Kurangnya pengetahuan hukum menjadi kerentanan perempuan.Â
Entah sosialisasi hukum / kurangnya kesadaran, pastinya segala bentuk pelecehan dan kekerasan seksual dianggap tabu dan aib personal. Payung hukum UU No 23 Tahun 2004 tentang KDRT dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah disahkan. Harusnya, mendorong perempuan berani melindungi diri dan tidak terjerumus pada stigma yang mencederai fisik dan mentalnya.
Berdasarkan UU KDRT, korban bukan hanya istri, suami, maupun anak, tetapi semua orang yang menetap dalam satu rumah. Sanksi bagi pelaku juga sudah tetera dalam pasal 44 dengan kategori delik aduan dan biasa. Indikatornya, yaitu meninggalkan luka / tidak.Â
Sebagai tindak pidana, tidak ada kata perdamaian karena KDRT merupakan hukum publik yang penegakan hukumnya diserahkan kepada kepolisian. Jika korban mengajukan laporan, tetapi kemudian mencabutnya, maka proses peradilan tetap berlanjut.Â
Pelecehan dan kekerasan seksual secara detail juga telah diatur dalam UU TPKS dari sanksi ganti rugi oleh pelaku berupa 9 tahun kurungan / denda 200 juta, pemulihan korban, dan korban mendapatkan restitusi. Pasal 11, pelaku kekerasan seksual seperti marital rape dapat kehilangan hak asuh dan pengampunan. Bukan hanya mengatur individu, tetapi UU TPKS juga mengatur perusahaan / instansi yang melanggar keamanan seksual.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H