Perubahan iklim merupakan salah satu fenomena yang disebabkan oleh pemanasan global akibat dari efek gas rumah kaca. Kondisi ini mengakibatkan peningkatan suhu bumi, yang berujung pada berbagai bencana, seperti kekeringan, ketidakstabilan curah hujan, serta kenaikan temperatur dan kelembaban. Semua ini berpotensi menyebabkan kerusakan dan kegagalan di semua sektor produksi, terutama di sektor pertanian.
Bumi baru saja mencatatkan hari terhangat dalam sejarah modern, menurut data dari Copernicus Climate Change Service (C3S). Pada 22 Juli 2024, suhu rata-rata global harian mencapai rekor baru sebesar 17,16°C. Angka ini melampaui rekor sebelumnya, yakni 17,09°C, yang ditetapkan hanya sehari sebelumnya pada 21 Juli 2024, serta rekor 17,08°C yang dicatat setahun lalu pada 6 Juli 2023.
Pemanasan global yang terus meningkat telah menyebabkan intensifikasi cuaca ekstrem di berbagai belahan dunia. Gelombang panas, yang sebelumnya jarang terjadi dengan tingkat intensitas dan frekuensi yang tinggi, kini semakin sering melanda. Badai yang lebih kuat, banjir yang kian parah, dan kebakaran hutan yang meluas menjadi bukti nyata dari krisis iklim yang sedang kita hadapi.
Pemanasan yang disebabkan oleh aktivitas manusia telah mencapai sekitar 1°C di atas tingkat pra-industri pada tahun 2017, dengan kemungkinan berkisar antara 0,8°C dan 1,2°C. Dalam dekade terakhir, suhu global meningkat sekitar 0,2°C, dengan kemungkinan berkisar antara 0,1°C dan 0,3°C, dan penilaian ini memiliki tingkat keyakinan yang tinggi. Pemanasan global didefinisikan sebagai peningkatan rata-rata suhu permukaan udara dan permukaan laut secara global selama periode 30 tahun yang sangat dipengaruhi oleh kegiatan atau aktivitas manusia seperti aktivitas industri yang menghasilkan karbon dan limbah gas, pembakaran bahan bakar fosil, penebangan pohon secara liar dan berlebihan, pembakaran sampah dalam intensitas besar, penggunaan alat elektronik secara berlebihan, penggunaan alat transportasi berbahan bakar minyak, dan masih banyak lagi.
Berdasarkan sumber dari laman BMKG tahun 2023, Â Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut ancaman krisis pangan sebagai dampak dari perubahan iklim bukan sekadar isapan jempol. Suhu atau temperatur bumi secara global saat ini naik 1,2 derajat celcius. Angka tersebut dipandang sebagai angka yang kecil, padahal itu adalah angka yang besar dan mematikan. Banyak fenomena ekstrim , bencana hidrometeorologi yang diakibatkan oleh pemanasan global. Selanjutnya beliau juga mengatakan bahwa bencana kelaparan yang telah diprediksi oleh organisasi pangan dunia akan terjadi di tahun 2050 merupakan bencana nyata yang dapat terjadi dan mengancam seluruh negara di dunia termasuk Indonesia.
Bukan tidak mungkin Indonesia juga akan mengalami bencana kelaparan atau krisis pangan jika perubahan iklim akibat pemanasan global terus terjadi dan tidak diatasi sedari dini. Meskipun Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah namun iklim adalah faktor yang sangat menentukan sumber daya tersebut dapat berhasil dipanen atau tidak.
Perubahan iklim yang telah terjadi membawa dampak signifikan terhadap sektor pertanian, yang merasakan perbedaan kondisi yang cukup mendalam. Budidaya padi, misalnya, sangat bergantung pada ketersediaan air dan intensitas sinar matahari. Musim tanam padi sawah harus menyesuaikan diri dengan pola curah hujan yang ada. Oleh karena itu, pergeseran pola hujan akibat perubahan iklim akan berimbas pada pergeseran musim tanam padi sawah itu sendiri.
Kini, perubahan iklim memberikan dampak negatif yang meluas pada berbagai aspek kehidupan. Fenomena El Niño dan La Niña, yang sedang berlangsung, adalah salah satu contohnya. Dampak ini juga mengancam ketahanan pangan, karena perubahan iklim dapat berujung pada gagal panen, suatu masalah yang menjadi tantangan besar bagi sektor pertanian yang rentan. Kekeringan berkepanjangan dan banjir yang merusak tanaman pangan adalah dua dampak ekstrim akibat perubahan iklim yang dapat mengakibatkan penurunan produksi pangan dan, pada gilirannya, mengancam ketahanan pangan.
Sebagai salah satu negara yang terdampak oleh perubahaan iklim, Indonesia, yang dikenal sebagai negara agraris, memiliki sektor pertanian yang tidak hanya berperan dalam memenuhi kebutuhan pangan tetapi juga memberikan kontribusi penting terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) serta menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat.
Perubahan iklim memang tidak bisa dihindari atau dihilangkan sepenuhnya tetapi hanya bisa di minimalisir dan diantisipasi sedari awal agar tidak terus terjadi peningkatan dan akhirnya dapat mengancam produksi pangan bukan hanya di Indonesia saja melainkan di seluruh dunia. Dengan cara mengurangi aktivitas industri yang menghasilkan gas dan menimbulkan efek gas rumah kaca, serta mengurangi penggunaan energi listrik dan alat elektronik jika memang tidak digunakan, beralih menggunakan transportasi umum atau kendaraan listrik, mulai menanami lingkungan sekitar rumah dengan tanaman untuk menyerap karbondioksida di udara, tidak menebang pohon sembarangan karena pohon sangat berperan penting untuk menjaga kelembaban udara dan mengontrol iklim agar tidak terlalu panas dan bila musim hujan pohon bisa menyerap air hujan dan tidak terjadi banjir.
Sedangkan para petani dapat mengambil langkah untuk beradaptasi dengan perubahan iklim yang tidak menentu. Dalam menghadapi perubahan iklim, strategi adaptasi yang memerlukan investasi tinggi dalam bidang pertanian sangat memerlukan peran aktif pemerintah. Salah satu langkah penting adalah pengembangan dan percepatan adopsi teknologi pertanian yang produktif serta mampu beradaptasi dengan perubahan iklim. Selain itu, penyediaan infrastruktur yang mendukung petani dalam menerapkan langkah-langkah adaptasi juga sangat diperlukan, beserta kelembagaan petani yang dapat melindungi mereka dari dampak perubahan iklim.
Kebijakan terkait harga input dan output produk pertanian haruslah kondusif, sehingga petani dapat meraih pendapatan yang layak. Dalam hal teknologi adaptasi perubahan iklim, penting untuk menyesuaikan dengan waktu dan pola tanam. Misalnya, penggunaan varietas unggul yang tahan terhadap perubahan iklim, pemanfaatan teknologi irigasi, serta penerapan teknik tanam tanpa pengolahan tanah (TOT) adalah beberapa solusi yang dapat diimplementasikan.