Sejak pertama kali mengakpose diri menjadi manusia yang dekat Tuhan, saya bertanya-tanya pada sikap kebanyakan orang yang berpandangan bahwa kedekatan dengan Tuhan harus selalu membatasi subjek-nya dalam banyak hal.
Misalnya dalam bertingkah laku. Tiap subjek yang mengklaim bahwa dirinya dekat dengan Tuhan harus selalu sempurna dimata penilai, sedangkan yang tidak dekat dengan Tuhan memiliki keleluasaan untuk berekspresi, bebas nilai.
Mengapa demikian? Padahal keduanya sama sama subjek?! Sama sama pilihan hidup! Yang jadi pembeda hanyalah soal akrab atau tak akrab dengan Tuhan!
Apakah dibenarkan, keakraban membuat orang lain berhak memberikan penilaian pada suatu subjek? Apakah keakraban membatasi subjek untuk berekspresi sesuai dengan kemandirian berfikir nya? Mengapa demikian?
Sampai sekarang saya masih mencari jawabannya. Why like that?
Hingga pada hari ini bertemu dengan seorang sahabat baru yang juga mengalami perlakuan yang sama. Sama sama diambil hak nya untuk berekspresi lantaran akrab dengan Tuhan.
Saya tidak pernah heran mengapa dia memantapkan diri untuk akrab dengan Tuhan. Karena memang dia besar di lingkungan ketuhanan, dan di dukung oleh wali yang bertuhan, sehingga pada akhirnya intuisinya mengarahkan dia untuk akrab dengan Tuhan.
Malam ini kami saling sharing pengalaman perihal keakraban dengan Tuhan. Kurang lebih lima jam lamanya. Dimulai setelah teraweh, diakhiri dengan misscall orang tua.Â
Sharing saat itu melahirkan kesimpulan : ketuhanan kami sama, sejarah bertuhan kami juga sama, alasan bertuhan sama, tapi keakraban dengan Tuhan yang kami jalani menghasikkan output yang berbeda.Â
Dia memilih bertuhan diam diam, saya malah terang terangan.