Suhu udara di Banda Neira, siang hari itu terasa panas, mungkin mencapai 32o C. Namun entah mengapa perasaan hati justru menjadi teduh, manakala melewatkan waktu di sana. Keelokan alam salah satu pulau dari Kepulauan Banda ini menawarkan pesona tersendiri yang menyentuh hati.Â
Ketika tiba di Banda Neira, Kepulauan Banda, Maluku Tengah, saya akhirnya sepakat dengan kalimat "Travel is said to be the cure all for a broken heart". Bukan, saya sedang tidak patah hati. Tapi ada pengertian baru di kepala saya mengenai perjalanan, liburan, wisata, atau apa pun namanya.Â
Tadinya bagi saya traveling hanyalah sekadar liburan biasa, di mana orang dapat menikmati perjalanan dan bersenang-senang. Tapi rupanya perjalanan ke Banda Neira menyadarkan saya, alam semesta dapat membuat kita merasa tenang. Dan mungkin juga bagi mereka yang patah hati, dapat sembuh dan pulih setelah traveling.Â
Khususnya jika Anda memutuskan berlibur ke Banda Neira. Pukul 05.30, saat cahaya matahari masih mengintip dari balik cakrawala, saya menginjakkan kaki di Pelabuhan Banda Neira. Turun dari KM Pangrango setelah menyeberangi laut Banda yang menurut ekspedisi Snellius memiliki kedalaman sampai 7.440 m. Dengan kapal milik PT Pelni ini, perjalanan Ambon-Banda Neira ditempuh 12-13 jam. Genset Perkins digunakan di kapal ini sebagai sumber listrik cadangan di kapal
Akses transportasi ke Banda Neira memang masih minim. Saya akhirnya menggunakan kapal dengan rute Ambon-Banda Neira gara-gara pesawat dari penerbangan reguler mengalami kendala teknis. Dalam situasi cuaca yang mendukung, jadwal penerbangan ke Banda Neira hanya dua kali seminggu.Â
Lama perjalanan satu jam, dengan tiket Rp350.000 per orang. Karena tidak bersiap dengan berbagai kemungkinan di atas, jadilah saya juga tidak kebagian tiket kapal cepat Bahari Express yang sebenarnya lebih cepat, menjadi 6-7 jam. Sama seperti pesawat terbang, jadwal kapal cepat ini juga tidak bisa dipastikan melalui internet. Jadi kita harus sering-sering berkomunikasi dengan pihak pelabuhan.
Dari situ saya ambil pelajaran, kalau ingin ke Banda Neira, bukan tiket pesawat menuju Ambon yang menjadi prioritas. Melainkan, transportasi menuju Banda Neira yang harus dipastikan lebih dulu.Â
Walau saya tiba di Banda Neira pagi-pagi benar, rupanya penduduk sudah mulai beraktivitas. Di pelabuhan, para pengojek sudah menunggu penumpang. Kota kecil di pulau ini sebenarnya bisa kita kelilingi dengan berjalan kaki. Tapi jika ingin lebih praktis, para pengojek siap melayani dengan harga yang harus dinegosiasi tentunya.Â
Rumah-rumah penduduk banyak yang sudah terbuka. Sebagian dari mereka tampak sedang sarapan di teras depan rumah. Sebagian lagi, para orangtua mengantar anaknya yang akan berangkat ke sekolah ke depan pintu. Anak-anak berseragam sekolah melintas satu-persatu. Para wisatawan juga sudah terihat keluar dari penginapan, untuk menikmati pagi.Â
Menariknya, hampir semua orang di jalan, menyapa saya. Saya merasa sangat diterima dengan keramahan itu. Saya yakin penduduk setempat juga menjadi daya tarik tersembunyi dari pulau yang juga sering disebut the spicy island itu. Gunung Api (Gunung Api Banda) yang kesohor di Banda Neira tampak menjulang tinggi di seberang pulau ketika saya memulai perjalanan untuk menjelajah. Bayangannya memantul di permukaan air yang bergelombang kecil.