Mohon tunggu...
Alief Fikri
Alief Fikri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Endless Serendipity

Panjang Umur Perjuangan Sehat Selalu Kontemplasi

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Power Dynamics: Pengorbanan Pahit yang Berasal dari Inkompetensi

21 Januari 2025   23:52 Diperbarui: 21 Januari 2025   23:52 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KKN Internasional 2023 - Pahang, Malaysia

Ada kalanya, belajar untuk menjadi pintar kemudian menjadi cerdas pada akhirnya tidak memiliki nilai karena pada akhirnnya ia dihambat dengan kepengecutan manusia yang tidak terbuka pada diskursus, anti kritik, lalu menutup saluran ide hanya untuk menjaga kestabilan. Dinamika kemudian menjadi barang langka yang tidak bisa menjawab persoalan, memecahkan masalah, atau sekedar memberi kesenangan pada harapan dan tanggung jawab yang melekat pada seseorang. Persoalan ini acapkali menemui jalan buntu ketika terjadi clash antara mereka yang menuntut kestabilan dengan mereka yang bertanggung jawab dengan gaya yang dinamis. 

Pada akhirnya, kestabilan terkadang membisukan apa yang sebenarnya menjadi salah, menguburkan harapan orang lain, kemudian memberikan label pada orang-orang ini dengan manusia yang banyak maunya. Ada banyak orang-orang yang kemudian menjadi korban dari mereka yang ingin menduduki posisi tertentu akan tetapi belum punya kapasitas mental untuk mempertanggung jawabkan sirkulasi keuangan yang membawa harapan pada pundak mereka.  Ada maslahah banyak orang yang berusaha ditutupi karena tidak bisa ditanggung oleh mereka yang menjadi pucuk wewenang. Kemudian, kesalahan itu menjadi hal yang paling normal untuk terjadi di sekitar kita. Dimana seseorang hanya perlu membisukan mereka yang tidak harmonis dengan sesama. Memelihara kebodohan lalu menjamur pada orang-orang sekitar. Apakah kemudian hal tersebut perlu kita wajarkan untuk terjadi dan membenarkan itu untuk alasan harmonisasi pada lingkungan? 

Dalam labirin kekuasaan organisasi, sering kali terselip tragedi yang tak kasat mata,individu-individu progresif, mereka yang membawa visi dan gagasan segar, justru dikorbankan demi melanggengkan zona nyaman para pemimpin yang terjebak dalam kepicikan. Fenomena ini mencerminkan wajah gelap organisasi yang dipimpin bukan oleh keberanian, melainkan oleh ketakutan terhadap perubahan. Ketidakmampuan untuk memeluk keberagaman ide dan pandangan menjadi cerminan dari kelemahan struktural yang mengakar kuat. 

Dalam berbagai teori kepemimpinan modern, seperti kepemimpinan transformasional, ditekankan bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang dapat menyulut semangat inovasi dan menghargai perspektif yang berbeda. Namun, apa yang kerap terjadi adalah kebalikannya: perbedaan dianggap sebagai "virus" yang harus disingkirkan, bukan sebagai "pupuk" yang menyuburkan. Orang-orang progresif---yang berani berpikir di luar kotak dan mempertanyakan kebiasaan yang stagnan---sering kali dimarjinalkan hanya karena pandangan mereka tidak selaras dengan arus utama kekuasaan.

Kepicikan ini menunjukkan adanya ketakutan mendasar yang membelenggu para pemimpin tertentu: takut kehilangan kendali, takut terlihat salah, dan pada akhirnya, takut akan pertanyaan-pertanyaan kritis yang mungkin membuka celah kelemahan mereka. Dengan demikian, keberanian untuk membuka diri terhadap perubahan tenggelam oleh ego yang rapuh.

Ketiadaan empati dalam pengambilan keputusan semakin memperparah kondisi ini. Ketika pemimpin lebih mementingkan harmoni semu daripada keberlanjutan organisasi, individu-individu dengan pandangan berbeda menjadi korban yang dikorbankan secara sistematis.

Dari sini kemudian memunculkan akar-akar pemimpin yang otoriter, SDM rendah, dengan menjaga sirkulasi informasi yang tertutup untuk menyembunyikan tidak cakapnya mereka dalam memberikan keputusan, lalu akan mencari kambing hitam yang bisa dipersalahkan dari orang-orang yang ada di sekitarnya untuk mempertahankan kemahalan harga dirinya yang egosentris dan tak bijak dalam menyikapi dinamika.  

Mereka dianggap "tidak cocok" hanya karena menyuarakan kebenaran yang tidak nyaman. Hal ini menciptakan luka kolektif dalam tubuh organisasi, di mana semangat inovasi mati perlahan akibat iklim ketidakadilan.

Dalam konteks ini, empati tidak sekadar atribut moral, tetapi juga strategi kepemimpinan yang esensial. Pemimpin yang gagal menunjukkan empati terhadap bawahannya akan kehilangan kepercayaan, dan kepercayaan adalah fondasi dari setiap hubungan profesional yang produktif. Ketika empati dikesampingkan, hubungan hierarkis berubah menjadi mesin birokrasi yang dingin dan tak berjiwa, yang pada akhirnya hanya melahirkan stagnasi. 

Fenomena ini tidak hanya mematikan inovasi, tetapi juga menciptakan budaya kerja yang toxic. mereka yang kompeten merasa frustrasi karena kerja keras dan kemampuan mereka tidak dihargai, sementara individu-individu yang hanya "dekat" dengan pucuk pimpinan terus diberi posisi strategis. Dalam jangka panjang, organisasi dengan budaya seperti ini akan kehilangan daya saingnya, karena mereka tidak mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang dinamis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun