Mohon tunggu...
Meirri Alfianto
Meirri Alfianto Mohon Tunggu... Insinyur - Seorang Ayah yang memaknai hidup adalah kesempatan untuk berbagi

Ajining diri dumunung aneng lathi (kualitas diri seseorang tercermin melalui ucapannya). Saya orang teknik yang cinta dengan dunia literasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bagaimana Bila Cita-cita Anak Berbeda dari Keinginan Orangtua?

28 September 2020   08:53 Diperbarui: 2 Oktober 2020   13:17 1192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang tidak bangga bila anaknya kelak menjadi seorang dokter, pilot, bahkan presiden? Hati pasti bangga dan mungkin merasa jerih payah membesarkan anak selama ini terbayar dengan sempurna. Tetapi bagaimana jadinya apabila anak memiliki mimpi yang berbeda dari orangtua? 

Kemajuan teknologi nampaknya membuat pikiran anak pun mengalami pergeseran. Kalau dulu anak ditanya pengen jadi apa, kebanyakan akan menjawab dokter, pilot, masinis, maupun presiden. 

Jawaban tersebut adalah jawaban yang lumrah serta jamak kita jumpai. Mungkin karena pada zaman itu anak belum banyak disuguhi tontonan seperti sekarang. 

Maka profesi-profesi yang dapat terlihat dan dianggap hebat oleh anak itulah yang kemudian membuat anak ingin meniru pada saat sudah dewasa nanti. Lain dulu lain sekarang. Brahma, anak tetangga saya yang berumur 5 tahun ketika ditanya, "Brahma, besok kalau sudah besar pengen jadi apa?"

"Jadi tukang kendang", jawabnya polos. 

Akibat saking seringnya sang bapak memutar video dangdut campursari di rumah. Bapaknya adalah penggemar Nella Kharisma dan mendiang maestro campursari Didi Kempot.

Lain Brahma, lain lagi dengan Ellora, gadis kecil kami yang baru menginjak usia 2 tahun 4 bulan itu menjawab bahwa ia ingin menjadi penjual es krim saat sudah besar nanti. Ini karena efek ia gemar menonton konten mainan es krim di YouTube. Salahkah? Tentu saja tidak. 

Namanya saja anak-anak. Mereka hadir dengan imajinasinya masing-masing. Anak-anak memang harus punya mimpi agar mereka selalu terpacu untuk belajar. Tinggal bagaimana nanti kita sebagai orangtua mengarahkan mereka. 

Ini sama dengan pertanyaan yang pernah dilontarkan oleh Presiden Jokowi kepada seorang pelajar SD kelas 6 saat peringatan Hari Anak Nasional 2017 lalu. 

Ketika ditanya cita-citanya, pelajar yang bernama Rafi itu dengan spontan menjawab, "jadi Youtuber Pak". Youtuber?? Jawaban yang mengagetkan saat itu sehingga mengundang gelak tawa. 

Ya, kala itu Youtuber adalah profesi yang tidak pernah terpikirkan. Tapi apakah buruk menjadi seorang Youtuber? Tidak juga. Tengoklah berapa penghasilan Youtuber yang memiliki banyak subscribers dan viewers. Tidak kalah, bahkan lebih besar dari gaji Ahok sebagai komisaris utama Pertamina. 

Lihatlah juga banyaknya artis yang kemudian nyambi menjadi Youtuber. Sebut saja Andre Taulany, Deddy Corbuzier, Raditya Dika, hingga Dodit Mulyanto yang memiliki channel YouTube mereka sendiri. 

Kesimpulannya, apakah profesi Youtuber itu baik? Ya, tentu saja baik. Tetapi, apabila Youtuber dijadikan sebuah cita-cita apakah baik juga? Nanti dulu. Ini adalah sebuah pertanyaan yang dapat membuat orang berdebat kusir. Tergantung dari sudut pandang. 

Bila memandangnya dari sisi penghasilan bisa jadi jawabannya "iya". Tetapi bila memandang dari sisi kemungkinan untuk sukses, jawabannya bisa jadi sebaliknya. Karena dari 1.000 Youtuber misalnya, hanya 10-20 yang sukses memiliki penghasilan besar, sedangkan yang lain masih bermimpi. 

Saya sendiri memiliki beberapa kawan yang merintis menjadi Youtuber. Tak pernah profesi ini menjadi profesi utama. Kecuali bila sebelumnya sudah menjadi influencer.

Profesi yang kurang dilirik

Atlet menjadi salah satu profesi yang kurang dilirik (Gambar : medcom.id)
Atlet menjadi salah satu profesi yang kurang dilirik (Gambar : medcom.id)
Selain Youtuber, ada beberapa profesi yang rasanya tidak menjadi favorit di Indonesia. Artinya orangtua cenderung tidak setuju apabila anaknya mempunyai cita-cita profesi tersebut. Alasannya? 

Setali tiga uang dengan Youtuber. Banyak yang hidupnya kesulitan. Ada berapa banyak orangtua di Indonesia termasuk mungkin Anda sendiri yang menolak apabila anaknya ingin menjadi seniman atau atlet? Banyak pasti. Salahkah? Tidak salah. Karena memang profesi ini tidak menjanjikan penghidupan yang layak. Kecuali ia sukses di bidang tersebut. Itu adalah fakta yang tidak bisa dibantah. Orangtua mana yang rela kelak anaknya hidup dalam kesusahan? 

Masalahnya di negara kita memang profesi-profesi ini kurang mendapat perhatian. Faktanya banyak seniman atau atlet yang sukses saja banyak yang hidup miskin ketika masa keemasannya sudah hilang. Inilah yang kemudian membuat orangtua menjadi was-was. 

Apalagi misalnya? Penulis. Sudah kelihatan kan di Kompasiana saja, berapa persen yang menjadikan pekerjaan menulis sebagai pekerjaan utama? Mungkin masih dalam hitungan jari. Kita sebut lagi profesi yang lain: pemuka agama seperti pendeta atau romo (pastor), arkeolog, penenun, peladang, dan lain sebagainya. 

Bagaimana bila bakat anak tidak sesuai keinginan orangtua, dukung tidak ya?

Anak belajar memasak (Gambar: ulyadays.com)
Anak belajar memasak (Gambar: ulyadays.com)
Apabila memang anak sudah terlihat potensinya sejak kecil dan serius ingin menekuni profesi ini, namun tidak sesuai dengan keinginan orangtua, akankah kita dukung? 

Menurut pandangan saya sebagai orangtua muda, sudah selayaknya kita mendukung. Jangan menyia-nyiakan anak yang memang berbakat di bidang tertentu selama bakat itu positif serta berguna bagi dirinya sendiri dan orang lain. Manfaatnya harus bisa dirasakan sampai ke lingkungan dan orang lain. Bakat merupakan anugerah. 

Tak semua orang memiliki anugerah yang sama. Ia merupakan salah satu pembentukan karakter anak. Lewat bakat, kreativitas anak akan tumbuh. Anak bisa belajar banyak tentang arti sebuah usaha dan kerja keras. 

Ia akan merasakan gagal, lalu di titik ini kita sebagai orangtua akan membuatnya mengerti tentang arti sebuah perjuangan serta mengajarkan kepada anak tentang semangat pantang menyerah. 

Oleh karena itu, ketika jatuh ia akan bangkit kembali dan mengejar cita-citanya hingga ia berhasil. Maka peran orangtua begitu pentingnya dalam mendampingi anak menapaki masa depan. Memaksakan kehendak hanya akan membuat hasil yang tidak maksimal. Setengah-setengah bahkan bisa berakibat pada kegagalan. 

Anda ingin anak Anda menjadi dokter, tetapi nilai biologi, matematika, dan fisikanya selalu jelek walaupun sudah diberi les ke lembaga belajar terbaik, akan jadi dokter macam apa dia nanti? 

Lebih baik kita dukung sembari mengarahkan anak. Kita tunjukkan di mana sisi positif dan negatifnya. Karena hidup adalah sebuah pilihan, biarkan ia memilih dengan bijak dan bertanggung jawab seperti orangtuanya yang bijaksana. 

Semoga kita semua dimampukan untuk menjadi orangtua yang bijaksana.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun