Kesadaran yang kurang. Itulah akar permasalahan carut marut ketidak efektifan kebijakan subsidi dan non subsidi. Memaknai bunyi pepatah, guru kencing berdiri murid kencing berjalan. Baik tidaknya sebuah pembelajaran, bergantung pada ada tidaknya sebuah keteladanan.
Bila pemerintah memang bermaksud secara serius mengadakan segmen marketing, antara subsidi dan non subsidi, entah itu BBM atau ELPIJI, sudah barang tentu, pemerintah, sebagai pemangku kebijakan, harus mampu menampilkan dirinya dalam sosok ideal terlebih dahulu.
Semisal, dalam soal BBM non subsidi, dibuat sebuah peraturan, bahwa setiap kendaraan pemerintah, berplat merah wajib menggunakan BBM non subsidi. Dalam soal ELPIJI non subsidi pun sama, para pejabatlah, yang semestinya meneladankan lebih dulu penggunaan ELPIJI non subsidi dulu. Jangan sampai, bahwa ELPIJI di rumah pembuat kebijakan, ternyata berlabel subsidi.
Sebagai catatan akhir. Pertama, bisa jadi memang, harga ELPIJI di Indonesia disebut sebagai yang termurah di banding beberapa negara lainnya. Namun pertanyannya, lebih tinggikah, samakah, atau malah sama, nilai UMR kita juga jadi yang termurah dibanding negara lainnya. Sebuah pertanyaan yang perlu dijawab.
Kedua, Pertamina sebagai bagian dari BUMN. Badan Usaha Milik Negara. Lantas, apakah salah, bila sebuah perusahaan negara menderita kerugian, toh bila kerugian itu terjadi untuk menyejahterakan rakyatnya. Apakah memang, sebuah BUMN harus selalu mendulang laba berlimpah dalam usahanya. Memang sah-sah saja, sebuah perusahaan milik negara menuai untung, asalkan, selama tak mengorbankan hak kehidupan layak warga negaranya.
Gambar : Materi Elpji Pertamina
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H