Akhirnya kita sampai juga di penghujung Tahun 2020. Tahun yang sangat berat dan penuh gejolak. Hantaman pandemic covid-19 memporak-porandakan perekonomian dunia. Bersyukur bahwa Indonesia masih bisa bertahan dan berdiri kokoh hingga akhir tahun ini. Semoga tahun depan semakin membaik, semua warga menikmati vaksin, dan semua orang yang sakit karena terpapar corona segera pulih. Semoga ekonomi dua pun semakin membaik.
Kita semua tahu, di tengah gejolak pandemi, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tetap saja bekerja memproduk aturan. Regulasi yang masih hangat hingga kini adalah undang-undang sapu jagat (omnibus law). Presiden dan DPR memaksa mengesahkan aturan tersebut walau mendapat banyak cercaan dari masyarakat. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tersebut menghapus dan/atau mengubah dan menggabungkan beberapa undang-undang yang berlaku satu undang-undang.
Pasal-pasal kontroversial bermunculan, termasuk isu lingkungan hidup. Menurut masyarakat dan para aktivis yang selama ini peduli dengan masalah lingkungan hidup, UU Ciptaker tidak ramah lingkungan dan tidak menjamin kelestarian alam.Â
UU Cipta Kerja menghapus, mengubah, dan menetapkan aturan baru terkait perizinan berusaha yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Salah satu isu yang menjadi sorotan adalah mengenai ketentuan analisis mengenai dampak lingkungan hidup (amdal).
Beberapa hari belakangan ini, saya mencoba membaca dan mendalami ketentuan mengenai pengaturan tentang analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dalam UU Ciptaker dan UU PPLH. Saya mau membaginya kepada para pembaca blog ini. Hasil bacaan saya, terdapat sekitar 4 (empat) isu terkait ketentuan Amdal yang diubah:
Pertama, mengenai kegunaan amdal. Dalam UU Ciptaker, amdal dijadikan sebagai dasar uji kelayakan lingkungan dalam penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Uji kelayakan lingkungan dilakukan oleh sebuah tim yang dibentuk oleh lembaga uji kelayakan lingkungan hidup pemerintah pusat. Tim tersebut terdiri atas usur pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan ahli bersertifikat.Â
Ouput dari uji kelayakan tersebut berupa keputusan, yang mana keputusan tersebut digunakan sebagai persyaratan penerbitan perizinan Berusaha. Hal ini berbeda dengan ketentuan yang sebelumnya diatur dalam UU PPLH, yakni: amdal merupakan dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.Â
Namun, sebelum amdal dijadikan dasar penetapan, dokumen amdal sebagaimana diatur dalam UU PPLH terlebih dahulu dinilai oleh Komisi Penilai Amdal yang dibentuk menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai kewenangan. Jika tidak ada rekomendasi amdal, maka izin lingkungan tak akan terbit.
Kedua, UU Ciptaker mengubah ketentuan Pasal 25 huruf c tentang berkas yang harus ada dalam dokumen amdal. Salah satu syarat dokumen yang diubah yaitu mengenai saran masukan serta tanggapan dari masyarakat.Â
Dalam UU PPLH Â diatur bahwa dokemen amdal salah satunya harus memuat saran masukan serta tanggapan masyarakat terkena dampak langsung yang relevan teradap rencana usaha/kegiatan, sedangkan dalam UU Ciptaker, saran masukan serta tangapan dari masyarakat (tidak harus masyarakat yang terkena dampak langsung).
Ketiga, dalam proses penyusunan amdal, baik UU Ciptaker maupun UU PPLH sama-sama mengatur mengenai keterlibatan masyarakat. Namun, ketentuan dalam UU Ciptaker mempersempit definisi masyarakat.Â