Mohon tunggu...
Meirri Alfianto
Meirri Alfianto Mohon Tunggu... Insinyur - Seorang Ayah yang memaknai hidup adalah kesempatan untuk berbagi

Ajining diri dumunung aneng lathi (kualitas diri seseorang tercermin melalui ucapannya). Saya orang teknik yang cinta dengan dunia literasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Anjay" yang Akan Terus Hidup dalam Masyarakat

4 September 2020   09:00 Diperbarui: 5 September 2020   07:14 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. (sumber: KOMPAS/TOTO SIHONO)

"Anjay" tiba-tiba menjadi viral dan menarik atensi masyarakat. Kalau saya menulis topik ini, tentu tidak hanya tentang "anjay" saja. Ada banyak kata sejenis yang menjadi ungkapan atau kata yang dianggap olokan yang sudah biasa digunakan dalam pergaulan sehari-hari masyarakat. 

Dalam tradisi-tradisi kedaerahan, banyak kata-kata lain yang beredar di masyarakat dan sudah sangat akrab ditelinga. Mohon maaf, sebut saja misalnya jancuk, asu, dan kawan-kawannya. 

Kata, menurut saya tidak salah. Apalagi anjing. Salahnya di mana anjing itu sehingga harus menanggung dosa banyak orang?

Yang salah adalah tujuan manusia mengucapkan dan cara pandang manusia. Di daerah saya, kata-kata tersebut sudah sangat lazim digunakan dalam pergaulan hidup sehari-hari. Namun tentu ada batasannya. 

Jancuk dan kawan-kawan hanya digunakan untuk berbicara dengan teman sebaya untuk menandakan hubungan keakraban antar teman. Tentu saja apabila berbicara dengan orang yang lebih tua, kata ini tidak akan digunakan. Pun demikian halnya jika lawan bicaranya adalah orang baru. Semakin kasar berarti menandakan bahwa hubungannya kekerabatannya semakin dekat. 

Kadang-kadang dalam pertunjukan dagelan (humor) jawa, semakin kasar akan semakin mengocok perut penontonnya. Coba saja search di Youtube dagelan Cak Percil atau show grup musik Pecas Ndahe. Kembali ke persoalan kata, berikut saya contohkan penggunaan katanya. 

Contoh bila saya berbicara dengan guru, "Saking pundi Pak?" (Darimana Pak). Ini adalah golongan kalimat kromo Inggil (bahasa Jawa halus)

Berbeda dengan saya berbicara dengan teman dekat saya.

"Cuk, soko ngendi awakmu?" (Darimana kamu?)

Ada norma tersendiri, tidak sembarang diucapkan. Bila kata diucapkan dalam kondisi dan situasi yang tepat, tidak akan jadi persoalan. Yang menanggapi pun tidak akan marah. Contoh lagi yang paling dekat dan sudah disaksikan banyak orang. Tengoklah dalam film 'Tilik'. 

Bila anda perhatikan, sopir truk yang membawa Bu Tejo dan ibu-ibu kampung itu dipanggil 'Gotrek'. Apa itu nama asli? bukan. Mana ada orang Jawa bernama 'Gotrek'. Yang ada itu adalah nama wadanan atau kalau dalam istilah bahasa Indonesia nama olokan. 

Yang biasa dipanggil 'Gotrek' itu orang yang namanya 'Tri'. Lalu apakah 'Gotrek' marah? tidak. Justru dia santai-santai saja dipanggil demikian. Mungkin malah kalau dipanggil Tri, bisa jadi dia tidak menoleh.

Polemik kata
Polemik kata "Anjay". Gambar: jatimtimes.com

Kembali lagi menurut pandangan saya, kata-kata ini tak perlu dipersoalkan. Saya pikir ada banyak hal yang lebih urgent untuk diangkat terkait dengan masalah degradasi moral. Penjualan rokok di kalangan anak misalnya. Ini fakta yang tak sulit ditemui. Anak-anak SMP sudah mulai merokok. 

Bahkan ada juga anak SD yang mulai mencoba-coba. Kemudian ada lagi persoalan menjamurnya film porno di handphone para pelajar SMP. Itu fakta dan mengerikan menurut saya. Belum saatnya mereka mengonsumsi tayangan seperti itu. 

Bukankah ini lebih penting untuk dibahas dan dicari jalan keluarnya? Penting untuk mengedukasi generasi muda kita terkait hal ini supaya anak-anak Indonesia memiliki kualitas unggul dan dapat dibanggakan. Poin mengedukasi ini saya setuju dengan komnas PA. 

Anjay, jancuk, dan kata-kata sejenisnya adalah tradisi lama. Dari mulai saya kecil sampai dewasa. Dari mulai bergaul dengan teman-teman dimasa kecil hingga sekarang nongkrong di pos ronda dengan bapak-bapak, bahasa itu selalu muncul. 

Rasanya kata ini adalah kata yang tak akan lekang oleh waktu. Tak akan tergerus oleh jaman dan akan terus hidup dalam masyarakat. Mau tak mau kata-kata ini akan terasa lebih asyik diucapkan dengan teman-teman dibanding apabila harus menggunakan bahasa resmi dalam kamus untuk sekedar ngobrol dengan teman di warung kopi.

Anjay, masak ngobrol di warung kopi sambil makan kacang goreng aja harus pakai EYD!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun