Mohon tunggu...
Alfaza Fara
Alfaza Fara Mohon Tunggu... -

just simple

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Beruang Cokelat

4 Januari 2018   00:02 Diperbarui: 4 Januari 2018   01:08 825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Boneka itu terlihat berbeda dibanding bonekaku yang lain. Di antara banyak boneka berbulu, hanya dia yang bertubuh licin mengkilap. Warnanya cokelat, dengan mata besar dan bibir merah melengkung ke atas. Bentuknya? Hm... aku tidak tahu pasti. Tapi, aku menduga dia adalah beruang.

Aku tak tahu pasti sejak kapan dia ada bersamaku. Namun, satu hal yang aku ingat, dia adalah pendahulu dari semua boneka yang aku punya. Saat aku mulai menyadari dunia, aku selalu melihatnya di atas tempat tidurku, persis di sebelahku. Dia tak pernah absen bermain bersamaku, menemaniku melalui usia keemasan, juga membersamaiku mengenal huruf dan angka untuk pertama kalinya.

Lalu, satu persatu boneka cantik lainnya berdatangan. Mami membelikanku boneka berbentuk bayi, berbaju dan bertopi merah, sebagai hadiah ulang tahunku yang keempat. Boneka lucu dan imut, yang kemudian aku beri nama Manda. Beruang itu, ya, beruang yang tak aku berikan nama, mendapat teman. Tugasnya tak lagi sesulit dulu. Dia tak harus menemaniku belajar membaca dan berhitung lagi. Ada Manda yang menggantikannya.

Mami memang senang membelikanku boneka. Pernah, kami pergi berdua ke Blok M, naik bis, hanya untuk membeli boneka kanguru. Aku, yang saat itu belum duduk di sekolah dasar, senang-senang saja. Pergi jalan-jalan dan membeli boneka, bukankah itu suatu hal yang menyenangkan untuk anak kecil? Aku ingat, dalam perjalanan pulang dari Blok M, aku terus memeluk boneka kanguru itu.

Koleksi bonekaku bertambah terus. Ada Nia si Kukang, Prilly si Landak, Nayla si Snoopy, Micha si Kuda Laut, dan masih banyak lagi. Ada juga boneka Hello Kitty besar yang diberikan om sebagai hadiah ulang tahunku. Juga ada satu boneka plastik besar yang bisa berjalan dan bernyanyi, yang diberikan orang tuaku sebagai hadiah atas nilai-nilaiku di kelas satu SD.

Ke mana si Beruang? Ada. Tapi, aku tak lagi melihatnya. Dia duduk manis di rak boneka, menunggu aku mengambil dan memainkannya. Dia menunggu aku mengajaknya ikut serta bermain bersama boneka cantik lainnya. Sayang, tanganku tak pernah terjulur padanya. Kesetiaannya menanti ajakanku bermain tak pernah membuahkan hasil.

Lalu hari itu aku mengambilnya, memeluknya sebentar sambil menatap bibirnya yang membentuk senyuman. Apa dia gembira? Apa dia mengira aku akan mengajaknya bermain dengan boneka-boneka cantikku yang lain? Hari itu dia berpindah tangan. Aku berikan dia pada sepupuku yang tinggal di sebelah rumah. Dia tidak punya boneka. Lalu, aku memilihkan si Beruang untuk dia adopsi, daripada dia memilih boneka-boneka cantikku.

Aku tak pernah menjenguk si Beruang. Sepupuku pun tak pernah mengajaknya bermain di rumahku. Seiring usiaku bertambah, boneka-bonekaku lebih sering berdiam diri di rak, karena aku sibuk dengan kegiatan di sekolah baruku yang berasrama. Aku bahkan nyaris melupakan kalau aku pernah punya si Beruang, jika saja aku tak melihatnya di halaman rumahku.

Ya, dia ada di halaman rumahku, tergeletak di atas tanah dengan kondisi yang tidak menyenangkan: matanya lepas sebelah, bibirnya memble, dan tangannya lepas. Saat itu, aku sedang duduk di teras rumah bersama orang tuaku, menikmati hari libur. Aku lihat ayah sepupuku mengambilnya, meletakkannya di antara sampah-sampah, lalu membakar semuanya.

"Itu bukannya boneka kamu?" tanya Mami, waktu itu.

"Iya," jawabku, datar.

"Kok bisa sama Putri?" 

"Waktu itu dia minta boneka, jadi aku kasih aja."

Lalu, aku melihat si Beruang perlahan-lahan terbakar. Satu persatu bagian tubuhnya dijilat api, kemudian lebur. Hingga dia habis bersama sampah-sampah lainnya dan hanya menyisakan debu hitam. 

Tahun berlalu dan aku telah berganti status menjadi mahasiswa. Hobiku mengoleksi boneka tak kunjung sirna. Bedanya, kini aku membeli boneka itu dengan uang jajan atau dengan uang hasil bekerja paruh waktu menjaga stand pameran.

Hari itu, aku menimang Aldhy, si Polar Bear. Dia baru saja aku miliki hasil menebus dari SPG Door to Door. Aku jatuh cinta padanya sejak pertama melihat. Saat Mbak SPG menawarkan, tak ada negosiasi harga, tak ada penawaran dua kali. Aku langsung mengeluarkan uang dan membayarnya, cash. 

Sambil memakaikan baju bayi pada Aldhy yang berwarna putih, Mami mengajakku bercerita. Kali ini tentang boneka-boneka yang aku miliki beserta sejarahnya. Berkali-kali kami tertawa saat kembali mengingat perjuangan mendapatkan boneka-boneka itu. Dan tawaku terhenti saat Mami bercerita tentang si Beruang.

"Mami dapet polanya dari majalah," kata Mami.

"Bikin?" tanyaku, nyaris tak percaya.

"Iya, bikinnya susah."

Seketika itu juga aku kelu. Apa yang bisa aku katakan lagi saat aku tahu Mami susah payah membuat boneka itu tapi aku malah memberikannya pada sepupu dan berakhir di tempat pembakaran sampah? Pantas saja si Beruang sudah ada sejak aku menyadari dunia ini. Dia ada lebih dulu dibanding aku. Dia ada untuk merayakan kelahiranku.

Sampai sekarang, sesalku masih tak terhingga tiap kali mengingat si Beruang. Berapapun banyak dan bagusnya bonekaku, tak ada yang sanggup menggantikan dia, dia yang sudah aku sia-siakan karena bentuknya yang berbeda. Si Beruang memang hanya boneka biasa, tapi di baliknya ada cerita luar biasa. Entah harus seperti apa lagi aku menghilangkan sesak yang menggunung ini, dan tak pernah bisa larut. 

Aku hanya mencoba menuliskan ini. Sebagai kenanganku pada si Beruang, juga ungkapan terima kasih dan maafku pada Mami. Si Beruang, mengajarkanku banyak arti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun