Mohon tunggu...
alfeus Jebabun
alfeus Jebabun Mohon Tunggu... Pengacara - Pengacara

Alfeus Jebabun, Advokat (Pengacara), memiliki keahlian dalam bidang Hukum Administrasi Negara. Alfeus bisa dihubungi melalui email alfeus.jebabun@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum

UU Ciptaker: Pekerja Kontrak dan Upah

17 April 2021   13:18 Diperbarui: 17 April 2021   13:58 3983
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya berusaha menjawab beberapa pertanyaan kunci mengenai hak pekerja atau buruh setelah lahirnya Undan-Undang Nomor Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerta (UU Cipta Kerja). Banyak perubahan. Saya tidak bermaksud masuk dalam perdebatan undang-undang ini lebih banyak mudarat kepada buruh atau tidak, tetapi saya hanya mau menarasikan bunyi pasal secara sederhana agar mudah dipahami oleh pembaca yang tidak memiliki latar belakang pendidikan hukum.

Bagaimana ketentuan pekerja dengan status PKWT pasca UU Cipta Kerja? Apa saja hak pekerja PKWT yang di-PHK?

Pertama, mengenai ketentuan PKWT. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu atau disingkat PKWT, dalam kehidupan sehari-hari dikenal dengan istilah kontrak. Pegawai kontrak atau karyawan kontrak. Pada tulisan ini saya memakai term yang lazim itu: pegawai kontrak. Perubahan mendasar dari aturan tentang pegawai kontrak ini terletak pada jangka waktu atau lamanya kontrak. Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, perusahaan atau pemberi kerja hanya boleh mengikat karyawan dengan mekanisme kontrak maksimal dua kali. Tidak boleh lebih. Lebih dari dua kali, maka karyawan secara hukum perjanjian kerja berubah menjadi pekerja tetap. Jumlah total waktu dari dua kali kontrak tersebut adalah maksimal tiga tahun. Kontrak pertama maksimal dua tahun, dapat diperpanjang hanya sekali dengan durasi satu tahun.

Pasca lahirnya UU Ciptaker, jangka waktu kontrak tersebut diubah. UU Ciptaker memang tidak mengatur secara tegas jangka waktu kontrak dan mekanisme perpanjangannya. Namun, hal itu diatur melalui Pasal 6 dan Pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021. Dalam PP tersebut diatur, bahwa pekerjaan kontrak hanya boleh diberlakukan dalam pekerjaan yang perkiraan penyelesaiannya maksimal lima tahun. Jangka waktu kontrak menurut peraturan tersebut maksimal lima tahun, dan dapat diperpanjang berdasarkan kesepakatan pekerja dan pemberi kerja. Namun, kalau ada perpanjangan, jumlah total jangka waktu kontrak dan perpanjangannya tidak boleh lebih dari lima tahun.

Bahaya dalam UU Ciptaker dan Peraturan pelaksananya adalah tidak ada batas jumlah kontrak. Pekerja bisa saja mengontrak pekerja dengan durasi tiga bulan setiap kontrak. Setelahnya, bisa dikontrak berkali-kali asalkan totalnya tidak lebih dari lima tahun. Apakah ini akan terjadi? Ya, pasti! Toh dalam praktiknya selama ini, hal demikianlah yang sering terjadi.

Saya sedih banyak guru yang dipekerjakan secara kontrak oleh lembaga pendidikan. Menurut saya, itu penyelundupan hukum. Profesi guru tidak boleh dipekerjakan secara kontrak. Guru adalah jenis pekerjaan tetap, yang tidak bisa diprediksi kapan selesainya. Kalau ada pembaca di sini yang berprofesi sebagai guru, dan dipekerjakan secara kontrak, jangan sungkan melawan. Gugat. Secara hukum anda dilindungi, dan secara hukum pula perjanjian kerja anda berubah menjadi pekerja tetap. Saya pernah mengulas ini dalam tulisan yang dimuat dalam blog pribadi: parleso.com.

Berdasarkan UU Ciptaker, perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah. Namun, apabila terjadi pengalihan perusahaan, hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru. Dalam hal pengusaha orang perseorangan meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/ buruh.

Kedua, hak pekerja kontrak yang di-PHK. Pekerja kontrak berhak mendapatkan uang kompensasi apabila terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). Uang kompensasi tersebut diberikan kepada pekerja/buruh sesuai dengan masa kerja pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan. Masa kerja Pekerja/Buruh dalam hal perpanjangan jangka waktu kontrak, tetap dihitung sejak terjadinya kontrak pertama.

Salah satu pihak yang mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam kontrak, wajib membayar ganti rugi sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. Dalam hal pekerja kontrak meninggal dunia, ahli warisnya berhak mendapatkan hak-hak dari pewaris (pekerja kontrak).

Bagaimana ketentuan pengupahan pasca UU Cipta Kerja? Apakah UMR/Upah Minimum Sektoral masih berlaku? Masih bolehkah perusahaan melakukan penangguhan upah?

Pertama, UU Ciptaker pada dasarnya masih memberlakukan sistem pengupahan berdasarkan UMR, tetapi menghapus ketentuan Upah Minimum Sektoral. Gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi. Pemerintah kabupaten dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan memperhatikan pertumbuhan ekonomi daerah atau inflasi pada kabupaten/kota yang bersangkutan. Upah minimum kabupaten/kota harus lebih tinggi dari upah minimum provinsi. Selain itu, pembayaran upah minimum hanya berlaku bagi pekerja/ buruh dengan masa kerja kurang dari satu tahun pada perusahaan yang bersangkutan. Artinya, apabila masa kerjanya sudah lebih dari satu tahun, maka upah pekerja harus lebih besar dari upah minimum. Upah minimum tidak berlaku bagi Usaha Mikro dan Kecil (UMK).  Upah pada UMK ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh di perusahaan.

Upah pekerjaan ditetapkan berdasarkan satuan waktu dan/atau satuan hasil. Pada sistem pengupahan berdasarkan satuan waktu, upah dihitung  berdasarkan jam, hari atau bulan. Namun demikian, penetapan upah per jam hanya dapat diperuntukan bagi pekerja/buruh yang bekerja secara paruh waktu.

Kedua, pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/ serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal upah yang telah disepakati lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum dan pengaturan pengupahan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.

Bagaimana ketentuan PHK pasca UU Cipta Kerja? Benarkah setiap pekerja berhak atas uang pesangon, dan/atau UPMK, dan UPH terlepas apa alasan mereka di-PHK?

Dalam UU Ketenagakerjaan, apabila PHK tidak dapat dihidari maka maksud PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh. Namun pasca lahirnya UU Ciptaker, jika PHK tidak dapat dihindari, maka maksud dan alasan PHK cukup diberitahukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh. Dalam hal pekerja/buruh telah diberitahu dan menolak PHK, penyelesaian PHK wajib dilakukan melalui perundingan bipartit. Apabila perundingan bipartit tidak mendapatkan kesepakatan, PHK dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

PHK hanya dapat dilakukan dengan alasan: kesatu, perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh. Kedua, perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan penutupan perusahaan atau tidak diikuti dengan penutupan perusahaan yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian. Ketiga, perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun.

Keempat, perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeur). Kelima, perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang. Keenam, perusahaan pailit. Ketujuh, adanya permohonan pemutusan hubungan kerja yang diajukan oleh pekerja/buruh dengan alasan pengusaha melakukan perbuatan: (a) kekerasan fisik dan mental; (b) mengancam; (c) pelecehan; (d) tidak membayar upah tepat waktu selama tiga bulan berturut-turut atau lebih; (e) tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh; (f) memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau (g) memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.

Kedelapan, PHK dilakukan karena adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Kesembilan, pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri. Kesepuluh, pekerja/buruh mangkir selama lima hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha dua kali secara patut dan tertulis. Kesebelas, pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Syarat lain PHK adalah pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama enam bulan akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana. Pekerja/ buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan; pekerja/buruh memasuki usia pensiun; atau pekerja/buruh meninggal dunia. Selain itu, dapat ditetapkan alasan pemutusan hubungan kerja lainnya dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Dalam hal terjadi PHK, Pekerja/Buruh tetap berhak mendapat pesangon dan/atau UPMK, dan uang pengganti hak (UPH). Besarannya tetap sama seperti yang diatur dalam Pasal 156 UU Ketenagakerjaan. Namun, dalam UU Ciptaker ini diubah sedikit mengenai UPH, yaitu dalam UU Ciptaker Pekerja/Buruh yang memenuhi syarat, tidak terdapat komponen penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun