Mohon tunggu...
Alfi Muhammad
Alfi Muhammad Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bagaimana Strategi Trump Agar Menang di Pilpres Amerika ?

9 Februari 2018   22:43 Diperbarui: 29 Agustus 2018   10:30 3865
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa jam setelah Donald trump diumumkan menjadi pemenang dalam pemilihan presiden (pilpres) Amerika Serikat 2016, USA today menampilkan headline berita yang provokatif "Forget trump: Election's big winner was twitter".Media tersebut beralasan, Twitter berperan sangat besar dalam penyebaran pesanpesan kampanye maupun mobilisasi pemilih pro Trump sehingga calon presiden kontroversial dari Partai Republik tersebut menang di Pilpres. 

Trump sendiri mengakui Twitter sebagai "a modern-day form of communication". AS memang memiliki populasi Twitter dan Facebook tertinggi di dunia. Pengguna Twitter di AS mencapai 67,5 juta (data November 2016), sedangkan pengguna Facebook mencapai 217 juta (data April 2017). Uniknya, meskipun pengguna Twitter di AS hanya sepertiga pengguna Facebook, menurut USA Today jumlah pesan yang yang didistribusikan melalui Twitter dan Facebook nyaris sama pada masa kampanye 2016.  Pengguna Facebook, dan Twitter di Amerika banyak mengaksesnya dengan menggunakan iphone miliknya

Dengan dukungan kampaye media sosial yang efektif, Trump menang dengan meraih 302 suara electoral (electoral votes) atau 56,13% dari total 538 suara elector yang diperebutkan. Elector adalah wakil pemilih yang bertugas memilih presiden dalam sistem pemilihan tidak langsung di AS. Jumlah elector di tiap negara bagian berbeda, tergantung pada jumlah penduduk. Bagaimana media sosial terutama Twitter dan Facebook berperan dalam kemenangan Donald Trump? 

Twitter dan Facebook sebenarnya hanya alat penyampai pesan. Keberhasilan penyampaian pesan melalui platform media sosial tersebut tergantung pada setidaknya empat faktor: (1) pemilih yang dibidik; (2) pesan/ isu yang menjadi concern atau perhatian pemilih; (3) pihak penyampai pesan; dan (4) efektivitas penyampaian pesan. Dalam pilpres AS 2016, Donald Trump fokus membidik basis pendukung Partai Republik, yakni masyarakat kulit putih konservatif serta kelompok-kelompok ultranasionalis kulit putih. 

Trump tidak terlalu peduli dengan pemilih dari kaum minoritas. Isu-isu yang diusung Trump terutama adalah ekonomi, yang menurut Trump disebabkan oleh kebijakan imigrasi yang longgar sehingga pekerjaan kaum kulit putih diambil oleh imigran dari Meksiko atau Asia, serta akibat kebijakan pasar bebas. 

 Isu penting lain adalah rasial di mana kelompok minoritas terutama masyarakat Afrika Amerika dianggap terlalu dimanjakan melalui berbagai kebijakan pemerintah yang sarat subsidi. Isu lain yang tidak kalah pentingnya adalah keamanan, yang menurut Trump berakar dari aksi-aksi terorisme yang dilakukan oleh imigran muslim. 

Trump menjawab isu-isu tersebut dengan moto kampanye "Make America Great Again (MAGA)" yang menyiratkan janji Trump kepada masyarakat mayoritas kulit putih konservatif bahwa jika terpilih menjadi presiden, Amerika menjadi bangsa yang besar kembali melalui berbagai kebijakan yang akan mamakmurkan masyakat mayoritas; AS akan keluar dari pakta pasar bebas seperti TransPacifc Partnership (TPP) agar impor berkurang dan perusahaan-perusahaan AS membuka lapangan kerja di dalam negeri; AS juga akan melarang atau memperketat masuknya imigran dari negara-negara mayoritas Muslim. 

Pihak penyampai pesan utama dalam kampanye Pilpres Donald Trump adalah Trump sendiri yang memiliki sekitar 40 juta pengikut di Twitter. Penyampai pesan lainnya adalah media-media konservatif pro Trump dengan pengikut yang besar di Twitter atau Facebook seperti Fox News (16 juta), Daily Caller (5 juta), Breitbart (3,8 juta), The Blaze (2 juta), dan The Drudge Report (1,34 juta); serta para in?uencer konservatif pro Trump yang memiliki jumlah pengikut besar di Twitter atau Faccebook, seperti Sean Hannity (3 juta), Laura Ingraham (1,9 juta), Ann Coulter (1,8 juta), Tucker Carlson (1,4 juta), dan Glenn Back (1,2 juta).

 Trump dan para pendukungnya bisa bekerja secara efektif karena tidak perlu menjangkau pemilih di 50 negara bagian AS. Dari seluruh negara bagian tersebut, hanya 11 negara bagian saja yang masuk kategori Swing States (bisa memilih capres dari Partai Republik atau Partai Demokrat) yakni Michigan, Pennsylvania, Wisconsin, Nevada, Colorado, Arizona, Florida, Ohio, New Hampshire, North Carolina dan Virginia. Ke-39 negara bagian lainnya sebagian akan memilih capres Partai Republik (Red States) dan sisanya akan memilih capres Partai Demokrat (Blue States). 

Pesan-pesan kampanye Trump dikecam oleh banyak pihak karena dianggap rasis, menafkan sejarah AS sebagai negara imigran dan menyamaratakan imigran muslim sebagai pelaku terorisme. Namun Trump tidak peduli. Dia bersikukuh mengusung pesan-pesan kampanye terebut melalui akun Twitter-nya, yang disebarluaskan para pendukungnya di sebelas Swing States. 

Hasilnya, Trump menang di tujuh dari sebelas negara Swing States dan terpilih menjadi presiden AS ke-45. Apakah dengan strategi kampanye yang bersifat rasis dan memecah belah Trump akan mampu mewujudkan janji "Make America Great Again"? Banyak pihak pesimistis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun