Mohon tunggu...
Meirri Alfianto
Meirri Alfianto Mohon Tunggu... Insinyur - Seorang Ayah yang memaknai hidup adalah kesempatan untuk berbagi

Ajining diri dumunung aneng lathi (kualitas diri seseorang tercermin melalui ucapannya). Saya orang teknik yang cinta dengan dunia literasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Jimpitan", Sebuah Tradisi Luhur Masyarakat Jawa di Pedesaan

3 Oktober 2020   10:18 Diperbarui: 3 Oktober 2020   10:57 751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jimpitan beras yang digantung didepan rumah. Gambar : goodnewsfromindonesia.id

Adakah yang mengetahui apa itu "jimpitan"?

Bagi masyarakat perkotaan mungkin istilah ini masih awam. Jimpitan sendiri memang bukan berasal dari Bahasa Indonesia. Jimpitan merupakan bahasa Jawa yang berasal dari kata "jumput" yang berarti mengambil sedikit. Tradisi dan istilah ini banyak dipakai masyarakat di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sementara dalam artikel di GNFI yang berjudul Mengulik Makna Tradisi Jimpitan karya Ahmad Cholis, jimpitan diartikan menjadi, 'jimpit' dalam bahasa Jawa berarti 'wilonganing barang lembut nganggo pucukin driji'. Atau dalam bahasa Indonesia berarti mengambil barang lembut/kecil dengan menggunakan ujung jari. 

Saya tumbuh dan besar di Desa Papahan, tepatnya di kaki Gunung Lawu yang terletak di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Tradisi jimpitan sudah ada sejak saya kecil. Sampai 10 tahun saya merantau hingga sekarang, tradisi ini masih tetap terpelihara dengan baik.

Awalnya dulu barang yang dikumpulkan adalah beras. Jadi masyarakat itu seperti iuran beras. Beras akan menjadi tabungan lingkungan (biasanya lingkup) RT. Seperti namanya, banyaknya beras yang diambil hanya sejimpit. Tidak banyak. Kira-kira hanya secangkir kecil.

Beras kemudian diletakkan kedalam sebuah wadah kecil yang diletakkan diteras rumah atau pagar. Intinya tempat yang mudah diraih. Jimpitan ini akan diambil setiap malam secara bergiliran melalui tugas ronda. Nampaknya sedikit memang, tetapi jika dikumpulkan setiap hari dan jumlah kepala keluarganya banyak, hasilnya pun banyak. Mencapai puluhan kilogram dalam sebulan. Sampai-sampai perlu tempat penyimpanan khusus untuk menyimpannya. Bisa di balai warga atau disalah satu rumah warga (biasanya ketua RT). Namun seiring dengan berjalannya waktu, kebijakannya diubah. Bukan lagi beras, namun diganti dengan uang koin. Waktu saya SMP, setiap kepala keluarga akan memberikan 300 - 1.000 perak. Begitulah kira-kira gambaran sekilas mengenai praktek jimpitan dalam masyarakat pedesaan. Apa maknanya?

Jimpitan adalah sebuah tradisi luhur dalam budaya pedesaan pada masyarakat Jawa yang merupakan wujud gotong-royong untuk membantu sesama yang sedang kesusahan. Sebuah seni kearifan lokal sebagai manifestasi kepedulian kepada orang lain

Jadi beras atau uang hasil jimpitan dikumpulkan dari warga untuk kepentingan warga. Sewaktu-waktu ada yang membutuhkan akan diambil untuk meringankan beban orang lain yang mungkin sedang tertimpa musibah. Seperti sakit, kecelakaan, maupun sedang menghadapi problematika ekonomi. Selain itu, juga dapat menjadi semacam tabungan bagi masyarakat yang bisa digunakan untuk event-event tertentu. Misalnya tradisi bersih desa, malam tirakatan (peringatan kemerdekaan 17 Agustus), atau jika ada warga yang mantu (menikahkan anak). Mengapa beras dan bukan yang lain?

Ini yang menarik bagi saya waktu itu. Hal Ini kemudian pernah saya tanyakan kepada orang tua. Dipilihnya beras di pedesaan itu karena mudah didapat dan murah. Banyak warga di desa yang menjadi petani dan sebagian memiliki penggilingan padi sendiri. Tempat penggilingan padi itu disebut selepan.

Dulu banyak warga desa yang memiliki usaha selepan. Kalau sudah mempunyai usaha selepan berarti dia orang kaya. Anggapannya begitu. Tapi entah kenapa usaha itu sekarang banyak yang hilang bak ditelan bumi. Alasan lain, beras merupakan kebutuhan pokok setiap manusia. Semua orang butuh makan. Maka dipilihlah beras. Entah benar atau tidak, seperti itu info yang saya dapat dari orang tua.

Beberapa bulan yang lalu tepatnya di bulan April 2020, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo sempat mendorong supaya tradisi jimpitan dihidupkan kembali. Sebabnya dibeberapa tempat, tradisi ini sudah mulai pudar. Utamanya di kota-kota besar di Jawa Tengah. Himbauan ini sebagai tanggapan atas merebaknya virus corona saat itu. Jimpitan dinilai dapat membantu masyarakat. Semisal ketika ada lockdown wilayah, tabungan desa bisa dikeluarkan sebagai pertahanan logistik. Atau ketika ada warga yang dirumahkan akibat perusahaannya terkena dampak pandemi.

Kearifan lokal masyarakat ini akan menjadi kekuatan bagi masyarakat desa agar bertahan dari pagebluk corona. Sekaligus juga menumbuhkan kebersamaan dan mempererat rasa persaudaraan dilingkungan desa. Ada pesan lain yang tersirat sebenarnya dari himbauan ini. Yakni menghidupkan kembali ronda malam yang telah mati di banyak daerah.

"Minimal, dengan kekuatan itu, desa bisa menolong. Maka [jika] ini kompak, bantuan dari pemerintah pusat ada, kekuatan dari bawah juga ada. Mari kita kembalikan kekuatan gotong royong dengan kultur desa ini, agar kita semua bisa melewati masa-masa sulit seperti saat ini," ujar Ganjar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun