Mohon tunggu...
Alfath Fathir
Alfath Fathir Mohon Tunggu... -

Bachelor of Law who concern about law enforcement & stand up to actualize the equality before the law and justice for all.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Lanjutkan Reklamasi Pulau G, Luhut Dinilai Telah Melecehkan Produk Yudikatif

19 September 2016   15:29 Diperbarui: 19 September 2016   16:21 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena "politik kroni" telah secara nyata diperlihatkan oleh Presiden Jokowi dengan melakukan kebijakan reshuffle kabinet beberapa waktu lalu. Betapa tidak, pergantian posisi menteri yang sejatinya dilakukan berdasarkan evaluasi kinerja secara periodik tidak berlaku baginya, pergantian terhadap posisi Menteri Koordinator Kemaritiman yang sebelumnya dijabat oleh Rizal Ramli selama kurang lebih 6 (enam) bulan dapat disimpulkan tidak lagi dilakukan berdasarkan penilaian dari aspek kinerja & kontribusi. 

Hal tersebut dapat terlihat dari pencopotan Rizal Ramli dari kursi Menko Kemaritiman dilakukan hanya beberapa saat sejak sang menteri mengumumkan bahwa proses reklamasi Pulau G di pesisir Pantai Utara Jakarta akan dihentikan, dikarenakan terdapat pelanggaran berat dalam pelaksanaannya.

Sebenarnya, kebijakan tersebut beserta alasannya tidak dilakukan dan didasarkan atas kehendak dan asumsi Sang eks-Menteri, akan tetapi Rizal hanya bermaksud untuk menjalankan amanat yang terkandung dalam PutusanPengadilan Tata Usaha Negara Nomor : 193/G/LH/2015/PTUN-JKT  yang mengabulkan gugatan nelayan atas Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Nomor 2.238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta kepada PT Muara Wisesa Samudra. Putusan itu dibacakan Hakim Ketua Adhi Budhi Sulistyo dalam sidang putusan yang digelar di PTUN pada hari Selasa (31/5/2016).

Dalam amar putusannya, Hakim juga memerintahkan agar tergugat menunda pelaksanaan keputusan Gubernur DKI Jakarta sampai berkekuatan hukum tetap. "Memerintahkan tergugat untuk menunda pelaksanaan keputusan Gubernur Daerah Provinsi Ibu Kota DKI Jakarta Nomor 2.238 Tahun 2014 kepada PT Muara Wisesa Samudra tertanggal 23 Desember 2014 sampai putusan ini berkekuatan hukum tetap," ujar Adhi. Dalam pokok perkara, hakim mengabulkan gugatan para penggugat. 

Hakim menyatakan batal atau tidak sah keputusan Gubernur DKI Nomor 2.238 Tahun 2014 tentang pemberian izin pelaksanaan reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra tertanggal 23 Desember 2014. "Mewajibkan tergugat untuk mencabut keputusan Gubernur Daerah Provinsi Ibu kota DKI Jakarta Nomor 2.238 Tahun 2014 tentang pemberian izin pelaksanaan reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra," ujar Adhi. 

Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) sebelumnya telah mendaftarkan gugatan terkait SK Pemberian Izin reklamasi di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada 15 September 2015 lalu. Mereka menggugat Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Nomor 2.238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra.  Salah satu pertimbangan dari Majelis Hakim adalah pemberian izin reklamasi terhadap Objek Gugatan dilakukan tanpa adanya AMDAL, Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup, Izin Lingkungan, sehingga Objek Gugatan telah melanggar ketentuan wajib AMDAL Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup, Izin Lingkungan sebagaimana diwajibkan oleh Pasal 36 ayat (1) dan (2) UU No. 32/2009.

Sayangnya, putusan PTUN yang notabene merupakan produk yudikatif sama sekali tidak diindahkan oleh "Sang Jenderal" aka Luhut Binsar Panjaitan yang merupakan personifikasi dari pemerintah pusat. Padahal, prinsip "Trias Politica" telah secara jelas diakomodasi di dalam UUD 1945, yang bertujuan bahwa NKRI menganut sistem pembagian kekuasaan menjadi Kekuasaan Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif, yang masing-masing memiliki kedudukan  setara dalam penyelenggaraan negara yang berdaulat. PTUN dibentuk atas dasar bahwa keputusan pemerintah / eksekutif tidak boleh dikeluarkan secara sewenang-wenang, dan bagi siapapun yang merasa dirugikan atas terbitnya suatu keputusan TUN, berhak untuk menggugatnya.

Akan tetapi, prosedur beracara yang telah dijalankan oleh rakyat, ironisnya tidak diindahkan oleh pemerintah, bahkan putusannya seakan-akan dilecehkan oleh seorang Menteri yang merupakan pembantu Presiden yang diberikan amanah oleh rakyat sebagai simbol pemerintahan dan kedaulatan negara. 

Oleh karena itu, sudah sepatutnya Luhut dan Jokowi menyadari bahwa tindakan mereka telah menyimpang dari azas-azaz umum pemerintahan yang baik, dan dapat dikategorikan sebagai bentuk pengkhianatan terhadap falsafah negara Indonesia sebagai negara hukum. Dengan tidak menghormati dan menjalankan putusan pengadilan, maka pemerintahan rezim Jokowi semakin kental dengan nuansa politik kroni yang pernah dijalankan oleh pemerintahan rezim Soeharto. 

But at the end, amanah yang telah diberikan oleh rakyat pada saat itu, dapat direbut kembali secara paksa, walaupun Soeharto beserta kroninya telah mengerahkan seluruh alat negara (TNI & Polri), tetap saja "The Power of People" tidak bisa terbendung. Semoga Presiden Jokowi dapat mengambil pelajaran dari sejarah kelam itu. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun