Bahagia itu tak harus dengan yang mahal. Dengan kesederhanaan pun cukup untuk kita menyambangi kebahagiaan. Asal kita ikhlas menerimanya. Itulah kunci dari sebuah kebahagiaan.
Teringat masa-masa sulit dalam hidupku. 10 tahun silam, aku masih merasakan ekonomi keluarga yang masih terombang-ambing. Ayah sebagai buruh tani tak begitu mencukupi hidup yang anaknya banyak pada masa itu. Ayah mempunyai peternakan kambing, ayam, bebek dan ikan di belakang rumah. Itu semua dilakukan sebagai sampingan saja. Hitung-hitung tabungan ketika tak ada uang untuk membeli sayur.
Suatu hari di tengah teriknya matahari. Sejak pagi ayah sudah berpesan pada Ibu untuk memberi pangan bebek dengan keong. Dalam bahasa sundanya adalah 'tutut'. Ibu yang sudah menyadari bahwa itu adalah panganan bebek, namun mengajak aku dan adik-adik untuk memasaknya menjadi santapan. Akhirnya, Ibu memasak air di atas tungku. Karena di rumahku terbiasa menggunakan tungku walau sudah zaman presiden Jokowi. Lebih hemat dan irit.
Sambil memasak air sampai mendidih. Ibu mencuci 'tutut' sampai bersih. 'Tutut' biasa diambil ayah sejak pagi setelah pulang dari sawah. Namun, karena tak ada makanan di rumah dan ibu belum masak saat itu membuat inisiatif untuk menjadikan pangan menjadi lauk siang. Akhirnya, kita menunggu sampai benar-benar 'tutut' itu masak dan matang,
Setelah lama aku dan adik-adik menunggu di depan tungku, akhirnya 'tutut' yang kami nanti pun sudah matang dengan aroma yang enak dan panas. Ibu menurunkan panci yang berisi 'tutut' hampir setengah di depan pintu keluar. Kami pun mengerumuni panci berisikan santapan mantap siang itu.
Bagi kami tidaklah jorok atau jijik dengan makanan itu. Toh, itu juga sehat dan bergizi. Ibu memang tak pandai memasak, saat memasak 'tutut' pun hanya mengandalkan garam dapur sebagai jaminan kelezatannya.
Kami sangat lahap menyantapnya. Walau kebingungan cara mengeluarkan daging 'tutut-nya. Ibu mengajarkan kami untuk memotong ujung 'tutut' dengan pisa atau di 'geprek' pakai sendok. Namun, kami asyik dengan menyedot serapan air yang masuk ke dalam keong aliaa 'tutut' tersebut. Karena sedotannya mantap sekali bagai memakai ayam KFC. Walau rasanya kami belum pernah makan ayam KFC sampai hari ini.
Ketika kami asyik menyantap makan siang ala Ibu yang kekurangan uang dapur saat itu. Tiba-tiba ayah pulang dari sawah dan melihat seember 'tutut' telah menjadi santapan makan siang bagi anak-anaknya. Ayah yang tadinya mau marah pada Ibu pun nggak jadi karena merasa lucu dan terharu melihat anak-anaknya yang lahap memakan pangan bebek tersebut.  Dan ayah pun berkata, "Makanan untuk bebek kok  jadi makanan buat istri dan anak". Dan kami pun tertawa melihat kelesuan ayah yang pulang dari sawah yang harus kembali mencari pangan bebek.
Itulah sebuah kebahagiaan bagiku. Karena bahagia itu tak harus mahal. Dengan sepanci 'tutut' pun aku bisa bahagia bersama ayah, ibu dan adik-adikku.Â
FB: S'empat Ayee ( https://www.facebook.com/mba.ulul )
Twitter : @alfath2010 ( https://twitter.com/alfath2010 )
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H