengan berhitung. Setiap anak itu diciptakan unik. Ia mempunyai keunggulan yang tidak dimiliki oleh anak lain. Ada sebuah dikotomi dalam masyarakat, kalau tak pandai berhitung berarti dia anak bodoh.
Sebaliknya seorang anak dikatakan pintar bila dia pandai dalam berhitung. Realitanya bagaimana? Tidak selalu demikian bukan? Anak yang tidak pandai berhitung bukan berarti bodoh. Ia hanya tidak bakat berhitung. Ketika nilai Matematikanya jelek, sudah dikursuskan pun tetap jelek, jangan mengatakan ini anak bodoh. Ia hanya tidak punya passion disitu. Kemudian mungkin sebagai orang tua anda bilang,
"Anak saya memang kurang, tidak seperti si A so B yang selalu juara kelas, pandai berbahasa asing, luwes dalam bermain alat musik" dan pandai ini itu banyak sekali. Aduh kasihan anaknya mak, nanti malah stres dibanding-bandingkan. Semakin merasa tidak bisa apa-apa. Lalu hancurlah mimpimu sebagai orang tua.
Baca juga: Label Anak IPA "Pandai" dan Anak IPS "Buangan" Itu Masih Ada?
Sesungguhnya anak dikatakan pandai bukan hanya ketika ia jago matematika. Ada bidang lain yang kesemuanya saling melengkapi. Ada si jago alat musik, jago seni rupa, piawai mengarang, pandai berdagang, senang berkebun, peternak handal, dan segala bakat lain yang dimiliki seorang anak namun tak dimiliki anak lain. Kalau semua orang jago matematika, tak ada ahli hukum, ahli ekonomi, birokrat handal dan segala profesi lainnya yang adalah hasil keluaran dari anak-anak IPS.
Saya sendiri adalah produk IPA. Matematika adalah salah satu pelajaran favorit saya. Senang bila ada yang ingin beradu hitung dengan saya. Matematika menurut saya adalah pelajaran yang amat menarik. Seperti menyelesaikan teka-teki yang seru bila dipecahkan. Banggakah saya? Tidak. Biasa saja. Karena ada kemampuan dalam diri orang lain yang tidak saya punyai. Banyak juga teman-teman yang ketika sekolah rankingnya dibawah saya sekarang lebih sukses secara karir.
Semua orang diciptakan unik dengan keunggulannya masing-masing. Semua orang dilahirkan untuk sukses, bukan untuk gagal. Jadi jangan hanya fokus pada satu potensi lain padahal banyak potensi yang masih bisa digali. Maka, bila anak gagal disatu bidang, tak masalah. Ia masih bisa tumbuh dan sukses dibidang lain. Semoga kita dimampukan menjadi orang tua yang bijaksana.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H