Mohon tunggu...
Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Miniatur Kasus Seorang Dahlan

4 Maret 2017   21:18 Diperbarui: 4 Maret 2017   21:22 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

(Perdebatan Antara Hukum Pidana dan Hukum Administrasi Negara)

Barangkali, analisa kasus Dahlan Iskan telah tersebar di pelbagai media dan surat kabar. Barangkali pula, banyak tanggapan dan komentar yang dilontarkan para ahli sampai masyarakat awam. Itulah Dahlan Iskan. Sosok orang besar tetapi sederhana. Pintar tetapi merendah. Dan tulisan kali ini, tak bermaksud menambah keruwetan pandangan orang-orang. Tulisan ini, sekedar menyambung apa yang sudah diungkapkan tanpa menyudutkan salah satu pihak. Semoga.

Dahlan Iskan tak ubahnya mutiara di tengah pasir yang gersang. Di tengah maraknya krisis kepercayaan rakyat terhadap pejabat sebab korupsi, Dahlan hadir menghiasi ranah pejabat yang merakyat. Dari menukar sepatu dengan sosok anak muda, hingga cerita hidup yang menginspirasi dan dituangkannya di dalam novel. Bahkan, tak heran jika di tahun 2014 silam, ia digodong-godong agar mencalonkan diri sebagai presiden. Itu adalah bukti, bagaimana rakyat mencintai seorang pemilik koran terbesar di Jawa Timur ini.

Lantas, apakah kepercayaan masyarakat terkikis dengan kasus yang menyeretnya saat ini? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari ulas secara singkat dari segi hukum. Bagaimanapun juga, kasus yang menghantarkannya sebagai seorang tersangka, tak lain karena perdebatan hukum di dalamnya.

Sebagaimana tuntutan jaksa, Dahlan dikenakan Pasal 2 (perbuatan melawan hukum) dan Pasal 3 (menyalahgunakan kewenangan ) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang ini mengartikan korupsi sebagai perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Cakupan pengertian ini rupanya memberikan pandangan multitafsir terhadap pejabat publik. Sebab, kendati tidak mengambil keuntungan pribadi, apabila suatu keputusan atau tindakan yang diambil oleh pejabat publik menguntungkan orang lain dan merugikan keuangan negara, seorang pejabat bisa dituduh melakukan korupsi. Bahkan, memotong prosedur untuk kepentingan publik bisa dianggap suatu pelanggaran.

Lantas, mari lihat tindakan Dahlan dari segi hukum adiministrasi negara. Di dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dikenal sebuah istilah yang bernama “Diskresi”. Istilah ini berarti sebuah “keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan”.

Dari pengertian tersebut, diskresi dilakukan dalam kondisi mendesak sedangkan di satu sisi terdapat keterbatasan kekuasaan sehingga berpicu menerobos prosedur. Artinya, ketentuan formal dikesampingkan dan mendahulukan kepentingan publik.

Dalam konteks kasus Dahlan, sebagaimana pernyataannya dalam sebuah surat kabar nasional, tindakan yang dilakukan adalah untuk merespon keluhan masyarakat yang bertahun-tahun tidak menikmati listrik sedangkan ia terkendala prosedur yang memakan waktu cukup lama.

Melihat kedua aturan di atas, baik dari segi hukum pidana dan administrasi negara, penulis mencoba mengulas sesingkat mungkin terkait polemik yang terjadi.

Pertama, dari segi hukum positif. Batasan ruang diskresi yang dimiliki seorang pejabat publik masih tidak terstruktur dengan baik. Sejatinya, tujuan diskresi adalah untuk kepentingan publik dengan mengesampingkan kebijakan yang ada. Sayang, kebijakan ini justru menakutkan pejabat sebab apabila salah mengambil langkah, maka, ia dapat diseret kasus korupsi dengan tuduhan penyalahgunaan wewenang kendati tidak mengambil keuntungan pribadi. Kendati demikian, pandangan penulis tidak menyudutkan pengertian korupsi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun