Mohon tunggu...
Meirri Alfianto
Meirri Alfianto Mohon Tunggu... Insinyur - Seorang Ayah yang memaknai hidup adalah kesempatan untuk berbagi

Ajining diri dumunung aneng lathi (kualitas diri seseorang tercermin melalui ucapannya). Saya orang teknik yang cinta dengan dunia literasi

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Jangankan Android, Punya Gawai Polyphonic Saja Sudah Senang

18 Oktober 2020   16:44 Diperbarui: 18 Oktober 2020   19:48 693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi handphone polyphonic (Sumber: www.sohu.com)

Namanya Sularno, saya biasa memanggilnya Mas Larno. Kami mengenalnya sebagai bos ayam. Ya, Mas Larno adalah pengusaha ayam yang sukses. Ia menjadi penyuplai ayam bagi para para pemilik usaha ayam chicken diseluruh penjuru dikota kami. 

Don't look the book just from the cover. Sebuah ungkapan melegenda yang berarti jangan melihat buku hanya dari sampulnya. Peribahasa itu sepertinya cocok dengan profil Mas Larno. Ia adalah orang yang sederhana dan begitu bersahaja. 

Dalam berpakaian kerap hanya menggunakan kaos oblong dan celana pendek mirip mendiang Bob Sadino. Ia juga biasa nongkrong di hik (angkringan) bersama dengan para anggota asosiasi penjual ayam chicken. Ia tidak canggung. Tak tampak sama sekali bahwa ia adalah seorang yang kaya raya. 

Membeli sebuah mobil SUV mahal ataupun rumah seharga 1 milyar bukanlah perkara sulit baginya. Ia adalah seorang jutawan sekaligus dermawan. Tapi ada lagi satu hal yang unik dalam diri Mas Larno. Handphone yang ia pegang bukanlah gawai mahal seperti kebanyakan pengusaha lainnya. 

Bukan Apple si apel kroak ataupun android. Melainkan gawai jadul Polyphonic! Karena keterbatasan pendidikan dan wong ndeso yang tidak suka neko-neko, Mas Larno memilih untuk setia menggunakan hp jadulnya. 

Selama bisa untuk komunikasi tak masalah katanya. Maka, ia adalah satu-satunya orang yang masih menggunakan gawai berteknologi Polyphonic yang pernah saya jumpai. Adakah orang yang masih menggunakan gawai jadul di sekitar Anda para Kompasianer?

Nostalgia gawai pada masa lalu

Cerita Mas Larno membuat saya sedikit bernostalgia. Ini mengingatkan pada diri saya dahulu. Kalau zaman sekarang bahkan anak SD saja sudah membawa gawai ke sekolah. 

Di sekolah tempat seorang teman mengajar bahkan gawai menjadi benda yang dijadikan obyek ajang pamer. Padahal itu sekolah dasar yang kebetulan merupakan sekolah mahal. Muridnya adalah anak orang-orang berlimpah materi. Tidak demikian halnya dengan saya dulu. 

Pertama kali membawa handphone adalah ketika saya mulai masuk kuliah di usia yang sudah menginjak 18 tahun. Handphone yang saya pakai bukanlah handphone baru, namun peninggalan dari kakak saya yang sudah tidak terpakai. 

Saya juga ingat, handphone yang dimiliki oleh keluarga saya adalah sebuah merk handphone yang saat itu populer karena diiklankan oleh mantan presiden Amerika Serikat, Bill Clinton. 

Anda pasti ingat kan apa namanya? Itu lho adegan mantan presiden Bill Clinton yang sedang main game snake. Anda yang lahir di generasi 80 hingga 90-an pasti ingat. Karena handphone asal Finlandia tersebut sangat populer di tahun 2000-an.  

Gawai yang masih jadul (Gambar: liputan6.com)
Gawai yang masih jadul (Gambar: liputan6.com)

Maaf saya tidak sebut merk ya. Saat itu harga handphone tersebut sangat mahal untuk keluarga kami. Kalau tidak salah ingat harganya 2,5 juta rupiah. Kondisinya bahkan masih monophonic, belum Polyphonic. 

Nomor perdananya pun mahal sekali. Tidak seperti nomor perdana yang dijual pada masa ini. Sekarang, Anda ke toko pulsa dengan membawa uang 10.000 rupiah pun sudah bisa mendapatkan nomor baru, betul kan? 

Nomor perdana yang saya beli itu masih seharga 1,5 juta. Mengisi ulang pulsa pun tak kalah menguras kantong. Harga 250 ribu hanya terisi 100 ribu. Wah, wah.. memiliki handphone di masa itu memang perkara sulit. 

Namun karena sudah menjadi kebutuhan untuk berkomunikasi ya tetap saja dibeli. Seingat saya saat itu baru ada satu provider dari sebuah perusahaan milik negara. Berapa tarif untuk mengirimkan sebuah pesan singkat (SMS)? Masih 350 rupiah per sekali SMS. Maka masih ada yang namanya paket SMS. 

Yaitu paket yang hanya bisa digunakan untuk SMS supaya lebih murah. Sekarang mana ada. Berkirim pesan saja cukup punya paket data internet. Kalau sekarang dengan harga 2 jutaan rupiah sudah mendapatkan gawai dengan teknologi yang sudah canggih. Termasuk gawai yang biasa saya pakai untuk menulis di Kompasiana ini, hehe..

Adakah yang memiliki cerita unik berkaitan dengan gawai di masa lalu?

Pertimbangan membeli Gawai

Bagi saya pribadi, gawai sudah seperti kebutuhan pokok. Karena dalam pekerjaan sehari-hari saya tidak bisa lepas dengan yang namanya gawai. Komunikasi begitu berperan penting dalam profesi yang saya jalani. 

Untuk bertelepon, mengirimkan pesan WhatsApp, mengirim gambar, mengirimkan dan mengecek email, dan yang lagi beken yakni meeting virtual. 

Gawai sudah memegang peranan penting dalam peradaban di era millenium. Baiklah, gawai adalah kebutuhan pokok. Namun apakah perlu membeli gawai yang mahal? Menurut saya tidak. Ketika hendak membeli gawai, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan saya:

1. Budget
Perlu sekali melihat budget yang kita miliki. Jangan dipaksakan membeli gawai mahal bila akhirnya memberatkan keuangan. Saat ini sudah banyak beredar merk gawai dipasaran yang berlomba-lomba menghadirkan kualitas terbaik dengan harga murah. Persaingan ini adalah keuntungan bagi pelanggan karena semakin banyak pilihan.

2. Cek spesifikasi sebelum membeli
Ini berkaitan dengan poin pertama di atas. Karena banyak pilihan, maka cek spesifikasi sebelum membeli. Sekarang kita bisa mengeceknya dengan mudah spesifikasi gawai lewat internet. Pelanggan bisa membandingkan merk satu dengan yang lainnya dengan harga yang relatif sama.

3. Lihat review produk
Ini sangat erat kaitannya dengan poin kedua. Kalau sudah membandingkan beberapa merk dengan spesifikasi yang mirip dan harga yang relatif sama, maka waktunya untuk melihat review dari masing-masing produk. Mana yang terbaik untuk dijadikan opsi.

4. Lihat kebutuhan
Spesifikasi gawai didasarkan pada kebutuhan. Misalnya dalam pekerjaan saya membutuhkan untuk bisa menyimpan file yang banyak baik itu video, foto, maupun pdf. 

Maka saya membeli gawai dengan kapasitas memori yang besar. Contoh lain, saya seorang insinyur yang butuh sekali menggunakan banyak aplikasi desain, maka dibutuhkan gawai dengan ram yang tinggi dan prosesornya yang berkualitas. 

Atau apabila saya seorang yang bekerja dibidang jurnalistik maka saya harus membeli gawai dengan kualitas foto yang bagus untuk menangkap gambar dan kapasitas baterai yang besar. Maka sesuaikan kebutuhan dengan fitur yang terdapat pada gawai.

Membeli gawai dengan spesifikasi tinggi tentu konsekuensinya harga lebih mahal. Untuk apa beli mahal-mahal bila tidak sesuai dengan kebutuhan? Ini hanya akan membuat orang menjadi boros dan konsumtif. Kecuali jika Anda memang berlimpah secara materi silakan saja.

Jadi jikalau ditanyakan pada saya, pilih Apple ataukah android, saya pilih Android. Tidak banyak alasan. Hanya satu: android lebih murah. Banyak rekan-rekan yang menggunakan Apple. Mau saya dianggap paling miskin juga tidak apa-apa. Yang penting happy, seperti cerita Mas Larno di atas.

Terima kasih sudah membaca. Semoga pengguna Apple tidak kecewa dengan tulisan saya, hehe..

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun