Mohon tunggu...
Suryana Alfathah
Suryana Alfathah Mohon Tunggu... Freelancer - Santrizen Millenial

Kaum rebahan ras terkuat kedua di bumi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebodohan Adalah Segalanya

9 Agustus 2021   16:24 Diperbarui: 9 Agustus 2021   17:46 2772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Kepandaian adalah kelicikan yang menyamar, 

Kebodohan adalah kebaikan yang bernasib buruk.

-Emha Ainun Nadjib-

Kita sejak kecil sudah di doktrin untuk menjadi orang pandai dan jangan menjadi orang bodoh. Doktrin yang kita terima mengatakan bahwa orang pintar adalah orang yang nilai rapotnya bagus, sedangkan orang bodoh adalah orang yang nilai akademiknya buruk. Persepsi seperti ini masih mengakar dalam kehidupan manusia khususnya di Indonesia. Orang tua masih sering memarahi anaknya jika nilai rapotnya merah, atau ketika anaknya tidak bisa mengafalkan sesuatu. Padahal bodoh atau pintar tak bisa diartikan hanya sebatas nilai. Dua kata sifat itu (bodoh dan pintar) memiliki definisi dan makna yang sangat luas.

Apa itu bodoh?

Bodoh adalah kondisi seseorang yang tidak mengetahui tentang sesuatu. Ya, tidak mengetahui sesuatu, bukan tidak menguasai sesuatu ataupun karena memiliki nilai akademik yang buruk. Dari definisi saja kita bisa memahami apa sebenarnya arti bodoh itu.

Plato, mengatakan bahwa orang bodoh adalah orang yang pandai. Karena orang pandai pasti sebelumnya dia adalah orang yang bodoh. Dia mengakui bahwa awalnya dirinya tidak mengetahui apapun kemudian dia menambah wawasan sehingga dia akhirnya mengetahui. Sedangkan orang yang pandai, menurut Plato justru adalah orang yang bodoh. Karena mereka tidak mengakui bahwa dirinya bodoh malah justru membangga-banggakan akan kepintarannya. Inilah "Kebodohan orang-orang pandai".

Imam Syafi'i, seorang ulama yang terkenal sangat alim, cerdas, hafal Al-Qur'an ketika usia 9 tahun masih mengganggap dirinya bodoh. Beliau pernah berkata, "Ketika bertambah ilmuku, bertambah tahu pula aku akan kebodohanku". Sekelas ulama mazhab yang keilmuannya luar biasa masih menganggap kalau dirinya bodoh ketika beliau mendapati ilmu baru.

 Sedangkan manusia zaman sekarang terkadang merasa gengsi untuk berkata "tidak tahu" sehingga ia akan mencoba menjawab pertanyaan orang lain dengan tanpa ilmu. Sehingga bisa berakibat pemahaman yang salah apalagi jika yang memberi jawaban itu adalah orang terpandang.

Fenomena mencaci dengan sebutan "bodoh", "goblok", dan "idiot" pun sudah menjadi budayanya orang Indonesia. Segitu mudahnya manusia mengucapkan kata itu ketika melihat perilaku konyol dari orang-orang tertentu, kemudian menghina orang lain ketika mendapat hasil/nilai yang lebih buruk darinya.  Perilaku ini sering kita lihat bahkan sejak kecil. Anak SD menghina teman sekelasnya, ketika temannya melakukan kesalahan dalam bermain bersama pun, mereka acapkali mengucapkan kata tersebut. Sungguh kebiasaan yang memilukan.

Orang bodoh, penulis anggap adalah seorang pahlawan. Mengapa? Karena tidak akan ada orang pintar kalau tidak ada orang bodoh. Ini jika kita menggunakan persepsi bahwa di dunia ini ada orang yang bodoh dan ada yang pintar. Sejatinya, tidak ada orang yang bodoh. Setiap orang memiliki kelebihan dalam bidangnya masing-masing. Anggapan pintar itu terjadi karena manusia hanya melihat kelebihan yang "terlihat" saja secara umum. 

Misalnya dia mendpat nilai bagus saat ujian ataupun dia mampu menghafal pelajaran dengan sempurna. Sedangkan orang yang biasa saja atau bahkan yang nilai dan hafalannya buruk akan dianggap bodoh. Padahal bisa jadi dia lebih pandai dalam suatu bidang tertentu.

Tahu para pemain bola internasional?? Mereka sangat terkenal dengan kehebatan bermain bola nya, padahal penulis yakin tak banyak dari mereka yang jago matematika, apakah mereka disebut orang bodoh?? Tidak kan?? Itulah penyakit persepsi masyarakat kita saat ini. Justru ketika ada orang yang terlalu "memaksakan diri" untuk ahli dalam segala bidang, penulis menganggapnya dia lah yang bodoh. "Orang pandai adalah yang mengetahui banyak tentang sedikit hal, bukan mengetahui sedikit tentang banyak hal".

Penulis teringat suatu postingan di media sosial tentang seorang guru yang mengucapkan selamat kepada orang tua muridnya karena anak-anakya telah menyelesaikan ujian akhir. Beliau berkata begini:

Ujian anak Anda telah selesai.

Saya tahu Anda cemas dan berharap anak Anda berhasil dalam ujiannya.

Tapi. Mohon diingat..

Di tengah-tengah para pelajar yang menjalani ujian itu,

Ada calon Seniman yang tidak perlu mengerti Matematika,

Ada calon Pengusaha yang tidak butuh pelajaran sejarah atau sastra,

Ada calon Musisi, yang nilai kimia nya tak akan berarti,

Ada calon Olahragawan, yang lebih mementingkan fisik daripada fisika,

Ada calon Photografer yang lebih berkarakter dengan sudut pandang art yang berbeda yang tentunya ilmunya bukan dari sekolah ini.

Sekiranya anak anda lulus menjadi yang teratas, HEBAT!

Tapi bila tidak, mohon jangan rampas rasa percaya diri dan harga diri mereka.

Katakan saja, "tidak apa-apa, itu hanya sekedar ujian"

Anak-anak itu diciptakan untuk sesuatu yang lebih besar lagi dalam hidup ini. 

Katakan pada mereka, tidak penting berapapun nilai ujian mereka,

Anda mencintai mereka dan tak akan menghakimi mereka,

Sebuah ujian atau nilai rendah takkan bisa mencabut impian dan bakat mereka,

Berhentilah berpikir bahwa hanya dokter dan insinyur yang bahagia di dunia ini.

Hormat saya, Wali Kelas

Inilah yang dibutuhkan seorang anak. Pengertian dan perhatian terhadap sesuatu yang disenanginya, tidak dibebankan dengan harus menguasai segala hal. Oleh karena itu, janganlah kita mencaci mereka-mereka yang "terlihat" kurang dari pada kita karena setiap orang dianugerahi kelebihan yang berbeda-beda. Tuhan Maha Adil.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun