Melihat dan Menata Masa Depan Indonesia Dalam Menghadapi ASEAN Community
Sebuah Studi: Demografi dan Perubahan Politik di Indonesia
Oleh: Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia
Pembukaan
Sejenak, mari kita refleksikan bersama mengenai perjalanan negara Indonesia yang telah merdeka selama 68 tahun ini. Ada banyak hal yang sekiranya mengganjal di fikiran penulis, seringkali terbayang, dan bahkan masuk kedalam mimpi-tidur. Salah satunya adalah pertanyaan: Apakah negara ini telah berhasil melunasi janji kemerdekaannya kepada seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah 240 juta jiwa? –Mungkin kita sepakat untuk menjawab: belum.
Apa janji negara ini? Negara ini berjanji: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Melihat kondisi politik di Indonesia saat ini yang carut marut agaknya membuat kita pesimistis. Secara nalar, orang yang berada di wilayah politik adalah orang-orang yang cerdas dan haruslah memiliki integritas. Karena di wilayah inilah, segala urusan yang mengatasnamakan seluruh bangsa Indonesia (baca: publik) dibuat. Namun faktanya, kebanyakan orang-orang yang berada di wilayah ini adalah orang-orang yang lalai dan selalu mementingkan kepentingan pribadinya. Mereka lupa bahwa politik bukan saja perihal kekuasaan, melainkan sebagai upaya untuk mencapai masyarakat yang baik. Seperti yang disebutkan Peter Merkl: “Politik dalam bentuk yang paling baik adalah usaha mencapai suatu tatanan sosial yang paling baik dan berkeadilan”. Begitulah suatu kontradiksi yang terjadi antara nalar dan fakta. Politik yang seharusnya menjadi ladang pengabdian kepada 240 juta penduduk Indonesia, malah berubah makna menjadi ladang pengabaian demi mencapai kekuasaan dan kepentingan pribadi semata. Akhirnya, urusan kebijakan publik ternodai oleh tangan-tangan pemimpin yang dzhalim.
Ada banyak masalah yang semestinya harus diselesaikan secara cepat, tepat dan hanya bisa dilaksanakan melalui tangan pemerintah. Masalah kependudukan atau demografi adalah salah satu permasalahan yang patut ditangani pemerintah Indonesia saat ini karena sifatnya yang urgensi (baca: mendesak) dan memiliki skala prioritas tinggi. Hal mengenai demografi ini menjadi sangat penting karena memiliki keterkaitan dengan masa depan Indonesia kedepannya yang harus siap sedia menghadapi suatu kesepakatan bersama, yakni: “ASEAN Community” yang akan dimulai pada tanggal 31 Desember 2015 mendatang.
Melihat dan Menata Masa Depan Indonesia Melalui Teori Demografi
Merujuk kepada kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), istilah demografi diartikan sebagai ilmu tentang susunan, jumlah, dan perkembangan penduduk; ilmu yang memberikan uraian atau gambaran statistik mengenai suatu bangsa dilihat dari sudut sosial politik; ilmu kependudukan.
Ada tiga persoalan utama dalam menghadapi fenomena demografi, yakni: kelahiran, kematian dan perpindahan. Para ilmuwan politik acap kali melewatkan perhatian yang besar terhadap isu demografi padahal perubahan demografi mengakibatkan implikasi serius bagi politik (Gary P. Freeman, 2006).
Sebagai contoh, Penulis akan mengilustrasikan sebuah negara bernama Perancis. Perancis adalah salah satu negara maju yang berada dikawasan Uni-Eropa. Terkenal dengan Menara Eiffelnya, cuaca yang dingin dan nuansa kota yang menawarkan ke-romantisan. Tetapi dibalik itu semua, ada sebuah fakta mengatakan bahwa tingkat kelahiran dan kematian disana cukup rendah, namun tingkat perpindahan dari luar kedalam (baca: imigrasi) cukup tinggi. Secara nalar, tingkat kelahiran dan kematian yang rendah adalah suatu prestasi yang menggembirakan. Akan tetapi pernahkah kalian merasa bahwa yang namanya tingkat kelahiran rendah dan tingkat kematian yang rendah –yang kemudian membuat menumpuknya penduduk tidak produktif- akan membawa dampak kepada angkatan kerja dimasa mendatang? Pertanyaan ini akan menjadi dilematis jika tidak ditanggapi secara cermat. Benar saja, fakta yang ada dilapangan mengatakan bahwa banyak penduduk di Perancis kini bukanlah berasal dari keturunan asli Perancis. Banyak diantara mereka yang berasal dari belahan dunia lain seperti: negara-negara Afrika, Asia, Amerika dsb. Mereka adalah pendatang (baca: imigran) yang kemudian mengisi seluruh kekurangan angkatan kerja di Perancis. Kemudian mereka menetap hingga akhirnya memiliki keturunan dan bahkan mendapatkan kewarganegaraan Perancis. Para imigran yang telah menjadi penduduk Perancis inipun merasa kepentingannya yang meliputi: pendidikan, ekonomi, dsb, perlu terakomodir. Sehingga pada akhirnya membuat pemerintah Perancis perlu membuat kebijakan yang mampu mengakomodir kepentingan para imigran yang telah menjadi warganegara Perancis dan penting untuk diketahui, warganegara Perancis asli pun seringkali terkalahkan kepentingannya.
Dari hasil kontekstualisasi diatas, dapat kita katakan bahwa tidaklah bijak ketika kita melewatkan perhatian terhadap isu demografi karena pada kenyataannya, isu demografi memiliki dampak yang sangat besar terhadap hajat hidup orang banyak.
Melihat sejarah, Indonesia pernah mengalami kesuksesan dalam menangani urusan demografi. Karena sukses dalam pelaksanaan program kependudukan melalui program keluarga berencana (KB) dengan tagline: dua anak lebih baik!, Presiden Soeharto mendapat piagam penghargaan perorangan di Markas Besar Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di New York pada 8 Juni 1989. Menurutnya Soherato, “kenaikan produksi pangan tidak banyak berarti jika pertambahan jumlah penduduk tidak terkendali”. Oleh karena itu, dia dianugerahi United Nation Population Award, sebuah penghargaan tertinggi PBB di bidang kependudukan. Penghargaan itu disampaikan langsung oleh Sekretaris Jenderal PBB, Javier de Cueller di Markas Besar PBB, New York bertepatan dengan ulang tahun Soeharto yang ke-68, pada 8 Juni 1989.
Memang, sejarah mungkin saja bisa terulang. Pemerintahan yang tegas dan kuat ala Soeharto mungkin tidak sepenuhnya bisa diterapkan kembali. Namun ada perihal seperti program penataan kependudukan atau demografi yang perlu kita jadikan sebagai prioritas utama dalam upaya perbaikan kesejahteraan.
Menurut Thomas Robert Malthus, “penduduk berkembang menurut deret ukur sedangkan bahan pangan berkembang menurut deret hitung”. Sehingga dapat dikatakan bahwa pertumbuhan populasi jauh lebih besar dari kemampuan Bumi menghasilkan makanan bagi manusia.
Terjadinya berbagai kasus krisis pangan di Indonesia tidak lain disebabkan permasalahan demografi. Jumlah penduduk yang terlalu banyak dan tidak merata ditambah lagi oleh berbagai faktor seperti: perubahan iklim, bencana alam, dsb yang sekiranya dapat mengganggu produksi pangan nasional, membuat kita harus pandai dan kembali menata pola kehidupan –makan, minum, kelahiran, perpindahan penduduk– yang jauh lebih baik.
Soal demografi akan terlihat sangat penting dalam konteks negara Indonesia yang akan menghadapi ASEAN Community di tahun 2015. Pada ASEAN Community, terdapat kemajuan terkini yang dicapai ASEAN dan digagas saat Indonesia menjadi Ketua ASEAN tahun 2011 antara lain: dibidang politik-keamanan, ASEAN telah memiliki Deklarasi HAM dan telah membentuk Institute for Peace and Reconciliation. Sementara dibidang ekonomi telah dicapai kesepakatan untuk membentuk Regional Comprehensive Economic Partnership antara ASEAN dengan enam mitra wicaranya. Terakhir, dalam bidang sosial-budaya telah dicapai kemajuan dalam program pertukaran pemuda/mahasiswa, pembahasan Konvensi mengenai Hak Pekerja Migran dan pembentukan ASEAN Humanitarian Center (AHA Center).
Untuk urusan politik-keamanan dan kebudayaan nampaknya masih memberikan rasa yang cukup aman, namun sikap kewaspadaan dan kesiap-siagaan perlu dipertahankan dan dikembangkan agar nilai-nilai yang sudah ada tetap terjaga dan tidak tergerus oleh globalisasi. Sehingga, Penulis akan menekankan kepada ASEAN Economic Community yang terbentuk dalam Regional Comprehensive Economic Partnership antara ASEAN dan enam mitra wicara.
Dalam konteks pembentukan ASEAN Community, Indonesia diharapkan mampu menjadi pemenang mengingat sebagai Negara terbesar dan peran Indonesia sangat penting di ASEAN. Untuk urusan ekonomi, permasalahan kependudukan bisa saja membuat Indonesia menjadi penonton di negaranya sendiri. Selain itu, bisa saja membuat Indonesia kalah bersaing dan mengakibatkan harus tetap mengimport berbagai jenis kebutuhan tanpa mampu memenuhi atau memproduksi untuk dirinya sendiri, terlebih untuk negara lain. Sesuai dengan teori Malthus, bahwa manusia tumbuh berdasarkan deret ukur dan pangan tumbuh berdasarkan deret hitung, maka perlu adanya regulasi yang mengikat agar adanya keseimbangan antara kebutuhan pangan dan jumlah persediaannya. Melalui kegiatan penggalangan kembali program keluarga berencana dan transmigrasi serta pengaturan pola variasi makanan pokok dan ekstensifikasi tanaman pangan akan banyak mengubah kepada pola kehidupan yang lebih baik. Penulis pun turut mengamini perkataan Soeharto diatas bahwa “kenaikan produksi pangan tidak banyak berarti jika pertambahan jumlah penduduk tidak terkendali.”
Perlu ada ketegasan dan keseriusan dari pemerintah dalam menata dan juga bersikap atas isu demografi. Jangan sampai kesalahan dimasa ini membuat anak-cucu kita kesulitan di masa yang akan datang.
Penutup
“Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya”. –Pramoedya Ananata Toer.
Sepertinya kalimat tersebut layak ditujukkan kepada para pejabat pemerintah; sang pengemban amanah rakyat. Jabatan sebagai presiden ataupun wakil rakyat di pemerintahan semestinya dijawab oleh pelaksanaan kerja yang menghasilkan karya yang membawa kebaikan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, sesuai dengan janji kemerdekaan.
Persoalan demografi kian menjadi penting disaat kita akan menghadapi ASEAN Community pada tahun 2015. Indonesia diharapkan menjadi pemenang ASEAN Community. Oleh karena itu, perlu adanya keseriusan dari pihak pemerintah sebagai satu-satunya lembaga atau otoritas yang berhak mengatur keseluruhan hajat hidup orang banyak. Melalui program keluarga berencana, transmigrasi, serta pengaturan pola variasi makanan pokok dan ekstensifikasi tanaman pangan akan banyak mengubah kepada pola kehidupan yang lebih baik.
Penulis pun turut mengamini perkataan Soeharto diatas bahwa “kenaikan produksi pangan tidak banyak berarti jika pertambahan jumlah penduduk tidak terkendali.” Sehingga pada akhirnya, perlu ada ketegasan dan keseriusan dari pemerintah dalam menata dan juga bersikap atas isu demografi demi masa depan Indonesia yang lebih baik.
Daftar Pustaka
Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Materi Pembelajaran Perubahan Politik Sesi 4: National Geographic, Juni 2009.
Materi Pembelajaran Perubahan Politik Sesi 5: Political Dimensions of Demographic Change
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Preambule.
Mahasiswa Jurusan Politik dan Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada, dengan NIM: 13/349852/SP/25853.
Dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Preambule, Alinea IV.
Peter H. Merkl, Continuity and Change (New York: Harper and Row, 1967), hlm. 13.
Seorang matematikawan, juga seorang pendeta. Penulis Essay on the Principle of Population pada 1798.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H