Mohon tunggu...
Alfath Fathir
Alfath Fathir Mohon Tunggu... -

Bachelor of Law who concern about law enforcement & stand up to actualize the equality before the law and justice for all.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Penderitaan Bonus Demografi (1)

7 Januari 2016   16:52 Diperbarui: 7 Januari 2016   16:56 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

"Secara global, populasi muslim banyak terdiri dari anak-anak muda serta menikmati bonus pertumbuhan demografi," kata Reina Lewis, seorang guru besar kajian budaya London College, sekaligus penulis buku Muslim Fashion: Contemporary Style Culture. Keterangan tersebut termuat di dalam artikel harian Republika pada hari ini, yang mengkisahkan bahwa rumah mode ternama asal Milan, Dolce & Gabbana (D&G), telah merilis busana muslim dan koleksi hijab perdananya.

Namun, jika melihat pada kenyataan yang ada, pernyataan Reina Lewis di atas tidaklah tepat. Sulit menggambarkan bagaimana cara untuk menikmati bonus demografi penduduk yang kini tengah membelenggu umat Islam, terutama di negara-negara mayoritas muslim, seperti Timur Tengah termasuk Indonesia.

Justru yang dapat dikatakan sedang menikmati ledakan jumlah populasi tersebut ialah kaum kapitalis atau pemilik modal di seluruh sektor industri yang kita ketahui didominasi oleh Barat dan Amerika Serikat, termasuk industri kendaraan bermotor, elektronik, gadget, tekstil, dan bahkan kebutuhan pangan.

Hal tersebut dapat terlihat dari ketergantungan masyarakat kita terhadap komponen-komponen produk tersebut. Alhasil, keran impor selalu melonjak tiap tahunnya, karena industri dalam negeri belum mampu untuk menghasilkan produk yang membutuhkan pengetahuan teknologi dalam proses pembuatannya.

Akan tetapi, timbul satu pertanyaan, mengapa pemerintah aktif mengimpor komoditas-komoditas pokok, seperti beras, daging, dan "bahkan" untuk bumbu pelengkap seperti garam dan gula. Mungkin sebagian dari kita pernah mendengar keluhan dari para orang-orang tua mengenai hal itu, dan menceritakan kepada kita bahwa dahulu "boro-boro" kita impor beras, malah dulu kita yang ekspor. Begitulah kira-kira gambaran dari ucapan mereka yang seolah sulit menerima kenyataan.

Di sisi lain, kalangan reformis dan nasionalis "menuduh" pemerintah mengizinkan impor komoditas pokok, karena memperoleh imbalan atau "fee" dari setiap kegiatan impor yang dilalukan oleh para pengusaha.

Namun, kita juga harus melihat melalui perspektif yang lebih luas. Alasan pemerintah untuk mencukupi kebutuhan dan menjaga ketahanan pangan patut kita sadari sebagai kondisi yang dilematis. Didukung dengan adanya data yang menerangkan jumlah cadangan beras di Bulog, pemerintah tentu tidak ingin mengambil risiko besar ketika kelak kebutuhan pangan masyarakat tidak dapat terpenuhi karena hasil panen dalam negeri tidak mampu untuk mencukupi permintaan.

Padahal, sebagai negara agraris yang memiliki kekayaan lahan untuk bercocok tanam, tak seharusnya kita melakukan impor pangan. Lalu apa yang salah? Ya, biang keladi permasalahan itu berasal dari bonus demografi atau bahasa non-kiasannya adalah ledakan populasi. Patut diketahui, bahwa lonjakan jumlah penduduk Indonesia telah mencapai 265 juta jiwa. Dampaknya, kebutuhan primer yang meliputi sandang, pangan dan papan pun meningkat tajam. Maka tak heran, saat ini amatlah sulit untuk mencukupi kebutuhan pangan dan perumahan serta menanggulangi masalah pengangguran atau bahkan hanya untuk menyelesaikan masalah kemacetan di kota-kota besar, jika pertumbuhan jumlah penduduk tidak kunjung dikendalikan.

Selain dapat menyebabkan musibah kelaparan dan krisis tempat tinggal, ledakan populasi juga mengakibatkan perebutan wilayah dan kekuasaan, seperti yang terjadi di wilayah timur tengah. Berangkat dari semua hal tersebut, sudah saatnya bagi kaum muslim untuk berbenah diri jika tidak ingin terus-menerus terbelakang. Barat berhasil bukan hanya karena faktor kecerdasan individunya, tetapi mereka dapat mengendalikan populasinya, sehingga tidak terjadi overcrowded yang akan menjadi pintu masuk segala macam krisis dan masalah.

Tanpa adanya program keluarga berencana, mereka telah mampu untuk berpikir secara jangka panjang demi keberlangsungan hidup bersama, dengan menghindari pernikahan dini dan membatasi jumlah anak melalui suatu perencanaan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun