Mohon tunggu...
Alfi Muhammad
Alfi Muhammad Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Sehat itu di Dapur, Bukan di Restoran

3 Agustus 2018   14:26 Diperbarui: 4 Agustus 2018   12:57 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahkan sekadar pemanis buatan saja sekalipun. Kendati bahan bakunya pilihan, dan terbilang masih segar, kalau salah mengolah, kelewat panas, kelewat berlebihan, sehingga menghilangkan sebagian zat gizi, atau nutrien yang terkandung. 

Itu sebab mengapa kita memilih bukan junk food, atau fast food, yang hanya menyisakan "ampas" dalam menu yang kita konsumsi. Selebihnya keuntungan memasak menu harian sendiri juga terkait soal selera. Kita bisa memasak sesuai selera keluarga. Lidah ibu biasanya terbawa sejak kita kecil menikmati masakan ibu. 

Makan bukan sekadar

 enak Kita cenderung mengejar enak atau lezatnya sebuah menu, bukan berorientasi apakah bersesuaian dengan kaidah gizi. Yang enak belum tentu bernilai gizi tinggi. Malah boleh dibilang, makin lezat suatu menu biasanya makin kurang menyehatkan. Beras tumbuk terasa kurang pulen dibanding beras giling yang disosoh dan berwarna putih bersih. 

Tapi beras tumbuk yang kurang pulen itu lebih menyehatkan. Lalu bekatul, ampas sisa penggilingan beras, kini sudah masuk apotek karena lapis kulit beras itu yang menyehatkan, tapi orang modern membuangnya jadi pakan ternak. Maka yang sehat ternaknya, manusia menjadi kurang sehat. Ubi jalar menu utama orang Okinawa, Jepang yang panjang umur, dan sekolah kedokteran Harvard belajar dari bagaimana orang Okinawa yang paling panjang umur itu memilih menu harian. 

Kita tahu ubi jalar rebus tidak lebih lezat dari donat, tapi ubi jalar lebih menyehatkan. Demikian pula halnya jajanan buatan pabrik yang kebanyakan memakai minyak trans yang tidak menyehatkan itu, umumnya lebih lezat ketimbang singkong atau kacang rebus. Kesimpulan kita mestinya tetap perlu berpikir, bukan mengikuti kata hati saja ketika memilih apa yang hendak kita makan. 

Anak di Singapura dididik cerdas memilih makanan, sehingga sampai dewasa mereka makan dengan kepala, bukan dengan hati. Pilih hanya yang lebih menyehatkan, menolak yang tidak menyehatkan

 Masakan rumah yang slow food

 Itu maka sudah lama muncul gerakan memilih menu "slow food" lawan dari fast food yang harus diakui kalau jenis menu fast food yang digandrungi itu tidak lebih menyehatkan. Prinsip memilih makanan yang menyehatkan selalu bertumpu pada alasan seperti itu. Kalau bisa dimakan mentah, kenapa harus dimasak. Kalau cukup dimasak sejenak, kenapa harus sampai mendidih. 

Kalau cukup sampai mendidih, kenapa sampai lodoh. Gudeg tergolong jenis menu yang kurang bergizi lagi karena dimasak berjam-jam, maka salad dinilai jauh lebih menyehatkan karena sama menyehatkannya dengan karedok. Bahwa bahan mentahan itu masih mengandung zat alami seutuhnya, dan sebagian hilang bila keliru menyiangi, keliru pula mengolahnya, sehingga sebagian, kalau bukan seluruh zat gizi yang dikandungnya menjadi hilang. 

Termasuk buah impor yang kita gandrungi, yang sudah dipanen sekian bulan sebelum kita konsumsi, diawetkan dengan bahan kimia, tentu jauh lebih berkualitas buah lokal yang kita petik sendiri dari pekarangan, jauh lebih murah, masih utuh seluruh kandungan zat gizinya. Keliru kalau masih memilih buah impor yang lebih mahal itu. Orang Korea memilih makan ikan mentah, orang Sunda doyan lalap mentahan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun