Sama halnya dengan BBM, ELPIJI, gas produk sampingan dari kilang bumi dan BBM itu, miliki dua wajah, pertama subsidi, kedua non subsidi. Maksud hati, peruntukan ELPIJI subsidi, non subsidi ini telah teramat jelas. Sayangnya, dalam tataran lapangan, peruntukan ini masih jauh dari kata berhasil seratus persen.
Seperti diketahui, ELPIJI subsidi diperuntukkan bagi UKM dan rumah tangga ekonomi kebawah, sedang ELPIJI non subsidi disediakan bagi perusahaan, restoran, hotel, serta kelompok ekonomi menengah keatas. Sayangnya, dan ini faktanya, masih ada saja orang yang secara ekonomi sejatinya "wah", tapi ikut nimbrung memakai ELPIJI bersubsidi.
Tujuh puluh sembilan persen, dari total pemakaian ELPIJI kita, saat ini, masih didominasi pemakaian ELPIJI subsidi. Â Terang. Bahwa motif kebanyakan orang memilih ELPIJI subsidi adalah sebab murahnya. Sama halnya seperti BBM subsidi. Harga ELPIJI non subsidi masih dianggap terlalu tinggi alias kemahalan.
Barangkali, benar adanya, harga ELPIJI non subsidi memang tinggi, ini menurut masyarakat ekonomi kebawah. Tap tentu tak benar, bila ELPIJI non subsidi dikatakan mahal bagi golongan ekonomi menengah keatas.
Sejenak, mari coba tengok harga ELPIJI dibeberapa kawasan dunia. Fakta mengatakan, ternyata, harga ELPIJI non subsidi kita, menduduki harga termurah diantara beberapa negara lainnya. Dalam hitungan perkilonya, harga ELPIJI kita berkisar diantara Rp 7700 hingga 14.300. Bandingkan dengan harga ELPIJI di negara lain yang lebih tinggi, sebut saja harga ELPIJI perkilo di India Rp 12.600, China Rp 17.000 hingga 21.000, Korea diatas 17.000, Jepang Rp 20.000 dan bahkan philiphina Rp 24.000.
Saatnya Naik
Harga ELPIJI kita masih yang termurah dibanding negara lainnya, hal inilah  yang membuat Pertamina merugi banyak tiap tahun. Tercatat, nilai kerugian Pertamina sebanyak Rp 17 Trilyun, dalam kurun 2009 - 2013. Angka kerugian ini bahkan, diprediksi bisa terus naik di tahun akan datang.
Darisinilah, atas temuan BPK, Pertamina mendapat rekomendasi untuk menaikkan harga ELPIJI non subsidi khususnya ELPIJI 12 Kg secara berkala. Sudah saatnya elpiji 12 kg harganya naik.
ELPIJI Bapak Presiden
Hampir sama rumitnya dengan persoalan BBM, meski, secara rekomendasi, target marketing dari BBM subsidi dan non subsidi amat jelas. Faktnya, cuma segelintir pemilik kendaraan pribadi yang dengan sadar, memilih BBM non subsidi sebagai pengisi bahan bakar kendaraannya. "Kalau ada yang murah, ngapain pilih yang mahal" begitu logika yang berkembang di benak umumnya pemilik kendaraan.
ELPIJI non subsidi. Banyak orang, meski secara finansial, berada di level rata-rata keatas, dengan dalih sama, "kalau ada yang murah", acap kali juga memilih enggan memakai ELPIJI non subsidi. Mereka lebih suka menggunakan ELPIJI subsidi, lantaran lebih murah.
Kesadaran yang kurang. Itulah akar permasalahan carut marut ketidak efektifan kebijakan subsidi dan non subsidi. Memaknai bunyi pepatah, guru kencing berdiri murid kencing berjalan. Baik tidaknya sebuah pembelajaran, bergantung pada ada tidaknya sebuah keteladanan.
Bila pemerintah memang bermaksud secara serius mengadakan segmen marketing, antara subsidi dan non subsidi, entah itu BBM atau ELPIJI, sudah barang tentu, pemerintah, sebagai pemangku kebijakan, harus mampu menampilkan dirinya dalam sosok ideal terlebih dahulu.
Semisal, dalam soal BBM non subsidi, dibuat sebuah peraturan, bahwa setiap kendaraan pemerintah, berplat merah wajib menggunakan BBM non subsidi. Dalam soal ELPIJI non subsidi pun sama, para pejabatlah, yang semestinya meneladankan lebih dulu penggunaan ELPIJI non subsidi dulu. Jangan sampai, bahwa ELPIJI di rumah pembuat kebijakan, ternyata berlabel subsidi.
Sebagai catatan akhir. Pertama, bisa jadi memang, harga ELPIJI di Indonesia disebut sebagai yang termurah di banding beberapa negara lainnya. Namun pertanyannya, lebih tinggikah, samakah, atau malah sama, nilai UMR kita juga jadi yang termurah dibanding negara lainnya. Sebuah pertanyaan yang perlu dijawab.
Kedua, Pertamina sebagai bagian dari BUMN. Badan Usaha Milik Negara. Lantas, apakah salah, bila sebuah perusahaan negara menderita kerugian, toh bila kerugian itu terjadi untuk menyejahterakan rakyatnya. Apakah memang, sebuah BUMN harus selalu mendulang laba berlimpah dalam usahanya. Memang sah-sah saja, sebuah perusahaan milik negara menuai untung, asalkan, selama tak mengorbankan hak kehidupan layak warga negaranya.
Gambar : Materi Elpji Pertamina
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI