Mohon tunggu...
Alex Jepat
Alex Jepat Mohon Tunggu... -

Orang kampung yang suka membaca, terutama buku-buku pendidikan. Cukup aktif menulis dengan tujuan komersial. Sekarang menjadi Ketua Badan Pengelola Pendidikan (BPP), yang bertugas sebagai supervisor pendidikan di 2 (dua) Lembaga Pendidikan (MI dan MTs) yang berada di bawah naungan Yayasan Kesejahteraan dan Pendidikan Islam Pondowan Tayu Pati.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mencetak Guru Profesional

13 Desember 2011   16:43 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:21 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

MENCETAK GURU PROFESIONAL

Langkah Awal Memperbaiki Kualitas Pendidikan

A.Pendahuluan

Seiring perkembangan zaman, pendidikan dituntut mampu mengimbangi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Peserta didik sebagai subjek dan objek pendidikan harus dikembangkan agar mampu menggunakan seluruh potensinya untuk mempersiapkan diri menghadapi semua tantangan tersebut. Pengembangan peserta didik dimulai dari penggalian potensi-potensi dasar, yang diarahkan untuk memahami dan menghayati serta mengamalkan pengetahuan, konsep dan fakta dalam kehidupannya, sehingga pendidikan tidak lagi diarahkan untuk menciptakan peserta didik yang hanya memiliki perbendaharaan pengetahuan, akan tetapi peserta didik mampu mempergunakan potensi dirinya untuk terus belajar.

Sebagai wahana untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, tentunya keberhasilan pendidikan merupakan keniscayaan. Keberhasilannya akan mendukung keberhasilan pembangunan, yaitu pembangunan yang mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk aspek sosial, ekonomi, politik dan kultur budaya dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara keseluruhan melalui pendidikan nasional.

Berbagai kenyataan lemahnya mutu pendidikan di sekolah dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satunya adalah kualitas guru yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari proses pendidikan. Hal ini karena guru sebagai pendidik, merupakan unsur utama dalam pembelajaran. Hal ini disebabkan oleh tugas dan fungsi guru yang merupakan kegiatan inti pelaksanaan manajemen pendidikan.

Proses pembelajaran yang dilakukan guru menjadi aspek terpenting dalam pelaksanaan manajemen pendidikan, karena hasil yang dicapai dari proses pembelajaran tersebut akan menjadi patokan bagi keberhasilan pendidikan, yang dilihat dari outcame yang dihasilkan. Secara umum, outcame yang dihasilkan lembaga pendidikan lebih banyak dihubungkan dengan kualitas pembelajaran yang dilakukan guru.

B.Upaya Pemerintah dalam Meningkatkan Profesionalitas Guru

Salah satu upaya yang telah dilakukan pemerintah adalah program sertifikasi, baik guru dalam jabatan maupun para calon guru. Namun, selama ini upaya pemerintah lebih banyak dikonsentrasikan dalam program sertifikasi guru dalam jabatan. Sedang sertifikasi calon guru diserahkan kepada Perguruan Tinggi penyelenggara Fakultas Pendidikan. Hal ini mengingat keadaan yang sudah sangat mendesak. Mereka yang selama ini menjadi guru harus segera di-profesional-kan agar permasalahan pendidikan yang terkait dengan guru segera bisa teratasi.

Setelah Undang-Undang Guru dan Dosen ditetapkan, ada angin segar bagi masyarakat karena adanya program sertifikasi guru yang merupakan upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan melalui peningkatan profesionalitas pendidik. Dalam program tersebut, setiap guru dalam jabatan harus memenuhi berbagai kompetensi professional guru agar bisa mendapatkan sertifikat sebagai seorang guru. Upaya yang dilakukan adalah melakukan penilaian terhadap semua guru dalam jabatan melalui program sertifikasi guru.

Menurut pemahaman penulis sebagai orang awam, dalam program sertifikasi guru akan dilakukan 3 hal terkait dengan profesionalitas guru dalam jabatan. Pertama, memberikan sertifikat kepada guru-guru profesional, kedua, memberikan pendidikan dan pelatihan bagi guru yang masih belum mencapai kualitas professional, dan ketiga mengantorkan guru (memutasi guru sebagai pegawai kantor, bukan pendidik) seiring dengan tersedianya guru-guru baru professional yang telah disiapkan oleh perguruan-perguruan tinggi penyelenggara Fakultas Pendidikan.

Realitas di lapangan menunjukkan, hampir 100% hanya opsi kedua yang dilakukan. Hal ini karena ternyata sebagian guru dalam jabatan masih jauh dari profesionalitas yang diharapkan. Karena itu, mereka harus dididik dan dilatih dalam sebuah kegiatan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) yang sangat menyedot anggaran pendidikan. Belum lagi, tunjangan yang didapat setelah mereka lulus PLPG dan mendapatkan sertifikat.

Barapapun biaya yang dikeluarkan dari APBN tidak ada masalah sejauh diimbangi dengan kinerja yang benar-benar baik. Hal ini tidak berarti semua guru yang telah mendapatkan sertifikat tidak mempunyai kinerja yang baik. Kalau kita melihat kenyataan di lapangan, mereka yang lulus PLPG memang bertambah pengetahuannya, tetapi tetap saja sebagian besar dari mereka tidak mau (mampu tetapi tidak mau) melaksanakan peran dan fungsinya sebagai guru profesioanl yang dibiayai oleh Negara.

Menurut pengamatan penulis, hal ini terkait dengan minat dan bakat mereka masing-masing. Kalu kita menengok jauh ke belakang, hal ini sangat mungkin terjadi, mengingat penerimaan PNS guru selalu didominasi oleh orang-orang yang berduit dan hanya berminat mendapatkan pekerjaan dan status sosial. Mereka sebenarnya tidak punya minat dan bakat menjadi guru. Namun, karena mudahnya mendapatkan pekerjaan guru (kuota PNS guru paling besar dibanding yang lain), mereka “dengan terpaksa” mendaftarkan diri menjadi guru untuk mendapatkan jaminan masa tua (pensiun).

Kenapa mereka bisa lolos setifikasi? Menurut pengamatan dan wawancara penulis terhadap guru-guru yang telah lulus, standar kelulusan hanya diukur dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat administratif belaka. Asal bisa membuat dan menunjukkan portofolio serta mempunyai sertifikat-sertifikat seminar, cukup untuk dijadikan modal lulus dalam program sertifikasi guru. Sayangnya, selama ini, belum pernah ada evaluasi konperehensif terhadap kinerja guru yang telah mendapatkan sertifikat dan dana tunjangan profesional dari APBN. Pemerintah hanya mengandalkan laporan kinerja dari atasan langsung guru, yang sebagian besar terjadi manipulasi laporan. Mestinya, program yang sangat menyedot anggaran ini dievaluasi secara faktual. Apabila hal ini terus berlanjut, 20% anggaran Negara yang dialokasikan di sektor pendidikan tidak akan efekftif meningkatkan mutu pendidikan nasional. Sekali lagi, semua ini terjadi karena sebagian guru dalam jabatan bukan orang yang mempunyai minat dan bakat. Mereka hanya menginginkan pekerjaan dan status sosial.

Terkait dengan ketersediaan guru yang bekerja berdasarkan minat dan bakat, penulis mempunyai usulan dalam paparan mencetak guru professional berikut ini.

C.Mencetak Guru Profesional

Penulis menggunakan istilah mencetak karena ingin mengkonsentrasikan mencetak calon-calon guru profesional sejak mereka duduk di Fakultas Pendidikan. Hal ini bukan berarti menafikan peningkatan profesionalias guru dalam jabatan. Ini penting, tetapi jangan terlalu dipaksakan. Karena hal ini bisa menimbulkan konsekuensi anggaran yang tidak sedikit dan tindakan-tindakan nepotis.

Konsekuensi anggaran jelas. Biaya penyelenggaraan program dan biaya tunjangan professional sangat menyedot anggaran pemerintah. Padahal, sebagian besar mereka bukanlah para pendidik yang mempunyai minat dan bakat. Mustahil akan bisa memperbaiki kinerjanya sebagai guru.

Sedangkan tindakan nepotis, bisa terjadi karena sangat dimungkinkan adanya upaya-upaya tertentu agar segera dapat jatah program sertifikasi yang dipastikan bakal lulus. Kecuali itu, karena adanya tunjangan profesional, setiap orang tua ingin menyekolah anaknya di Fakultas Pendidikan agar cepat mendapat pekerjaan. Si anak juga berpikir, mengapa harus repot kuliah di Fakultas yang mahal, Fakultas Pendidikan lebih menjanjikan segera mendapatkan pekerjaan. Tidak peduli punya bakat atau tidak. Hal yang demikian ini tentunya akan sangat fatal bagi mutu pendidikan nasional.

Berdasarkan kajian di atas, penulis melihat, upaya mencetak guru profesional akan lebih efektif apabila dilakukan sejak para calon guru duduk di bangku kuliah. Tentunya, hal pertama yang harus dilakukan adalah menghindari peminat yang tidak berbakat. Mereka harus benar-benar orang yang mempunyai bakat dan kepribadian sebagai guru, yang menurut orang jawa adalah orang yang digugu dan ditiru (menjadi panutan bagi peserta didik).

Karena itu, Fakultas ini harus diprioritaskan pengelolaannya semacam STAN (Sekolah Tinggi Administrasi Negara). Bahkan harus lebih ketat, mengingat yang akan dikelola para calon guru ini adalah manusia yang berhati nurani. Hal ini lebih sulit dibandingkan obyek yang bakal dikelola mahasiswa lulusan STAN yang sebagian besar berupa benda mati. Para guru harus mempunyai bakat dan kepribadian guru, mengingat kompetensi yang harus dimiliki bukan hanya kompetensi professional belaka, melainkan ada kompetensi pedagogik, kepribadian dan sosial.

Penulis berandai, Fakultas Pendidikan menjadi fakultas yang dibiayai Negara 100%. Dengan demikian, pembelajaran di dalamnya juga bisa diperketat agar mereka bertanggungjawab dalam menerima beasiswa dari Negara. Konsekuensinya, rekrutmen calon mahasiswa juga harus diperketat. Tidak semua siswa lulusan SLTA dapat menduduki kursi empuk di Fakultas Pendidikan.

Untuk mengatasi masalah kebutuhan guru profesional yang tinggi, pemerintah melalui Dinas Pendidikan sebaiknya melakukan penjaringan minat dan bakat sejak mereka masih duduk di SLTA. Dengan penjaringan minat danbakat semacam ini, tentu akan timbul reaksi langsung dari teman sekelas apabila ada siswa yang sebenarnya tidak pantas menjadi guru bisa ikut terjaring sebagai calon mahasiswa Fakultas Keguruan. Karena itu, ruang evaluasi dan kontrol terhadap penjaringan ini juga harus dibuka lebar bagi siswa sekelasnya.

Yang terakhir, ada terobosan besar yang akan terjadi apabila program sertifikasi lebih dikonsentrasikan pada calon-calon guru. Yaitu, pemerintah tidak perlu lagi mengadakan pendaftaran CPNS guru. Setiap warga Negara ini tahu, bahwa setiap pendaftaran CPNS selalu dipenuhi dengan kolusi dan nepotisme. Yang paling fatal adalah kolusi dan nepotisme tersebut memberikan kesempatan kepada orang-orang yang tidak mempunyai bakat dan kepribadian guru.

Setelah menjadi guru, mereka juga berupaya bagaimana mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Sekolah yang dulunya cukup dibiayai (SPP) dengan Rp. 10.000,00, masih merasa kurang walaupun telah mendapatkan BOS sebesar Rp.. 27.000,00 sehingga masih perlu bantuan biaya pendidikan dari orang tua siswa. Alokasi waktu per mata pelajaran yang telah direkomendasikan para Profesor dan Doktor ahli pendidikan, juga dirasa masih kurang hanya karena ingin mendapatkan keuntungan dengan menambah pelajaran di luar jam pelajaran dengan biaya tersendiri. Mereka berkata, jangan salahkan guru dan sekolah apabila anak-anak Bapak tidak lulus karana tidak mau mengikuti les (pelajaran tambahan). Dengan ini, mungkin benar siswa akan menjadi pandai dan pinter mengerjakan soal-soal ujian, tetapi mereka tidak mempunyai kepribadian dan akhlak.

Mereka jadi pemaksa kehendak, karena gurunya juga sering memaksakan kehendak. Mereka jadi pembentak, karena gurunya juga sering membentak. Mereka juga ingin selalu mencari keuntungan pribadi, karena hal itulah yang dilihat dari guru-guru mereka selama ini. Dengan demikian, siapa yang bertanggungjawab atas terpuruknya mutu pendidikan nasional, terutama yang terkait dengan akhlak, moral dan kepripadian siswa ?

Mungkin, kolusi dan nepotisme dalam rekrutmen PNS non guru tidak begitu menimbulkan masalah mengingat obyek kelolanya adalah benda mati. Tetapi, untuk PNS guru, hal ini akan menjadikan fatal mengingat obyek kelolanya adalah manusia hidup yang mempunyai hati, akal dan pikiran.

Apabila siswa-siswa di Indonesia ini diajar oleh guru-guru yang tidak professional, tidak berkepribadian, tidak paham tentang psikologi, tidak mempunyai budi pekerti mulia, dan tidak paham bagiamana memotivasi siswa, tentu Negara ini akan menjadi Negara para bedebah. Yang tahunya hanya bagaimana mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompok. Sebab, para pendidik dan tenaga kependidikan sekarang ini, yang diharapkan dapat memperbaiki moralitas bangsa, sudah tersusupi oleh oknum-oknum tidak bermoral dan hanya tahu mencari keuntungan pribadi. Seperti yang, mungkin, kita alami sekarang ini.

D.Penutup

Ini adalah igauan rakyat kecil yang prihatin terhadap pendidikan nasional. Tidak ada yang bisa dilakukan kecuali hanya mengigau. Karena itu, layaknya igauan orang tidur, igauan ini juga (mungkin) ngawur. Paling tidak, igauan ini sudah dapat dibaca orang lain. Syukur, bisa berguna dan bermanfaat bagi kita. Amin.

Tayu, 24 Agustus 2010.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun