(Perdebatan Antara Hukum Pidana dan Hukum Administrasi Negara)
Barangkali, analisa kasus Dahlan Iskan telah tersebar di pelbagai media dan surat kabar. Barangkali pula, banyak tanggapan dan komentar yang dilontarkan para ahli sampai masyarakat awam. Itulah Dahlan Iskan. Sosok orang besar tetapi sederhana. Pintar tetapi merendah. Dan tulisan kali ini, tak bermaksud menambah keruwetan pandangan orang-orang. Tulisan ini, sekedar menyambung apa yang sudah diungkapkan tanpa menyudutkan salah satu pihak. Semoga.
Dahlan Iskan tak ubahnya mutiara di tengah pasir yang gersang. Di tengah maraknya krisis kepercayaan rakyat terhadap pejabat sebab korupsi, Dahlan hadir menghiasi ranah pejabat yang merakyat. Dari menukar sepatu dengan sosok anak muda, hingga cerita hidup yang menginspirasi dan dituangkannya di dalam novel. Bahkan, tak heran jika di tahun 2014 silam, ia digodong-godong agar mencalonkan diri sebagai presiden. Itu adalah bukti, bagaimana rakyat mencintai seorang pemilik koran terbesar di Jawa Timur ini.
Lantas, apakah kepercayaan masyarakat terkikis dengan kasus yang menyeretnya saat ini? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari ulas secara singkat dari segi hukum. Bagaimanapun juga, kasus yang menghantarkannya sebagai seorang tersangka, tak lain karena perdebatan hukum di dalamnya.
Sebagaimana tuntutan jaksa, Dahlan dikenakan Pasal 2 (perbuatan melawan hukum) dan Pasal 3 (menyalahgunakan kewenangan ) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang ini mengartikan korupsi sebagai perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Cakupan pengertian ini rupanya memberikan pandangan multitafsir terhadap pejabat publik. Sebab, kendati tidak mengambil keuntungan pribadi, apabila suatu keputusan atau tindakan yang diambil oleh pejabat publik menguntungkan orang lain dan merugikan keuangan negara, seorang pejabat bisa dituduh melakukan korupsi. Bahkan, memotong prosedur untuk kepentingan publik bisa dianggap suatu pelanggaran.
Lantas, mari lihat tindakan Dahlan dari segi hukum adiministrasi negara. Di dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dikenal sebuah istilah yang bernama “Diskresi”. Istilah ini berarti sebuah “keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan”.
Dari pengertian tersebut, diskresi dilakukan dalam kondisi mendesak sedangkan di satu sisi terdapat keterbatasan kekuasaan sehingga berpicu menerobos prosedur. Artinya, ketentuan formal dikesampingkan dan mendahulukan kepentingan publik.
Dalam konteks kasus Dahlan, sebagaimana pernyataannya dalam sebuah surat kabar nasional, tindakan yang dilakukan adalah untuk merespon keluhan masyarakat yang bertahun-tahun tidak menikmati listrik sedangkan ia terkendala prosedur yang memakan waktu cukup lama.
Melihat kedua aturan di atas, baik dari segi hukum pidana dan administrasi negara, penulis mencoba mengulas sesingkat mungkin terkait polemik yang terjadi.
Pertama, dari segi hukum positif. Batasan ruang diskresi yang dimiliki seorang pejabat publik masih tidak terstruktur dengan baik. Sejatinya, tujuan diskresi adalah untuk kepentingan publik dengan mengesampingkan kebijakan yang ada. Sayang, kebijakan ini justru menakutkan pejabat sebab apabila salah mengambil langkah, maka, ia dapat diseret kasus korupsi dengan tuduhan penyalahgunaan wewenang kendati tidak mengambil keuntungan pribadi. Kendati demikian, pandangan penulis tidak menyudutkan pengertian korupsi.
Dalam keadaan apapun, korupsi tidak dapat dibenarkan. Hanya saja, hukum positif harus memiliki formula dalam memperjelas diskresi yang dibenarkan agar tidak terjerat kasus korupsi. Jika tidak, hal ini menjadi momok yang menakutkan bagi pejabat publik dan dimungkinkan pejabat tersebut akan dinilai buruk dalam pelayanan publik.
Kedua, sikap yang harus diambil oleh penegak hukum. Tidak dapat dipungkiri, kian hari, kasus korupsi di dalam negeri terus menggila. Di zaman orde baru, korupsi acapkali dilakukan di bawah kolong meja. Tetapi di era reformasi, korupsi dianggap tindakan biasa. Sehubung dengan ranah administrasi, terlebih dalam kasus Dahlan Iskan, penulis tidak menampik bahwa sejogjanya aparat penegak hukum harus jeli dalam menegakkan keadilan. Perbedaan ruang diskresi dan korupsi akan melahirkan sebuah tanda tanya besar yaitu dimanakah batasan kebebasan seorang pejabat dalam mengambil putusan di dalam keadaan mendesak dengan mengesampingkan prosedur sedangkan keputusan tersebut untuk kepentingan publik? Sebab, jika tidak ada batasan yang terstruktur, maka, pejabat tersebut akan dianggap melakukan tindak pidana korupsi dengan kategori menyalahgunakan wewenang. Tentu, dalam menjawab pertanyaan tersebut hanya ada di dalam diri para penegak hukum. Karena di dalam konteks ini, dibutuhkan sikap integritas dan kepintaran dari seorang penegak hukum khusunya seorang hakim.
Adagium yang menyatakan bahwasannya seorang hakim adalah wakil Tuhan di muka bumi, nyata-nyata harus dibuktikan dalam kasus seorang Dahlan dan kasus yang lain. Tentu, Dahlan harus membuktikan bahwa tindakannya benar-benar dalam kondisi mendesak dan murni untuk kepentingan publik serta tidak mengambil keuntungan pribadi. Jika tidak dapat membuktikan ketiga kriteria tersebut, bukan tidak mungkin, hakim akan menjatuhkan hukuman penjara terhadap anak miskin yang berhasil menjadi menteri ini.
Dengan demikian, jawaban atas pertanyaan apakah kepercayaan rakyat mengikis dengan penetapan dirinya sebagai tersangka? Kiranya, menurut hemat penulis, jawaban yang sebenarnya, ada di dalam diri Dahlan dan para penegak hukum. Penulis tidak dapat memberikan jawaban selama kedua belah pihak belum membuktikan di dalam persidangan kendati kebenaran hakiki hanya di hadapan Ilahi. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H